Koalisi
Kualitatif
Jeffrie
Geovanie ; Direktur Utama
PT Sinar Harapan Media Holding
|
SINAR
HARAPAN, 16 Mei 2014
|
Koalisi
yang akan dibangun partai-partai semakin hari semakin jelas arahnya. Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) berada dalam satu barisan.
Di barisan lain ada Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), serta Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sementara
itu, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrat, Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) belum memastikan mau
bergabung dengan siapa, setidaknya sampai kolom ini ditulis.
Pemilihan
legislatif (pileg) yang hasilnya sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
memang belum mampu melahirkan partai dengan perolehan suara mayoritas. Bahkan
untuk sekadar mengajukan calon presiden (capres), partai-partai harus
berkoalisi.
Kondisi
ini patut disyukuri. Dengan begitu, para politikus yang baru saja bersaing
berebut kursi parlemen dipaksa saling bekerja sama. Ini sangat baik karena
kerja sama menjadi salah satu syarat keberhasilan membangun bangsa.
Koalisi
atau kerja sama membangun kekuatan politik dibutuhkan dalam dua hal. Pertama,
dalam jangka pendek untuk memperluas dukungan atau menambah raihan suara agar
bisa memenangi pemilihan presiden (pilpres). Kedua, dalam jangka panjang agar
bisa membangun pemerintahan yang kuat dan efektif saat sudah berhasil meraih
kursi kepresidenan.
Dari
semua capres yang sudah resmi diajukan partainya, akhirnya hanya dua yang
menonjol, Joko Widodo (Jokowi) dari PDIP dan Prabowo Subianto dari Partai
Gerindra. Menurut berbagai survei, dua capres inilah yang diprediksi
bertarung ketat memperebutkan kursi kepresidenan.
Untuk
memuluskan capresnya masing-masing, baik PDIP maupun Gerindra sama-sama giat
menjalin komunikasi dengan partai lain. Selain silaturahmi, agenda utamanya
tentu penjajakan koalisi. Masing-masing partai punya ragam alasan untuk bisa
menjalin koalisi.
Secara
garis besar, ada dua model koalisi yang akan dibangun. Pertama, koalisi kerja
sama yang kokoh di atas kesamaan ideologi dan platform. Kedua, koalisi besar
berdasarkan persamaan kepentingan untuk memperkuat sistem presidensial dengan
dukungan parlemen yang solid.
Model
pertama diinginkan PDIP-Jokowi. Dengan model ini, PDIP sudah merasa cocok
dengan Partai Nasdem yang saat bertemu platfom dan kesamaan ideologi
diketengahkan, tanpa bicara bagi-bagi kursi di kabinet. PKB yang awalnya
mengajukan nama capres akhirnya pun lebih mengedepankan kesamaan platform.
Begitu pula Partai Golkar.
Model
kedua diinginkan Gerindra-Prabowo. Dengan model ini, Gerindra tidak
mengharamkan kalkulasi bagi-bagi kursi sebagai tuntutan yang realistis,
berambisi membangun koalisi besar. Soal ideologi, tentu menjadi salah satu
pertimbangan, meskipun bukan yang utama.
Kedua
model ini sama-sama sah dan halal dalam sistem demokrasi. Persamaan ideologi
dan kepentingan adalah modal utama berkoalisi.
Ada yang
mengatakan, kesamaan ideologi lebih tinggi nilainya dibandingkan kesamaan
kepentingan. Saya kira pendapat ini bisa benar, bisa juga salah. Itu karena
pada faktanya, antara ideologi dan kepentingan tak bisa dipisahkan, lebih
tepatnya tak bisa didikotomikan.
Dalam
ideologi ada kepentingan dan dalam kepentingan ada ideologi. Jika ideologi
adalah ide, kepentingan adalah aksi. Antara ide dan aksi tak bisa dipisahkan
karena ide tanpa aksi dalam politik praktis ibarat kepala tanpa kaki.
Apa pun
model koalisinya, menurut saya, yang penting orientasinya ke kualitas, bukan
kuantitas. Koalisi yang dibangun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dengan memperbanyak kursi koalisi di parlemen jelas menunjukkan koalisi yang
berorientasi kuantitas.
Karena
semata kuantitas, koalisi tampak gemuk atau bahkan tambun, namun tidak sehat.
Bukti-bukti ketidaksehatan koalisi terutama ditunjukkan adanya ketidaksolidan
dalam merespons isu-isu krusial yang didukung partai pemerintah.
Ada
inkonsistensi sikap anggota koalisi. Satu sisi tetap bersikukuh dengan
jabatan menteri yang didudukinya, di sisi lain tidak selalu bersikukuh dalam
membela kepentingan partai pemerintah yang telah memberinya jatah kursi
menteri itu. Tidak terjadi proses take
and give yang seimbang.
Koalisi
yang dibangun dengan rapuh inilah yang secara langsung atau tidak langsung
berimplikasi ke keragu-raguan pemerintah dalam menempuh kebijakan-kebijakan
penting, namun tidak populer, seperti kebijakan mengurangi subsidi bahan
bakar minyak (BBM) yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Seharusnya, dengan anggota koalisi yang mayoritas mutlak di parlemen,
pemerintah tidak perlu ragu mengambil setiap kebijakan.
Koalisi
yang besar tentu penting guna memperkuat presidensialisme. Ini setiap
kebijakan presiden mendapat dukungan kuat di parlemen.
Koalisi
besar menjadi tidak berguna jika tidak mampu memperkuat kebijakan presiden.
Oleh karena itu, orientasi kualitas menjadi urgen dalam proses koalisi agar
pemerintahan yang dibentuk tidak disibukkan upaya-upaya konsolidasi anggota
koalisi, yang selain menyita banyak waktu juga menyita banyak perhatian
publik. Pemerintah menjadi tidak bisa fokus ke tugas-tugas pokoknya.
Koalisi
berkualitas, bisa besar bisa juga sedikit dan sederhana, sedikit artinya
sekadar mampu memenuhi syarat pencalonan presiden. Sederhana artinya juga,
bisa menguasai 50 persen plus satu kursi parlemen.
Mau
besar atau sedikit/sederhana, yang terpenting adalah kemampuannya membangun
soliditas dalam mendukung program-program pemerintah. Keberhasilan pemerintah
dalam menempuh kebijakan-kebijakan politik yang baik dan bermanfaat bagi
rakyat tanpa mendapatkan interupsi yang berarti dari parlemen. Itulah salah
satu indikator penting dari koalisi yang berkualitas.
Indikator
lain adalah kemampuannya menjaga keutuhan koalisi hingga akhir masa jabatan
pemerintahan (minimal satu periode), tanpa diwarnai bongkar pasang anggota
kabinet. Artinya, dalam koalisi berkualitas, akan lahir pemerintahan
berkualitas yang ciri utamanya adanya zaken
kabinet (kabinet ahli) yang utuh dan mampu menjalankan tugas-tugasnya
secara efektif dari awal hingga akhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar