Belajar
dari Taiwan
Dinna
Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 07 Mei 2014
Indonesia
sebagai sebuah negara yang luas dari sisi wilayah dan besar dari jumlah
penduduk dan sumber daya alam mungkin perlu belajar dari negara-negara yang
tidak memiliki keistimewaan seperti yang kita punyai. Dalam situasi yang
mendesak, sebuah negara atau masyarakat dipaksa untuk memutar otak dan
mencari jalan keluarnya.
Salah
satunya adalah Taiwan. Dalam pergaulan internasional, Taiwan tidak bisa
disebut sebagai sebuah negara, tetapi merupakan ”entitas” yang memiliki
otonomi untuk mengatur politik, ekonomi, pertahanan, dan bahkan relasi sosial
budaya di wilayahnya. Kalau Anda angkat bicara tentang kerja sama dengan
Taiwan kepada Kementerian Luar Negeri di Indonesia, besar kemungkinan dialog
akan sangat terbatas pada konteks kerja sama bidang ekonomi, khususnya
perdagangan, investasi, budaya, dan pengiriman tenaga kerja migran. Urusan
seputar politik, pertahanan atau kenegaraan akan dihindari.
Maklum,
Pemerintah Indonesia menganut prinsip One
China Policy, artinya Indonesia mengakui bahwa Republik Rakyat China
(RRC) adalah satu-satunya perwakilan sah dari China sehingga Indonesia tidak
mengakui Taiwan (yang nama resminya adalah Republic of China). Karena pilihan tersebut, Indonesia hanya
punya hubungan diplomatik dengan RRC, sementara dengan Taiwan hanya ada
kantor perwakilan dagang dan ekonomi. Meskipun bukan mitra diplomatik
Indonesia, Taiwan termasuk yang gigih memperjuangkan kerja sama yang lebih
erat dengan Indonesia.
Data
BKPM menunjukkan bahwa Taiwan berada di urutan kesembilan sumber investasi
asing di Indonesia di mana perusahaan-perusahaan besar Taiwan seperti Acer Inc, China Trust Bank, Evergreen
Group mempunyai cabang perusahaan di Indonesia. Taiwan juga membuka diri
seluas-luasnya untuk pengiriman tenaga kerja dari Indonesia. Pada tahun 2014
Indonesia menyumbang tenaga kerja asing terbesar untuk Taiwan (mencapai 44%
jumlah tenaga kerja di Taiwan) dan bagi Indonesia jumlah TKI yang bekerja di
Taiwan tergolong terbesar se-Asia-Pasifik. Taiwan juga membuka beasiswa untuk
menempuh pendidikan tinggi S-1, S-2, dan S-3 serta tidak segan-segan
menyediakan peluang kunjungan dan penelitian gratis pula bagi peneliti dari
Indonesia.
Kegigihan
Taiwan menjadi dasar bagi saya untuk ingin tahu lebih banyak tentang Taiwan.
Sebagai sebuah bangsa, populasi Taiwan terbilang relatif lebih besar
dibandingkan negaranegara kecil dunia. Penduduknya mencapai 23,3 juta orang,
hampir sama besar dengan Malaysia. Namun, dengan segala ”problem politik”
yang harus ia kelola secara terus-menerus dengan China, bahkan Taiwan juga
tidak diakui sebagai sebuah negara secara internasional, negara itu tetap
berhasil tampil sebagai entitas politik yang cukup disegani di dunia.
Kesulitan Taiwan dari segi politik bukanlah main-main. Dari RRC, mereka terus
mengalami tekanan karena keaktifan mereka di bidang ekonomi dan politik di
tataran global.
Misalnya
saja mereka dikepung oleh tak kurang dari 1.300 senjata nuklir dari RRC.
Mereka mengalami tekanan politik yang keras dari RRC seputar konflik
teritorial di Laut China Selatan. Dan dari segi ekonomi, karena bukan sebuah
negara, ketika masuk ke suatu negara untuk tujuan berdagang, Taiwan harus
membayar bea atau tarif yang lebih tinggi daripada ketentuan bagi sebuah
negara. Artinya, kalau Taiwan punya nyali kecil dan kepercayaan diri yang
rendah, mereka pasti memilih untuk bermusuhan saja dengan RRC dan
”seperlunya” saja dengan negara-negara seperti Indonesia.
Tapi
bukan begitu pendekatan Taiwan. Taiwan tergolong aktif memberikan
bantuan-bantuan ke negara lain ketika terjadi bencana alam, termasuk dalam
kasus gempa bumi di Yogyakarta dan bencana nuklir Fukushima di Jepang. Mereka
juga membentuk Taiwan International
Cooperation and Development Fund untuk mengirimkan dana bantuan
pembangunan bagi negara-negara berkembang. Filosofi Taiwan dalam tata kelola
pemerintahan menjadi menarik sebagai catatan negara seperti Indonesia. Taiwan
tidak gentar di hadapan segala kesulitan politik. Ketika berhadapan dengan
negara besar, ia memilih untuk mencari segala peluang dalam mengembangkan
diri meskipun tidak sepenuhnya ”dibukakan pintu”.
Bahkan
ketika ia ditolak secara politik, misalnya dengan RRC, pemerintahan mereka
memilih untuk mengakrabkan diri dengan RRC. Ketika rakyatnya berunjuk rasa
dan secara keras menolak inisiatif pembukaan pakta kerja sama ekonomi dengan
RRC, pemerintahnya bersikap tenang karena berusaha meyakinkan penduduknya
bahwa ke depan, masa depan Taiwan akan lebih baik bila bisa ”masuk” ke
lingkar ekonomi China dan bukannya berhadap-hadapan keras dengan China.
Artinya reaksi pemerintah bahkan di tengah tekanan masyarakat tidaklah
berlebihan dan tidaklah reaktif. Negara konsisten menghitung langkah dan
menguji segala peluang untuk maju ke tingkat yang lebih tinggi. Hasilnya
tidak sia-sia.
Dari
sisi daya saing, Taiwan menjadi entitas yang perekonomiannya cukup disegani
di dunia. Bahkan di antara negaranegara maju yang tergabung dalam organisasi
bergengsi OECD, Taiwan dipantau terus kemajuannya. Pasalnya, dari segi
pendidikan, misalnya, akselerasi performa siswa Taiwan berada cukup jauh dari
negara-negara maju, baik itu di bidang matematika, membaca maupun sains. Kita
juga tahu bahwa di dunia usaha, kekuatan bisnis Taiwan ditopang oleh
kesuksesan negara mengelola perusahaan mikro, kecil dan menengah alias UMKM.
Bahkan
mereka punya program yang terbukti sukses mendorong lahirnya
pengusaha-pengusaha perempuan dan pengusaha muda yang bisnisnya bisa
berekspansi sampai ke berbagai penjuru dunia. Di sini saya ingin mengajak pembaca untuk melakukan refleksi tentang apa yang
sebenarnya dibutuhkan negara seperti Indonesia dengan berkaca pada pengalaman
Taiwan, yaitu rasa optimistis dan pantang menyerah. Kekayaan alam yang besar
bukan jaminan sebagai tiket untuk mencapai kemajuan ekonomi. Bahkan Taiwan
harus mengimpor 98% energinya. Masyarakat Taiwan yang secara politik terikat
oleh China ternyata tetap dapat maju karena mereka ulet dan lentur menghadapi
masalah yang dihadapi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar