Minangkabau
dan Dunia Melayu (2)
Mochtar
Naim ; Sosiolog
|
HALUAN,
09 Mei 2014
Suku Melayu secara antropoi-etnografis, pertama, terbagi dua : Melayu
proto (Tua) dan Melayu Deutro (muda). Yang tua seperti Batak, Nias, Mentawai,
Enggano, Kubu, Dayak, dan suku-suku Melayu di Filipina Utara dan yang muda
seperti yang lain-lainnya, termasuk Minangkabau. Melayu Proto yang jadi
incaran Kristenisasi dan kebanyakan Kristen atau masih animis, sementara
Melayu Deutero: Islam.
Ada yang mengatakan
kedua-duanya berasal dari Asia belakang, yakni daratan Asia Tenggara, yang
ada unsur Mongolianya. Ada yang datang melalui Semenanjung Melayu, turun ke
Sumetera dan Jawa, dan pulau-puau lainnya di bagian tengah dan timur. Lalu
ada pula yang datang melalui Korea ke Filipina, ke Proto. Asli autokton di
Nusantara, hanya yang deuteron yang bergerak bermigrasi dari Asia belakang.
Lalu ada pula teori Kon Tiki
dari orang-orang di Polinesia, berasal dari suku-suku asli di Amerika
selatan, serumpun dengan orang-orang Indian yang ada di Amerika Latin itu.
Mereka bergerak dengan perahu-perahu Kon Tiki ke pulau-pulau di Pasifik, dan
ada yang lanjut ke Asia Tenggara ini.
Semua ini apakah fakta atau
legenda atau mitos dan cerita belaka, kita tidak tahu. Kabut tebal sejarah
masa lalu menyelimutinya yang makin ke belakang makin tebal dan gelap. Kita
serahkan kepada para ahli untuk menggelutinya. Cerita-cerita yang bersifat
legenda yang juga tertuang dalam tambo sendirinya juga tidak kurang menghiasi
cerita masa lalu itu. Dan masing-masing suku Melayu itu punya legenda
sendiri-sendir. Suku Melayu Minangkabau misalnya mengaitkan asal usulnya ke
Gunung Marapi ketika masih sebesar telur itik. Ketika galodo Nabi Nuh dimana
yang kelihatan hanya puncaknya, tiga orang bersaudara dari anak-anak Sultan
Iskandar Zulkarnain, atau Alexander the
Great, dari Macedonia, berlayar ke arah pulau perca di Nusantara ini.
Yang satu turun di puncak Gunung Marapi, yang satu terus ke timur ke
Tiongkok, dan yang satu lagi kembali ke Benua Ruhum.
Dengan surutnya air, merekapun
turun ke sawah setampan benih,
kelanggun di nan baselo, kira–kira di Pariaman Sungai Jambu sekarang.
Dengan perkembangan penduduk, dari taratak jati dusun, dusun jadi koto dan
koto jadi nagari. Dan nagari pun menjadi luhak nan tigo yang seterusnya juga
berkembang ke rantau ke barat ke pesisir Pariaman, Padang dan Pesisir Selatan
yang kemudian juga sampai ke Muko-muko dan Bangkahulu ke selatan dan ke
Pasaman, Air Bangis , Natal, Sibolga, Singkil, Tapak Tuan dan terus ke utara
ke sepanjang pantai barat Aceh, ke daerahnya Anak Jameu sekarang ini. Belum
pula yang turun ke pantai timur di Riau, Jambi dan sungseng sekarang ini
serta ada pula yang melintas ke Johor, Malaka, Negeri Sembilan, Pahang dan
Selangor di Malaysia sekarang ini. Dengan proses migrasi yang terus berlanjut
sampai sekarang ini, akhirnya orang Minang bisa ditemukan dimana saja, baik
di Nusantara, di dunia lalu sampai ke manca negara sekalipun.
Diaspora orang Minang ini hanya
ditandingi oleh orang Yahudi yang juga bertebaran ke mana-mana di dunia ini,
disamping juga orang Cina. Orang Minang , seperti juga orang Yahudi dan
Cina, memilih kota-kota (urban
oriented migration), di bidang perdagangan dan jasa dan tidak desa-desa
(rural oriented migration) di
bidang pertanian dan nelayan seperti orang Jawa dan Bugis Makasar. Profesi
mereka sendiri banyak di bidang perdagangan, terutama yang menengah ke
bawah, di pasar-pasar dan kaki lima. Sementara yang menengah ke atas,
diborong habis oleh orang Cina dan di bidang industri dasar oleh para kapitalis
barat dengan bekerja sama dengan konglomerat Cina. Orang Minang melalui
proses pendidikan juga bergerak di bidang jasa dan sipil, swasta maupun pemerintah.
Satu hal yang istimewa yaitu budaya kulliner yang menyebabkan warung nasi
padang ditemukan berjejer sejak dari Aceh sampai ke Papua, di semenanjung
Malaysia dan Singapura, dan di kota- kota Australia. Bahkan beberapa
di Eropa dan Amerika. Rendang Padang akhirnya mencapai puncaknya
sebagai “masakan terenak“ di
dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar