Ekonomi
Haji
Ahan
Syahrul Arifin ; Mahasiswa Pascasarjana UI
|
REPUBLIKA,
06 Mei 2014
|
Pemberlakukan
setoran awal dana haji reguler sejak 2001, dengan rata-rata pendaftar mencapai
700 orang per tahun dan nilai setoran antara Rp 20 juta- Rp 25 juta/jamaah. Dana haji yang terkumpul
hingga kini telah mencapai kurang lebih Rp 64,5 triliun plus dana abadi umat
sebesar Rp 2,3 triliun. Dari total dana haji itu, sebanyak Rp 35 triliun
diinvestasikan dalam bentuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN/sukuk) dan Rp
32 triliun ditempatkan di perbankan konvensional dan syariah.
Dengan
makin meningkatnya perekonomian serta hasrat masyarakat untuk berhaji yang
makin tinggi. Dana haji diperkirakan bisa mencapai Rp 100 triliun pada 2018.
Hingga 2006, dana titipan yang diamanahkan jamaah tersebut dikelola dalam
bentuk giro, deposito, dan tabungan.
Lalu,
semenjak 2009, dana haji juga telah diinvestasikan pada Sukuk Dana Haji
Indonesia (SDHI). Investasi pada sukuk memberikan keuntungan yang lebih besar
daripada deposito dengan imbal hasil mencapai 8,1 persen per tahun dan pajak
dari imbal hasil per tahun yang hanya sebesar 15 persen per tahun sementara
untuk deposito mencapai 20 persen.
Keuntungan
dari pengelolaan dana tersebut dipergunakan untuk optimalisasi kegiatan haji
dalam bentuk pela yan an, berupa akomodasi selama di Madinah, subsidi
pemondokan di Makkah, katering selama di Saudi, dan pengurusan paspor serta
akomodasi selama di embarkasi.
Namun
demikian, publik ataupun jamaah tidak tahu secara rinci berapa keuntungan
yang diperoleh dan apa-apa saja pelayanan yang diberikan dari dana
optimalisasi tersebut? Apalagi, keuntungan juga tidak dimasukkan ke rekening
jamaah karena bentuk dana tersebut bukan tabungan seperti ONH Plus atau model
Tabung Haji di Malaysia.
Opsi investasi
Potensi
keuangan dana haji yang makin membesar sangat disayangkan apabila tidak
dikelola secara profesional. Akan tetapi, tanpa aturan main yang melindungi tentunya
pihak Kemenag tidak bisa berbuat banyak. UU No 13 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji tidak memberikan amanah yang tegas untuk mengelola dana tersebut.
Padahal,
jika dana haji tersebut hanya didiamkan juga penuh dengan risiko. Pertama,
jelas tidak memiliki kebermanfaatan bagi jamaah, umat, bahkan perekonomian
secara luas. Kedua, dana yang didiamkan juga rawan tergilas inflasi dan fluktuasi
valas, sehinga risikonya biaya pelunasan yang harus ditanggung jamaah juga
makin tinggi, parah-parahnya jamaah tidak bisa berangkat saat jatuh tempo
pelunasan.
Ketiga,
dengan melakukan investasi terhadap dana tersebut akan ada risiko kerugian
yang akan membuat penye- lenggara kesulitan dana. Mengantisipasinya penting
mengukur tingkat return dan risiko dari investasi yang akan dilakukan.
Menyoal keuntungan dari hasil investasi juga terkait erat dengan dipergunakan
untuk apakah hasil keuntungan dari investasi tersebut. Dipergunakan khusus
untuk peningkatan pelayanan haji atau diperuntukkan bagi hal lain, seperti pendidikan
umat, warga miskin, dan UKM. Mencomot Tabung Haji di Malaysia, investasi pada
sektor riil juga sangat memungkinkan. Karena dampaknya dapat mengurangi biaya
haji itu sendiri.
Keempat,
polemik yang juga akan muncul begitu opsi investasi bisa lakukan adalah
memenuhi asas syar'i atau tidak
investasi yang dilakukan. Syarat ini sangat terkait dengan nilai keuntungan
yang akan diperoleh dari investasi yang sifatnya berasal dari bunga. Bunga
bank dalam Islam diharamkan, lalu bagaimana jika berangkat haji menggunakan
dana keutungan yang berasal dari bunga?
Dengan
melihat risiko dan asas kebermanfaatan yang akan diperoleh, penginvestasian
dana haji yang makin menggurita terasa penting. Untuk itu, investasi dana
haji bisa diarahkan untuk kegiatan riil, sehingga keuntungan yang diperoleh
merupakan imbal hasil dari aktivitas yang riil.
Investasi
di sektor riil tersebut tidak hanya berkutat pada soal haji seperti investasi
pembelian pesawat haji, rumah sakit haji, asrama haji, embarkasi haji,
ataupun di luar hal yang terkait dengan haji. Melainkan juga dana tersebut
bisa diinvestasikan pada kegiatan ekonomi riil, seperti pada usaha-usaha
perkebunan, pertanian, properti, perhotelan, tetapi yang utama bermanfaat
bagi umat. Misalnya soal sukuk, dana tersebut bisa dibelikan sukuk yang
terkait dengan pem bangunan infrastruktur jalan, bandara, irigasi, atau
pelabuhan, sehingga kebermanfaatannya makin luas.
Lembaga pengelola
Lalu,
siapakah yang mengelola dana tersebut ? Diperlukan lembaga khusus dan
independen yang menangani dana tersebut. Namun demikian, lembaga tersebut
harus memiliki garis koordinasi dengan Kemenag. Secara struktur bisa di bawah
Presiden atau Kemenag langsung. Syarat ini penting mengingat penyelenggaraan
dan pembinaan haji berada di bawah Kemenag. Sehingga, pengelolaan haji tidak
terpisah sehingga menyulitkan pelayanan. Selain itu, lembaga yang dibentuk
sebagai pengelola juga tidak bisa dibuat mandiri, berdiri sendiri, karena
lembaga yang dibentuk bukanlah lembaga yang memiliki orientasi bisnis murni.
Terpenting
dari rangkaian ini semua, keuntungan dari optimalisasi pengelolaan dana haji
memiliki kebermanfaatan yang jelas bagi jamaah. Lebih-lebih bisa memberikan
subsidi kepada jamaah sehingga biaya haji bukannya makin tinggi tapi makin
rendah dengan pelayanan yang lebih prima. Selain itu, juga pengelolaan dana
haji dapat memberikan manfaat yang besar kepada perekonomian secara umum.
Dengan dana triliunan tersebut sangat mubazir jika hanya diendapkan dalam
bentuk tabungan saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar