Manis
Pahit Politik Uang
Ikhsan
Darmawan ; Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
|
SINAR
HARAPAN, 06 Mei 2014
|
Michael
Kochin dan Levis Kochin (1996) pernah mengungkapkan, dalam negara demokrasi
modern, menawarkan uang kepada individu pemilih untuk mendukung suara mereka
adalah salah dan ilegal. Tentu sebagian pihak sepakat dan sebagian lagi
“tidak sepakat” dengan hal itu.
Pihak
yang sepakat adalah yang terkena dampak pahitnya politik uang, di antaranya
calon anggota legislatif (caleg) bersih, pemilih rasional berbasis program,
dan para penggiat demokrasi. Sementara itu, yang “tidak sepakat” adalah yang
mencicipi manisnya praktik haram itu, setidaknya caleg pemberi uang yang
berhasil meraih kursi di parlemen dan pemilih yang menerima uang itu.
Menurut
hasil pantauan Indonesian Corruption
Watch (ICW) pada 16 Maret-9 April di 15 provinsi, ada 313 indikasi
praktik politik uang selama masa kampanye, masa tenang, dan hari pencoblosan.
Jumlah ini melonjak, melebihi 100 persen dari Pemilihan Legislatif (Pileg)
2009 yang jumlahnya 150 temuan.
Jelas
hal ini mengkhawatirkan, apalagi jumlah kasusnya dari pemilu ke pemilu
semakin meningkat. Hal itu mengindikasikan, pelanggaran pidana politik uang
yang terjadi selama ini hanya dipantau, dimonitor, dilaporkan, lalu dihukum
seadanya. Deretan kegiatan itu pun hanya menjadi aktivitas rutin, belum
sampai titik mencegah dan menekan seminimal mungkin.
Lantas,
siapa dan/atau apa yang menjadi “kambing hitam” masalah ini? Torsten Persson,
Guido Tabellini, dan Francesco Trebbi (2002) berasumsi, aturan tentang
pemilihan umum (pemilu) berpengaruh terhadap politik uang. Bagaimana aturan
tentang pemilu dibuat seperti pilihan akan ballot structure atau district
magnitude, ini dapat mengarahkan ke hasil akhir, apakah menyuburkan
politik uang atau sebaliknya.
Masih
menyitir Persson dan kawan-kawan, mengubah sistem pemilu dari
proporsional—terutama proporsional murni—kepada sistem distrik dapat
mendorong berkurangnya kemungkinan politik uang.
Penulis
sepakat dengan pendapat di atas. Akan tetapi, penjelasan di tataran sistem
tidaklah cukup. Masih ada sejumlah faktor lain yang wajib diperhitungkan.
Pertama,
korelasi politik uang dengan korupsi politik. Hal ini bertalian dengan apa
yang telah dilakukan seorang caleg (retrospective
factor) dan motivasinya ikut kembali berkontestasi dalam pemilu (prospective factor).
Ada
terminologi yang sering diungkapkan ketika berbicara kenapa seseorang
berkorupsi politik, yaitu “uang beli uang”. Artinya, untuk bisa korupsi lagi
harus menang lagi dalam pemilu, mencapainya mesti berkorban ribuan lembar
uang.
Kedua,
rule of law. Maknanya di sini tentu saja tidak hanya apakah ada aturan
tertulis mengenai politik uang beserta sanksinya, tapi juga bagaimana penegak
hukum berwibawa menghukum pelaku dan aktor utama politik uang. Partai politik
sebagai “rumah” dari para caleg bahkan harus diberikan tanggung jawab dan
terkena risiko terdiskualifikasi jika calegnya terbukti bersalah karena
berpolitik uang.
Individu-individu
di masyarakat harus dipertontonkan bahwa jika dapat dibuktikan menerima uang
dari caleg, mereka juga akan terkena dampaknya, berupa dikenakan hukuman
penjara berat. Mengapa demikian? Apabila hal ini tidak dilakukan, percuma
saja.
Ibarat
hukum ekonomi, tidak akan ada penawaran kalau tiada permintaan. Seorang caleg
dengan uang berkoper-koper pun “mati kutu” kalau para pemilih takut dipenjara
dan menolak tawarannya. Pun sebaliknya, seorang calon pemilih yang menunggu
“serangan fajar” akan bertangan hampa kalau tidak ada kelompok pemberi “suap
politik” yang datang menghampiri mereka.
Ketiga,
peran signifikan dari partai politik. Ada dua peran yang seharusnya diambil
partai politik dalam hal ini, yaitu memberikan pendidikan politik kepada
masyarakat dan anggotanya untuk say no
to politics, kemudian dibarengi pemberian sanksi pemberhentian kepada
anggotanya yang berani berpolitik uang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar