Rabu, 07 Mei 2014

Ekonomi Haji

Ekonomi Haji

Ahan Syahrul Arifin  ;   Mahasiswa Pascasarjana UI
REPUBLIKA,  06 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pemberlakukan setoran awal dana haji reguler sejak 2001, dengan rata-rata pendaftar mencapai 700 orang per tahun dan nilai setoran antara Rp 20 juta-  Rp 25 juta/jamaah. Dana haji yang terkumpul hingga kini telah mencapai kurang lebih Rp 64,5 triliun plus dana abadi umat sebesar Rp 2,3 triliun. Dari total dana haji itu, sebanyak Rp 35 triliun diinvestasikan dalam bentuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN/sukuk) dan Rp 32 triliun ditempatkan di perbankan konvensional dan syariah.

Dengan makin meningkatnya perekonomian serta hasrat masyarakat untuk berhaji yang makin tinggi. Dana haji diperkirakan bisa mencapai Rp 100 triliun pada 2018. Hingga 2006, dana titipan yang diamanahkan jamaah tersebut dikelola dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan.

Lalu, semenjak 2009, dana haji juga telah diinvestasikan pada Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI). Investasi pada sukuk memberikan keuntungan yang lebih besar daripada deposito dengan imbal hasil mencapai 8,1 persen per tahun dan pajak dari imbal hasil per tahun yang hanya sebesar 15 persen per tahun sementara untuk deposito mencapai 20 persen.

Keuntungan dari pengelolaan dana tersebut dipergunakan untuk optimalisasi kegiatan haji dalam bentuk pela yan an, berupa akomodasi selama di Madinah, subsidi pemondokan di Makkah, katering selama di Saudi, dan pengurusan paspor serta akomodasi selama di embarkasi.
Namun demikian, publik ataupun jamaah tidak tahu secara rinci berapa keuntungan yang diperoleh dan apa-apa saja pelayanan yang diberikan dari dana optimalisasi tersebut? Apalagi, keuntungan juga tidak dimasukkan ke rekening jamaah karena bentuk dana tersebut bukan tabungan seperti ONH Plus atau model Tabung Haji di Malaysia.

Opsi investasi

Potensi keuangan dana haji yang makin membesar sangat disayangkan apabila tidak dikelola secara profesional. Akan tetapi, tanpa aturan main yang melindungi tentunya pihak Kemenag tidak bisa berbuat banyak. UU No 13 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji tidak memberikan amanah yang tegas untuk mengelola dana tersebut.

Padahal, jika dana haji tersebut hanya didiamkan juga penuh dengan risiko. Pertama, jelas tidak memiliki kebermanfaatan bagi jamaah, umat, bahkan perekonomian secara luas. Kedua, dana yang didiamkan juga rawan tergilas inflasi dan fluktuasi valas, sehinga risikonya biaya pelunasan yang harus ditanggung jamaah juga makin tinggi, parah-parahnya jamaah tidak bisa berangkat saat jatuh tempo pelunasan.

Ketiga, dengan melakukan investasi terhadap dana tersebut akan ada risiko kerugian yang akan membuat penye- lenggara kesulitan dana. Mengantisipasinya penting mengukur tingkat return dan risiko dari investasi yang akan dilakukan. Menyoal keuntungan dari hasil investasi juga terkait erat dengan dipergunakan untuk apakah hasil keuntungan dari investasi tersebut. Dipergunakan khusus untuk peningkatan pelayanan haji atau diperuntukkan bagi hal lain, seperti pendidikan umat, warga miskin, dan UKM. Mencomot Tabung Haji di Malaysia, investasi pada sektor riil juga sangat memungkinkan. Karena dampaknya dapat mengurangi biaya haji itu sendiri.

Keempat, polemik yang juga akan muncul begitu opsi investasi bisa lakukan adalah memenuhi asas syar'i atau tidak investasi yang dilakukan. Syarat ini sangat terkait dengan nilai keuntungan yang akan diperoleh dari investasi yang sifatnya berasal dari bunga. Bunga bank dalam Islam diharamkan, lalu bagaimana jika berangkat haji menggunakan dana keutungan yang berasal dari bunga?

Dengan melihat risiko dan asas kebermanfaatan yang akan diperoleh, penginvestasian dana haji yang makin menggurita terasa penting. Untuk itu, investasi dana haji bisa diarahkan untuk kegiatan riil, sehingga keuntungan yang diperoleh merupakan imbal hasil dari aktivitas yang riil.

Investasi di sektor riil tersebut tidak hanya berkutat pada soal haji seperti investasi pembelian pesawat haji, rumah sakit haji, asrama haji, embarkasi haji, ataupun di luar hal yang terkait dengan haji. Melainkan juga dana tersebut bisa diinvestasikan pada kegiatan ekonomi riil, seperti pada usaha-usaha perkebunan, pertanian, properti, perhotelan, tetapi yang utama bermanfaat bagi umat. Misalnya soal sukuk, dana tersebut bisa dibelikan sukuk yang terkait dengan pem bangunan infrastruktur jalan, bandara, irigasi, atau pelabuhan, sehingga kebermanfaatannya makin luas.

Lembaga pengelola

Lalu, siapakah yang mengelola dana tersebut ? Diperlukan lembaga khusus dan independen yang menangani dana tersebut. Namun demikian, lembaga tersebut harus memiliki garis koordinasi dengan Kemenag. Secara struktur bisa di bawah Presiden atau Kemenag langsung. Syarat ini penting mengingat penyelenggaraan dan pembinaan haji berada di bawah Kemenag. Sehingga, pengelolaan haji tidak terpisah sehingga menyulitkan pelayanan. Selain itu, lembaga yang dibentuk sebagai pengelola juga tidak bisa dibuat mandiri, berdiri sendiri, karena lembaga yang dibentuk bukanlah lembaga yang memiliki orientasi bisnis murni.

Terpenting dari rangkaian ini semua, keuntungan dari optimalisasi pengelolaan dana haji memiliki kebermanfaatan yang jelas bagi jamaah. Lebih-lebih bisa memberikan subsidi kepada jamaah sehingga biaya haji bukannya makin tinggi tapi makin rendah dengan pelayanan yang lebih prima. Selain itu, juga pengelolaan dana haji dapat memberikan manfaat yang besar kepada perekonomian secara umum. Dengan dana triliunan tersebut sangat mubazir jika hanya diendapkan dalam bentuk tabungan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar