Dunia
Politik Kapal Karam
Serpulus
Simamora ; Lulusan Pontifical Biblical Institute, Roma, Italia
|
KORAN
JAKARTA, 08 Mei 2014
|
Tenggelamnya kapal feri Sewol di Korea Selatan, beberapa waktu
yang lalu, masih menyisakan duka mendalam. Ratusan penumpang meninggal dunia
terjebak di ruangan kapal dan terkubur di laut, termasuk anak-anak sekolah
menengah.
Ada tiga sosok hadir merepresentasikan dua perwujudan makna
tanggung jawab yang amat berbeda kapten kapal Lee Joon-Seok, Wakil Kepala
Sekolah Sekolah Menengah Danwon Kang Min-Gyu, dan Perdana Menteri Korea
Selatan Chung Hon-Won.
Kapten kapal ditemukan selamat dan diduga termasuk di antara
orang-orang pertama yang meninggalkan kapal menjelang tenggelam. Siapa pun
tidak menginginkan kematian. Siapa pun berhak menyelamatkan diri. Akan
tetapi, Lee Joon-Seok dituntut pertanggungjawaban. Seharusnya seorang kapten
mesti orang terakhir meninggalkan kapal.
Kang Min-Gyu, wakil kepala sekolah, penanggung jawab wisata para
siswa, berbeda dari kapten kapal. Kendati dia beruntung dapat diselamatkan,
akhirnya memutuskan mengakhiri hidup dengan menggantung diri. Pada catatan di
dompetnya tertulis, Selamat sendiri terlalu menyakitkan ketika nasib dari 200
orang masih belum jelas. Saya mengemban tanggung jawab penuh. Sayalah yang
mendorong wisata sekolah itu. Di akhirat saya akan menjadi guru bagi mereka
yang jasadnya belum ditemukan.
Di tengah duka dan kritik pedas terhadap penanganan pemerintah
atas kecelakaan itu, Perdana Menteri Chung Hon-Won juga akhirnya mengundurkan
diri. Selama proses pencarian, pemerintah tidak melakukan langkah-langkah
yang secukupnya dan telah mengecewakan publik. Saya harus bertanggung jawab
atas segala sesuatu sebagai perdana menteri, namun pemerintah tidak sanggup
lagi memikulnya. Dengan demikian, saya akan mengundurkan diri dari perdana
menteri.
Pemimpin adalah orang yang mengemban amanah dan bertanggung
jawab. Pelaksanaannya persoalan hidup-mati, pertarungan harga diri.
Mengundurkan diri, wujud dari rasa tanggung jawab. Rasa malu kepada publik
karena tidak sanggup merealisasikan amanah dengan penuh tanggung jawab,
menang atas kepentingan dan kenyamanan diri. Bunuh diri bentuk ekstrem
pengunduran diri.
Bisa saja orang menilainya sebagai keputusasaan, bertentangan
dengan ajaran agama. Akan tetapi, bagi seorang yang berpegang teguh pada
amanah, memunyai etos kerja unggul, tindakan itu justru memperlihatkan
komitmen dan determinasi pada tugas.
Saya harus bertanggung jawab atas segala sesuatu sebagai perdana
menteri, demikian kata-kata yang diucapkan Chung Hon-Won pada saat
pengunduran diri. Peristiwa karamnya feri Sewol amat relevan bagi bangsa dan
negara ini yang sedang bergumul untuk memilih para pemimpin nasional.
Pengalaman guru yang paling baik. Kenyataan cermin paling
bening. Bahtera demokrasi Republik Indonesia sekarang tampaknya dapat
diibaratkan kapal yang hampir karam. Mesin pendorong dan tiang-tiang
penyangga telah retak. Trias politika lembaga legislatif, eksekutif, dan
judikatif, tidak satu pun luput dari bencana.
Mengaku bersalah dan mengundurkan diri sebagai wujud tanggung
jawab atas amanah yang diemban, masih langka. Boro-boro mengaku bersalah dan
mengundurkan diri, para petinggi di negeri ini yang diduga bermasalah justru
kerap mempertontonkan senyum dan lambaian tangan serta gertak sambal sumpah
tak berdosa. Di balik perisai presumption of innocence, mereka berlindung
untuk mengelak pertanggungjawaban dan pengakuan bersalah.
Mengapa para petinggi dan pejabat Indonesia jarang berani
mengaku bersalah dan mengundurkan diri Apakah karena tidak ada rasa malu
Padahal, penduduk amat religius dan sangat kental dengan budaya ketimuran
yang sebenarnya amat sensitif. Di sini rasa malu kalah dari harga diri,
status, dan gengsi. Agama dan budaya ketimuran hanyalah kamuflase.
Hilangnya rasa malu semakin diperparah dengan budaya jual-beli
segala sesuatu. Sungguh mengerikan, Pemilu Legislatif 2014 yang
digembar-gemborkan sebagai terbaik, ternyata amat ternoda dengan politik uang
secara masif.
Bukan hanya kursi empuk legislatif yang diperjualbelikan.
Seluruh “kursi” jabatan diperdagangkan. Orang harus membayar puluhan juta
rupiah, bahkan ratusan juta rupiah agar dapat menjadi kepala sekolah SD, SMP,
dan SMA. Dana untuk menjadi bupati, wali kota, lebih banyak lagi.
Pendidikan
Saya bertanggung jawab penuh, demikian tulis Wakil Kepala
Sekolah, Kang Min-Gyu, walau secara langsung dia tidak bertanggung jawab atas
meninggalnya siswa-siswi sekolahnya. Amat berbeda dari sikap Kang Min-Gyu,
sikap para insan penanggung jawab pendidikan nasional di negeri ini penuh
dengan kepura-puraan dan usaha selamat sendiri.
Dunia pendidikan baru saja diguncang kasus kejahatan seksual di
Jakarta International School (JIS) dan kekerasan di Sekolah Tinggi Ilmu
Pelayaran (STIP). Siapa yang bertanggung jawab Semua mati-matian memberi
keterangan dan membela diri agar selamat.
Aneh bin ajaib, sekolah yang bertaraf internasional beroperasi
tanpa izin. Padahal, mungkin ratusan sekolah swasta yang berusaha untuk
mencerdaskan kehidupan putra-putri bangsa nun jauh terpencil diharuskan dan
diwajibkan mengurus tetek-bengek perizinan. Negara penuh kemunafikan memang
sering membingungkan. Bila tentang pendirian rumah ibadah, surat izin adalah
persoalan to be or not to be, tapi tidak dalam urusan pendidikan.
Kendati banyak pihak tidak setuju ketika Indonesia dikatakan
sedang menuju negara gagal, indikasi-indikasi tentang itu terlalu sulit
disangkal. Pada saat penentuan politik tahun ini rakyat diajak memilih
pemimpin yang sungguh-sungguh pengemban amanah penuh tanggung jawab.
Bila memang benar banyak calon legislatif menjadi wakil rakyat
dengan politik uang, masyarakat harus lebih jeli dan cermat mengawasi. Jika
ternyata mereka nanti hanya berusaha mengembalikan investasinya, rakyat harus
mencabut mandat dan memberi cap hitam.
Pemilu presidenwakil presiden tinggal menghitung hari. Sekarang
partai kasak-kusuk membuat manuver politik menggalang koalisi. Pemilu
legislatif terancam delegitimasi karena maraknya politik uang. Hendaknya
pemilu presidenwakil presiden mendatang tidak demikian.
Sudah saatnya rakyat memberi pelajaran konkret terhadap partai
dan calon-calon yang diusung. Jangan memilih calon dari partai yang memang
tidak mengemban amanah rakyat penuh tanggung jawab. Mereka hanya mengandalkan
modal finansial untuk menang dan berkuasa.
Wakil rakyat hasil politik uang hanya akan berjuang
mengembalikan investasi. Manuver politik koalisi partai yang ambisius hanya
akan menghasilkan pemimpin penikmat kekuasaan. Mereka tidak lebih dari
seorang kapten yang berusaha selamat sendiri dan meninggalkan kapal ketika
tenggelam. Pilihlah pemimpin dengan hati nurani agar bahtera Negara Kesatuan
Republik Indonesia tidak tenggelam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar