Kurikulum
Sejarah dan Naskah Kuno
Oman
Fathurahman ; Dekan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Guru Besar Filologi FAH
UIN Jakarta
|
KOMPAS,
07 Mei 2014
|
DUA
artikel di koran ini terkait Penulisan Sejarah Nasional dan Kurikulum
Pendidikan yang ditulis Budi Darma (24/4/2014) dan L Wilardjo (30/4/2014)
patut kita respons dengan serius. Budi Darma menekankan pentingnya penulisan
sejarah berbasis penelitian dan L Wilardjo menimpali perlu masuknya ”sejarah
nasional berbasis penelitian” itu dalam kurikulum pendidikan kita.
Sejarah
adalah salah satu rumpun ilmu humaniora. Berbeda dengan ilmu eksakta atau
sains yang lebih bersifat futuristik, sumber pengetahuan ilmu humaniora harus
merujuk ke belakang dan lebih banyak mengakar sedalam-dalamnya pada budaya
dan karsa yang dihasilkan oleh peradaban manusia itu sendiri. Semakin jauh
sumber primer dirujuk, semakin kokoh pula asumsi-asumsi yang dibangun. Persis
seorang pemanah, makin kencang ia menarik busur ke belakang, makin kuat sang
anak panah menancap di sasaran.
Jelas,
sejarah harus ditulis berdasar hasil penelitian obyektif. Jelas pula, sejarah
nasional harus masuk dalam kurikulum lembaga pendidikan dasar dan menengah
kita. Akan tetapi, juga harus digarisbawahi pentingnya ”memaksakan” ke dalam
kurikulum tersebut masuknya aneka pengetahuan dan kearifan lokal yang telah
lahir dari rahim peradaban manusia Indonesia sendiri selama berabad-abad.
Indonesia
adalah salah satu negara pemilik naskah kuno terbesar di dunia, dengan tak
kurang 20 ragam bahasa lokal yang dipakai untuk menulisnya. Naskah kuno jadi
sumber primer yang mengandung sejarah kehidupan masyarakat Nusantara serta
banyak menjelaskan alasan mengapa kemudian terbentuk negara modern bernama
Indonesia.
Para
Indonesianis Eropa, semisal Dennys Lombard, Anthony Johns, Edwin P Wieringa,
Martin van Bruinessen, Henri Chambert-Loir, Willem van der Molen, Annabel Teh
Gallop, Jan van der Putten, Peter Riddell, dan Michael Laffan telah sering
menunjukkan riset-riset untuk mengungkap sejarah dan faktor-faktor apa saja
yang memberikan kontribusi terbentuknya wajah Indonesia hari ini.
Sumber-sumber yang mereka pakai adalah manuskrip kuno berbahasa Melayu, Jawa,
Arab, dan Belanda yang membentang dan tersedia sejak abad ke-16.
Naskah-naskah
masterpiece Indonesia semisal Serat Centini, Serat Cebolek, Negarakertagama,
Babad Diponegoro, I La Galigo, naskah obat-obat tradisional, naskah takwil
gempa, dan ribuan lainnya begitu dibanggakan dunia, tapi tak pernah secara
sistematis diperkenalkan dalam kurikulum sejarah untuk anak-anak kita.
Perlu ditulis ulang
Buku-buku
ajar sejarah di sekolah perlu ditulis ulang! Diperkaya dengan pengenalan
terhadap melimpahnya sumber-sumber primer yang menjelaskan ration d’etre kita
sebagai bangsa Indonesia, dan belajar dari siklus kehidupan masa silam, untuk
membangun Indonesia yang lebih arif dan tidak pelupa.
Ya,
anak-anak kita tidak boleh menjadi pelupa! Mereka bisa diajak memahami,
misalnya, bahwa meski tidak semua peristiwa gempa bumi besar, tsunami, dan
letusan gunung berapi di Indonesia terekam dalam memori tulisan tangan,
beberapa naskah kuno yang tercecer dan tersisa lebih dari cukup untuk
menceritakan kedahsyatan bencana alam itu berikut akibat yang ditimbulkannya.
Naskah
Bo’ Sangaji Kai di Bima, Nusa Tenggara Barat, sebagai contoh, jadi salah satu
sumber terpenting sejarah petaka meletusnya Gunung Tambora pada 11 April 1815
yang menyebabkan sejarah kelam Eropa tanpa musim panas setahun kemudian.
Bahkan,
dahsyatnya tsunami pasca letusan Gunung Krakatau pada Agustus 1883 pun tak
luput dari lukisan sastrawan Betawi, Muhammad Bakir, ketika menulis sastra
imajinatif Hikayat Merpati Mas.
Khusus
terkait sejarah Islam Nusantara, naskah-naskah kuno kita diyakini oleh
Anthony Johns sebagai sumber primer untuk memahami karakter Islam kita yang
ramah, santun, dan toleran. Berbeda dengan gambaran Islam yang keras dan
penuh konflik di wilayah dunia Muslim lain.
Johns
(1976: 55) secara tegas menyebut, ”…It
is works such as these that the Muslim elite wrote for themselves and each
other. It is from a study of such works in their regional settings that a
clearer and perhaps more worthy understanding of Islam in Southeast Asia may
be won….” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar