Koalisi
Sangkil Pemilu Presiden
Wawan
Sobari ; Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Brawijaya
|
TEMPO.CO,
07 Mei 2014
|
Ada
pelajaran penting yang bisa diambil dari laporan akhir dana kampanye yang
disampaikan 12 partai politik nasional kepada Komisi Pemilihan Umum (Koran
Tempo, 25 April). Besarnya dana kampanye parpol tidak berbanding lurus dengan
perolehan suara pemilu legislatif 2014. Parpol dengan bujet kampanye besar
tidak mesti memperoleh suara terbanyak. Partai Gerindra, yang melaporkan
pengeluaran anggaran kampanye terbesar sebesar Rp 434,945 miliar, justru
hanya menempati posisi ketiga perolehan suara menurut hasil sejumlah hitung
cepat.
Apabila
menggunakan ukuran rasio pengeluaran dana kampanye dan perolehan suara
parpol, PKS merupakan parpol paling sangkil (efisien). PKS melaporkan
pengeluaran kampanye sebesar Rp 121 miliar. Sedangkan nilai tengah (median)
perolehan suara PKS, menurut empat hasil hitung cepat (SMRC, LSI Lingkaran,
Cyrus-CSIS, IPI), adalah sebesar 6,9 persen. Maka, rasio efisiensi dana
kampanye PKS sebesar Rp 17,54 miliar per persen perolehan suara.
Posisi
kedua ditempati PDIP dengan rasio efisiensi Rp 21,26 miliar per persen.
Kemudian diikuti PPP (Rp 24,15 miliar), PKB (Rp 26,86 miliar), dan Golkar (Rp
27,51 miliar). Sedangkan Partai Hanura terkategorikan sebagai parpol dengan
dana kampanye paling boros, dengan rasio Rp 69,26 miliar per persen.
Hasil
penghitungan efisiensi dana kampanye melahirkan catatan penting mengenai
urgensi strategi dan organisasi parpol. Strategi terkait dengan kemampuan
parpol mendorong peningkatan loyalitas keanggotaan dan ekspansi pemilih
parpol. Organisasi terkait dengan kapasitas manajemen dan loyalitas pengurus
parpol hingga tingkat terbawah.
Sejak
awal pendiriannya, PKS dikenal sebagai partai kader karena segmentasi
pemilihnya yang jelas dan loyal. PKS didirikan, dipimpin, dan didukung oleh
kumpulan individu kalangan terdidik yang loyal. Terbukti, hantaman kampanye
negatif kasus korupsi yang menimpa pimpinan PKS tidak secara drastis
meruntuhkan kepercayaan para kadernya. Suara PKS diperkirakan hanya turun
sekitar 1 persen dibanding hasil Pemilu 2009 (7,89 persen).
Adapun
PDIP, yang mendeklarasikan diri sebagai partai wong cilik, berhasil keluar
dari tren penurunan suara pemilu legislatif 1999 (33,75 persen) hingga pemilu
legislatif 2009 (14,01 persen). Median empat hasil hitung cepat memperkirakan
perolehan suara PDIP sebesar 19,04 persen. Tanpa mengesampingkan daya tarik
Joko Widodo (Jokowi), strategi dan organisasi PDIP relatif berhasil
mengembalikan kepercayaan pemilihnya, meski tidak menyamai capaian pemilu
legislatif 1999.
Lantas,
apa relevansi dari catatan efisiensi penggunaan dana kampanye parpol untuk pemenangan
pemilu presiden 2014? Pertama, efisiensi dana kampanye bisa dijadikan argumen
membangun koalisi. Parpol-parpol yang terkategorikan efisien merupakan bukti
kemampuannya untuk tidak melulu bertumpu pada besarnya dana kampanye,
melainkan bersandar pada kapasitas strategi dan organisasi parpol dalam
menghadapi pemilu.
Namun
bukan berarti parpol pemenang pemilu legislatif yang terkategorikan efisien,
seperti PDIP, tidak bisa membangun koalisi dengan parpol yang tak efisien.
Sebaliknya, PDIP, yang sudah mendeklarasikan koalisi dengan Partai NasDem
dalam pemilu presiden 2014, justru akan memperoleh dampak positif. Kemampuan
Partai NasDem dalam menggalang dana kampanye akan membantu PDIP, yang
mencalonkan Jokowi. Sedangkan Partai NasDem, yang terkategorikan tidak
sangkil (Rp 41,4 miliar), akan belajar dari kapasitas PDIP dalam
mengoptimalkan strategi dan organisasi kepartaiannya.
Kedua,
ukuran efisiensi penggunaan dana kampanye parpol bisa menjadi dasar evaluasi
dan menyusun strategi pemenangan pemilu presiden 2014. Partai Gerindra, yang
mendeklarasikan Prabowo Subianto sebagai calon presiden, perlu merefleksikan
angka efisiensi penggunaan dana kampanyenya yang mencapai Rp 36,66 miliar per
persen. Meski perolehan suara Gerindra melejit hampir tiga kali lipat dari
hasil pemilu legislatif 2009 (4,46
persen), penggunaan dana kampanyenya tergolong kurang efisien. Karena itu,
Partai Gerindra perlu mempertimbangkan masak-masak parpol yang diajak
berkoalisi mencalonkan Prabowo. Terutama memilih calon wakil presiden yang
diajukan parpol terkategorikan efisien. Pun, Gerindra bisa lebih
mengoptimalkan strategi ekspansi pendukung Prabowo dan manajemen kampanye
yang akan dijalankan kader-kadernya di tingkat terbawah.
Ketiga,
kampanye memang bukan satu-satunya faktor yang mendorong keberhasilan parpol
meraih suara tinggi dalam pemilu presiden nanti. Kekuatan figur yang
merupakan gabungan tingkat popularitas dan kesukaan terhadap calon bisa saja
lebih kuat. Terbukti, pasangan SBY-Boediono, yang meraih suara 60,80 persen suara
dalam pemilu presiden 2009, mengeluarkan dana kampanye resmi sebesar Rp
232,58 miliar. Nilai tersebut hanya 75,76 persen dari dana kampanye Partai
Demokrat dalam pemilu legislatif 2014.
Alhasil,
ukuran efisiensi belanja kampanye pemilu legislatif 2014 berguna dalam
menghadapi pemilu presiden mendatang. Terutama dalam mengukur kapasitas
strategi dan organisasi parpol yang efisien guna mendongkrak elektabilitas
calon presiden dan calon wakil presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar