Menggali
Utang Domestik
Susidarto ;
Pemerhati
dan Praktisi Perbankan di Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
06 Mei 2014
|
Sejak 2
Mei lalu, Kementerian Keuangan RI melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan
Utang (DJPU) kembali mengeluarkan instrumen teranyarnya dalam bentuk
instrumen Obligasi Negara untuk investor ritel dengan tingkat kupon
mengambang yang dinamakan Saving Bond
Ritel (SBR) seri SBR001. Masa penawarannya mulai 2-22 Mei 2014, dengan
tanggal settlement pada 30 Mei dan
tanggal jatuh tempo pada 20 Mei 2016.
Minimum
pemesanan mulai dari Rp 5 juta hingga Rp 5 miliar. Adapun tingkat bunga yang
dibayarkan periode 3 bulan pertama sebesar tingkat bunga penjaminan LPS
sebesar 7,5 persen ditambah spread
125 bps, sehingga menjadi 8,75 persen. Tingkat bunga berikutnya akan
disesuaikan setiap tiga bulan pada tanggal penyesuaian kupon sampai dengan
jatuh tempo. Tidak ada pasar sekunder, sehingga harus dipegang sampai jatuh
tempo selama dua tahun. Tujuan penerbitan SBR-001 adalah untuk memenuhi
kebutuhan pembiayaan APBN 2014 dan mengembangkan pasar surat utang negara
domestik melalui diversifikasi instrumen sumber pembiayaan dan perluasan
basis investor.
Terlena
Selama
ini, para pemilik uang lebih mengandalkan bunga simpanan bank.
Toh, selama
ini pula dana mereka dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hingga
maksimal Rp 2 miliar. Hanya dengan tidur pulas dan ongkang-ongkang kaki,
mereka sudah hidup penuh dengan "bunga-bunga". Nah, terhadap merekalah
perlu diberikan alternatif lain dalam mengembangbiakkan dananya. Agar tidak
terlalu bergejolak dan kaget, maka jenis investasi yang ditawarkan juga
dibuat agak aman, alias berisiko kecil bahkan nol, yakni investasi dalam
bentuk SBR.
Investasi
ini dikatakan sangat aman, karena yang membayar pokok dan kupon investasinya
adalah Pemerintah RI. Selagi pemerintah eksis (tidak bangkrut), maka SBR pun
memiliki tingkat keamanan mendekati sempurna (zero risk). Munculnya risiko paling-paling hanya risiko
likuiditas (liquidity risk) karena
investor membutuhkan dana tunai/likuid tidak bisa menjualnya di pasar sekunder,
karena memang tidak bisa diperdagangkan. Namun, bagi investor jangka panjang
(3-5 tahun), risiko ini bukan lagi menjadi ancaman. Sementara risiko gagal (default risk), sangat kecil dan bisa
diabaikan.
Dalam
konteks ini, 18 bank dan tiga perusahaan sekuritas hanya bertindak sebagai
agen penjual (pemasar)/subagen penjual, layaknya produk pasar modal lainnya
seperti reksa dana, unit link, dan sejenisnya. Jadi, dalam pembukuan bank,
SBR dibukukan off balance sheet,
alias tidak masuk dalam neraca pembukuan bank. Ia bukan dana pihak ketiga
(dari masyarakat) yang kemudian bisa disalurkan dalam bentuk kredit
(pinjaman). Dengan demikian, pertumbuhan SBR tidak akan memacu kemampuan
ekspansi kredit bank-bank yang memasarkan SBR. Hal semacam ini harus dipahami
sejak awal.
Investasi
SBR tampaknya memang ditujukan selain untuk membiayai berbagai belanja
pemerintah, juga dimaksudkan untuk membina dan mencari bibit-bibit investor
sejati. Sebab, dari kalangan masyarakat yang sekarang ini menjadi deposan
bank, sebenarnya banyak yang berpotensi menjadi investor.
Proses
migrasi dari deposan menjadi investor sebenarnya sudah terjadi manakala
bank-bank belum lama ini ikut menjadi agen penjual produk reksadana yang
dikeluarkan oleh manajer invetasi. Produk reksa dana, diikuti dengan ORI dan
Sukuk Ritel sebenarnya adalah pembelajaran awal dari proses perubahan
dimaksud.
Dengan
demikian, produk sampingan dari penerbitan SBR adalah munculnya investor
sejati, yang tidak hanya menunggu sesuatu yang sudah pasti layaknya bunga
deposito, namun juga bermain dalam gelombang arus risiko. Risiko likuiditas
yang muncul di atas, setidaknya menjadi menu awal yang tidak mengagetkan bagi
kalangan deposan, yang selama ini menemui produk zero risk (perbankan). Penerbitan SBR setidaknya akan memunculkan
sosok-sosok investor baru potensial. Sosok investor sejati dengan soft landing yang tidak mengagetkan.
Basis investor
Penerbitan
SBR sejatinya memang diperlukan untuk membangun basis investor (potensial) di
Indonesia. Penerbitan SBR setidaknya bisa dijadikan titik awal kebangkitan
investor domestik. Kekuatan yang ada
di dalamnya sungguh sangat besar. Setidaknya, potensi terpendam ini harus
bisa digali dan dimunculkan bersamaan dengan penerbitan SBR ini. Kita semua
harus yakin dengan kekuatan kemandirian para investor Indonesia untuk bisa
ikut berpartisipasi dalam berbagai pembangunan di Tanah Air. Mereka harus
dilibatkan secara aktif untuk mendukung kemajuan negeri tercinta ini.
Itu
berarti SBR merupakan pilihan investasi yang sangat menjanjikan imbal hasil (return)-nya ketimbang deposito bank.
Bukan tidak mungkin akan terjadi gejala mutasi (perpindahan) dana dari
deposito ke SBR, terutama untuk deposan kecil-menengah. Namun, jika dilihat
dari target penjualan SBR-001 yang hanya Rp 2,5 triliun, maka perpindahan
dana ini jelas akan sangat terbatas. Jadi, produk deposito sebenarnya cukup
aman-aman saja dan fleksibel karena tenor waktunya di bawah satu tahun. Sementara
itu, SBR-001 memiliki tenor hingga dua tahun. Perbankan tidak perlu khawatir
produk ini akan menganibal produk deposito. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar