Menakar
Kualitas Manifesto
Triyono
Lukmantoro ; Dosen Universitas Diponegoro Semarang
|
TEMPO.CO,
08 Mei 2014
|
Manifesto
bukan sekadar untaian kata-kata. Manifesto juga bukan hanya berisi
janji-janji yang membuai kesadaran. Manifesto pun tidak dimaksudkan untuk
memuat program-program politik yang melambung tinggi. Manifesto bukan pula
teknik retorika secara dokumenter untuk menyelubungkan maksud dari si
penciptanya. Hal ini disebabkan oleh manifesto adalah cerminan dari kehendak
zaman. Manifesto, dengan demikian, merupakan ekspresi kuat dari
tuntutan-tuntutan historis (waktu) dan sosiologis (ruang sosial) yang
melingkupinya.
Manifesto,
berikut Oxford Advanced Learner's
Dictionary memberi uraian, adalah "pernyataan
tertulis yang dikemukakan sekelompok orang, khususnya partai politik, yang
menjelaskan keyakinan-keyakinan mereka dan mengatakan apa yang akan mereka
lakukan jika mereka memenangi sebuah pemilihan". Kata manifesto itu sendiri
muncul pada pertengahan abad ke-17 untuk merujuk pada pernyataan yang
bersifat publik dan menunjukkan kejelasan suatu maksud. Merujuk pada
pernyataan itu, manifesto secara otomatis berisi program-program politik
untuk meraih dukungan sebanyak mungkin dari masyarakat dalam domain pemilihan
umum.
Dalam
konteks Pemilihan Umum 2014 ini, kita tersentak dengan kehadiran Manifesto
Perjuangan Partai Gerindra. Ada dua persoalan yang disoroti masyarakat. Pada
persoalan agama, Gerindra menyatakan setiap orang berhak untuk beribadah
sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Negara pun memberi jaminan untuk
kebebasan ini. Negara juga mengatur kebebasan beragama tersebut. Persoalan
menjadi sangat serius dan mengancam kebebasan beragama itu sendiri ketika
partai ini menyatakan, "Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian
ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan
penyelewengan dari ajaran agama." Apakah yang dimaksud dengan
"kemurnian agama"? Bukankah karena isu "kemurnian agama"
mengakibatkan beberapa kelompok beragama minoritas di negeri ini secara
terus-menerus dirajam kekerasan? Tidakkah dengan memunculkan "kemurnian
agama" menjadikan negara versi Gerindra tidak netral dan justru bakal
merongrong kebebasan beragama yang sudah digariskannya sendiri?
Dalam
hal hak asasi manusia, manifesto Gerindra semakin menyajikan bukti bahwa
partai ini memang mengalami ketakutan dan paranoid terhadap isu ini. Apa yang
tertulis adalah kalimat menyedihkan berikut ini: "Hukum dan kemanusiaan tidak boleh dipandang sebagai dua
substansi yang terpisah. Maka, adanya pengadilan HAM merupakan sesuatu yang
overbodig (berlebihan)." Bagaimana pengadilan hak asasi manusia
dianggap sebagai keterlaluan jika pada kenyataannya masih banyak orang,
terutama pejabat birokrasi dan otoritas keamanan negara, yang melakukan
penistaan terhadap kemanusiaan, misalnya, menculik sekian banyak orang dengan
mengatasnamakan stabilitas politik? Bukankah penculikan itu semakin
meneguhkan bahwa langkah-langkah politik Machiavellian yang menghalalkan
segala cara justru diperbolehkan? Tidakkah juga penculikan telah merampas
martabat kemanusiaan?
Manifesto
merupakan panduan politik yang penting bagi sebuah partai serta menjadi acuan
bersama bagi rakyat yang membacanya. Jika sebuah partai justru pada saat
berkuasa nanti terlalu banyak menjalankan intervensi terhadap kehidupan
rakyat dalam beragama, dan bahkan menolak penegakan hukum melalui pengadilan
hak asasi manusia, bagaimanakah masa depan kemanusiaan itu sendiri?
Manifesto, dalam posisi demikian, justru menjadi cara yang digunakan oleh
pemegang otoritas tunggal partai untuk bersembunyi dari berbagai sorotan
tajam yang sedang menghunjam keras ke arah dirinya. Manifesto tidak lebih
berisi kesadaran palsu yang memelintir kenyataan dan cita-cita bersama.
Sekilas, manifesto itu menyuarakan kepentingan banyak orang. Namun, setelah
dibaca secara kritis, manifesto itu tidak lebih sebagai kedok politik.
Bukan
berarti di dunia ini tidak ada manifesto yang baik. Salah satunya pernah
ditulis Karl Marx (1818-1830) dalam judul The
Communist Manifesto. Dalam uraian yang dikemukakan James Garvey (20 Karya Filsafat Terbesar, 2010),
manifesto pada abad ke-19 itu dianggap karya yang hebat dalam perspektif
filosofis. Sebabnya adalah manifesto itu menunjukkan harapan-harapan yang
pada awalnya masih samar menjadi semakin jelas dengan cara mempersatukan kaum
buruh untuk melakukan revolusi. Dorongan transformasi sosial itu
dieksplisitkan. Bentuk dan tujuan akhir manusia pun akan direngkuh. Dunia
yang lebih baik bakal diraih. Manifesto karya Marx itu memiliki dasar
filosofis yang khas, yakni pertentangan antarkelas.
Mutu
manifesto harus ditakar pada sejauh mana kemampuan pernyataan itu memberikan
visi yang membimbing rakyat untuk mendapatkan harapan. Jadi, manifesto bukan
tempat bersembunyi bagi segelintir elite politik dengan menampilkan kata-kata
indah yang terkesan memukau, tapi isinya sungguh kacau. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar