Rabu, 07 Mei 2014

Menggali Utang Domestik

Menggali Utang Domestik

Susidarto  ;   Pemerhati dan Praktisi Perbankan di Yogyakarta
REPUBLIKA,  06 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sejak 2 Mei lalu, Kementerian Keuangan RI melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) kembali mengeluarkan instrumen teranyarnya dalam bentuk instrumen Obligasi Negara untuk investor ritel dengan tingkat kupon mengambang yang dinamakan Saving Bond Ritel (SBR) seri SBR001. Masa penawarannya mulai 2-22 Mei 2014, dengan tanggal settlement pada 30 Mei dan tanggal jatuh tempo pada 20 Mei 2016.

Minimum pemesanan mulai dari Rp 5 juta hingga Rp 5 miliar. Adapun tingkat bunga yang dibayarkan periode 3 bulan pertama sebesar tingkat bunga penjaminan LPS sebesar 7,5 persen ditambah spread 125 bps, sehingga menjadi 8,75 persen. Tingkat bunga berikutnya akan disesuaikan setiap tiga bulan pada tanggal penyesuaian kupon sampai dengan jatuh tempo. Tidak ada pasar sekunder, sehingga harus dipegang sampai jatuh tempo selama dua tahun. Tujuan penerbitan SBR-001 adalah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN 2014 dan mengembangkan pasar surat utang negara domestik melalui diversifikasi instrumen sumber pembiayaan dan perluasan basis investor.

Terlena

Selama ini, para pemilik uang lebih mengandalkan bunga simpanan bank.
Toh, selama ini pula dana mereka dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hingga maksimal Rp 2 miliar. Hanya dengan tidur pulas dan ongkang-ongkang kaki, mereka sudah hidup penuh dengan "bunga-bunga". Nah, terhadap merekalah perlu diberikan alternatif lain dalam mengembangbiakkan dananya. Agar tidak terlalu bergejolak dan kaget, maka jenis investasi yang ditawarkan juga dibuat agak aman, alias berisiko kecil bahkan nol, yakni investasi dalam bentuk SBR.

Investasi ini dikatakan sangat aman, karena yang membayar pokok dan kupon investasinya adalah Pemerintah RI. Selagi pemerintah eksis (tidak bangkrut), maka SBR pun memiliki tingkat keamanan mendekati sempurna (zero risk). Munculnya risiko paling-paling hanya risiko likuiditas (liquidity risk) karena investor membutuhkan dana tunai/likuid tidak bisa menjualnya di pasar sekunder, karena memang tidak bisa diperdagangkan. Namun, bagi investor jangka panjang (3-5 tahun), risiko ini bukan lagi menjadi ancaman. Sementara risiko gagal (default risk), sangat kecil dan bisa diabaikan.

Dalam konteks ini, 18 bank dan tiga perusahaan sekuritas hanya bertindak sebagai agen penjual (pemasar)/subagen penjual, layaknya produk pasar modal lainnya seperti reksa dana, unit link, dan sejenisnya. Jadi, dalam pembukuan bank, SBR dibukukan off balance sheet, alias tidak masuk dalam neraca pembukuan bank. Ia bukan dana pihak ketiga (dari masyarakat) yang kemudian bisa disalurkan dalam bentuk kredit (pinjaman). Dengan demikian, pertumbuhan SBR tidak akan memacu kemampuan ekspansi kredit bank-bank yang memasarkan SBR. Hal semacam ini harus dipahami sejak awal.

Investasi SBR tampaknya memang ditujukan selain untuk membiayai berbagai belanja pemerintah, juga dimaksudkan untuk membina dan mencari bibit-bibit investor sejati. Sebab, dari kalangan masyarakat yang sekarang ini menjadi deposan bank, sebenarnya banyak yang berpotensi menjadi investor.
Proses migrasi dari deposan menjadi investor sebenarnya sudah terjadi manakala bank-bank belum lama ini ikut menjadi agen penjual produk reksadana yang dikeluarkan oleh manajer invetasi. Produk reksa dana, diikuti dengan ORI dan Sukuk Ritel sebenarnya adalah pembelajaran awal dari proses perubahan dimaksud.

Dengan demikian, produk sampingan dari penerbitan SBR adalah munculnya investor sejati, yang tidak hanya menunggu sesuatu yang sudah pasti layaknya bunga deposito, namun juga bermain dalam gelombang arus risiko. Risiko likuiditas yang muncul di atas, setidaknya menjadi menu awal yang tidak mengagetkan bagi kalangan deposan, yang selama ini menemui produk zero risk (perbankan). Penerbitan SBR setidaknya akan memunculkan sosok-sosok investor baru potensial. Sosok investor sejati dengan soft landing yang tidak mengagetkan.

Basis investor

Penerbitan SBR sejatinya memang diperlukan untuk membangun basis investor (potensial) di Indonesia. Penerbitan SBR setidaknya bisa dijadikan titik awal kebangkitan investor domestik.  Kekuatan yang ada di dalamnya sungguh sangat besar. Setidaknya, potensi terpendam ini harus bisa digali dan dimunculkan bersamaan dengan penerbitan SBR ini. Kita semua harus yakin dengan kekuatan kemandirian para investor Indonesia untuk bisa ikut berpartisipasi dalam berbagai pembangunan di Tanah Air. Mereka harus dilibatkan secara aktif untuk mendukung kemajuan negeri tercinta ini.

Itu berarti SBR merupakan pilihan investasi yang sangat menjanjikan imbal hasil (return)-nya ketimbang deposito bank. Bukan tidak mungkin akan terjadi gejala mutasi (perpindahan) dana dari deposito ke SBR, terutama untuk deposan kecil-menengah. Namun, jika dilihat dari target penjualan SBR-001 yang hanya Rp 2,5 triliun, maka perpindahan dana ini jelas akan sangat terbatas. Jadi, produk deposito sebenarnya cukup aman-aman saja dan fleksibel karena tenor waktunya di bawah satu tahun. Sementara itu, SBR-001 memiliki tenor hingga dua tahun. Perbankan tidak perlu khawatir produk ini akan menganibal produk deposito.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar