Minangkabau
dan Dunia Melayu (1)
Mochtar
Naim ; Sosiolog
|
HALUAN,
08 Mei 2014
|
Minangkabau adalah bagian dari Dunia Melayu. Sebagaimana sekian banyak lainnya
di Asia Tenggara ini yang tergolong ke dalam suku ataupun bangsa Melayu, yang
jumlahnya tidak kurang dari 300 juta jiwa seluruhnya.
Suku Melayu merupakan
kelompok mayoritas di kawasan nusantara dan Semenanjung Melayu dan
Filipina. Ada minoritas melayu di Thailand, terutama di Pattani di bagian
selatan, di Kabbodya, di Myanmar, di Sri langka dan bahkan di Madagaskar, di
Suriname, lalu di kepulauan Pasifik.
Suku Melayu yang tadinya
menguasai Singapura di bawah kerajaan Temasek, sekarang jadi minoritas di
negerinya sendiri di bawah kekuasaan Cina perantau. Juga begitu di Filiphina
yang secara demografis mayoritas penduduknya adalah tergolong pribumi
Melayu tetapi secara politis, ekonomi dan bahkan sosial-budayanya dikuasai
perantau Cina.
Indonesia kontemporer sekarang
ini kelihatannya juga menuju ke arah itu. Walau mayoritas terbesar penduduk
adalah pribumi Melayu, serta suku-suku di Papua, Maluku dan NTT yang
non-Melayu, tetapi ekonominya juga didominasi atau bahkan dikuasai penduduk
non–pribumi Cina.
Seperti di Filipina dan
Singapura, dari penguasaan ekonomi lalu menjurus ke arah penguasaan politik
dan sosial-budaya. Sedang jumlah penduduk non-pribumi Cina sangat kecil
sekali, hanya sekitar 4 persen. Sementara di Malaysia penduduk Cina di atas
25 persen, di Filipina 2 persen.
Di Malaysia, untung ada
Mahathir yang sejak awal 1970-an memberi peluang lebih besar kepada bumi
putera Melayu untuk berkiprah dalam mengangkatkan diri dari
keterbelakangannya yang juga didukung sepenuhnya oleh pemerintah Malaysia.
Ribuan mahasiswa Melayu dikirim
tiap tahun bersekolah ke luar negeri untuk mempercepat terkejarnya ketinggalan
di bidang pendidikan yang efek multiplairnya menjurus kepada terbukanya
usaha lain-lainnya.
Sekarang, orang Melayu di
Malaysia tidak hanya di pedesaan menggarap pertanian dan perkebunan, tapi
juga di bidang industri, bisnis dan teknologi di perkotaan – walau Cina masih
dominan.
Indonesia sampai sekarang ini
kelihatannya belum ada usaha yang sama ke arah itu. Kita tidak punya tokoh
seperti Mahathir yang mendahulukan kepentingan pribumi dalam mengejar segala
ketinggalannya.
Kelompok birokrat-aristokratik
penguasa pribumi cenderung memanfaatkan peluang mempergemuk diri dengan
bekerja sama dengan pengusaha non-pri Cina dalam mengelola ekonomi NKRI ini
yang potensi sumber daya alamnya termasuk yang terkaya di dunia.
Korupsi, kolusi dan nepotisme
yang merajalela sejak Orde Baru sampai sekarang ini adalah konsekuensi
logis dari hasil kerja sama yang mesra antara kelompok pengusaha
pribumi dan pengusaha non-pri Cina. Kelompok penguasa pribumi makanya lebih
memberi peluang kepada pengusaha – konglomerat non-pri Cina dalam menggeluti
usaha-usaha di bidang ekonomi, perdagangan dan industri, ketimbang memberi
peluang kepada kelompok pribumi seperti yang dilakukan oleh pengusaha pribumi
Melayu di Malaysia.
Pemerintah dan penguasa NKRI
sejauh ini lebih memikirkan percepatan pertumbuhan angka-angka statistik
ekonomi per tahunnya daripada memikirkan bagaimana kelompok pribumi yang
merupakan pewaris yang sah dari Republik Indonesia menguasai kegiatan
ekonomi, bisnis dan industri, dari hulu sampai ke muara, di darat, laut dan
udara. Mereka, seperti di Filipina, mulai bergerak ke bidang politik dan
sosial-budaya. Yang jadi alasan, seperti dikemukakan di awal Orde Baru oleh
para pakar ekonomi lulusan Berkeley (Berkeley Mafia), pendukung Suharto,
adalah :
“Seratus tahunpun diberi
peluang kepada penduduk pribumi untuk menyelesaikan kemelut ekonomi yang
ditinggalkan oleh Sukarno, tidak akan berhasil, karena mereka tidak punya budaya
bisnis-enterpreneurial, seperti yang dimiliki oleh non-pri Cina. Makanya mau
tak mau kita mengandalkan kepada kelompok konglomerat non-pri Cina untuk
menyelamatkan dan mengangkat ekonomi Indonesia yang ditinggalkan oleh
Sukarno yang sudah diambang kehancuran itu.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar