Kewajiban
Kaum Intelektual
Anas
S Machfudz ; Peneliti
Senior
pada Puslit
Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI
|
KOMPAS,
19 Mei 2014
Pada
dasawarsa 1980-an (almarhum) Romo YB Mangunwijaya menulis peran dan tipologi
intelektual di majalah Prisma. Menurut penulis novel Burung-burung Manyar
itu, intelektual kelas wahid adalah Socrates. Filsuf Yunani kuno itu dipuji
karena komitmennya dalam mempertahankan keyakinannya meskipun harus dibayar
dengan kematian. Socrates rela dipaksa minum racun karena dituduh penguasa
telah memprovokasi kaum muda dengan menanamkan nilai-nilai idealisme yang
dianggap membahayakan kekuasaan. Sementara itu, intelektual kelas kambing,
menurut Romo Mangun, adalah mereka yang menghitung 4 x 4 = 20 karena
kekuasaan.
Di
tengah-tengah rezim represif yang menghukum siapa saja yang kritis terhadap
pemerintah, tulisan Romo Mangun terasa istimewa. Kini rezim sudah lain.
Kebebasan telah diberikan kepada kaum intelektual untuk menyuarakan kebenaran
yang diyakini meskipun budaya pemanggilan secara diam-diam masih
dilestarikan. Dalam suasana suhu politik yang terus memanas, suara kaum
intelektual selalu ditunggu sekaligus dibenci. Suara miring atas tuduhan
bahwa sebagian intelektual telah bersikap tidak netral dan memihak kepada
partai yang berkuasa, atau yang diperkirakan akan berkuasa, terus mengalir.
Dalam
sejarah, kita mengenal sejumlah tokoh intelektual yang dapat dijadikan
referensi. Ada Gramsci, intelektual yang aktivis, yang telah membela partai
komunis dalam melawan fasisme Mussolini. Ada Edward Said yang sepanjang
hidupnya dihabiskan membela rakyat Palestina yang hak-haknya dirampas Israel.
Ada Jean-Paul Sartre yang menolak Hadiah Nobel sebagai simbol pembelaannya
atas kaum papa.
Dalam
dunia akademik, setiap intelektual punya kesempatan memilih perannya. Gramsci
telah membagi intelektual tradisional
yang posisinya cenderung ada dalam menara gading dengan intelektual organik
yang selalu gelisah untuk terlibat dalam setiap perubahan yang ditawarkan.
Hirau
kepada setiap kebenaran yang diselewengkan adalah ciri utama intelektual ini.
Setiap intelektual bebas menentukan model peran yang diinginkan apakah
seperti Gramsci, Edward Said, atau Sartre.
Mengambil jarak
Dalam
upaya mempermudah kesetiaan pada komitmen dan menjaga integritas keilmuan,
Heidegger, filsuf eksistensialis, memberi nasihat agar kaum intelektual
selalu mengambil ”jarak” dengan sistem. Tanpa keberanian mengambil jarak,
kaum intelektual akan mudah kehilangan
daya kritis. Mereka akan mudah bersimpuh dalam pangkuan kekuasaan yang
menggoda.
Kaum
intelektual harus berjarak dan berani membebaskan diri dari pasungan ikatan
primordialisme (SARA), termasuk pada keyakinannya sendiri. Jujur untuk tidak
menitipkan pandangannya demi keuntungan politis jangka pendek.
Kaum
intelektual juga harus membebaskan diri dari semangat sektarian yang memecah
belah dan berkutat dalam kebenaran kecil. Kaum intelektual harus menjadi juru bicara kebenaran dan
keadilan di atas atap kekuasaan yang disalahgunakan. Rujukan kaum intelektual
adalah fakta sosial dan bukan kumpulan opini yang telah dicemari kepentingan
yang manipulatif.
Selama
kaum intelektual taat pada kode etiknya (boleh salah tetapi tidak boleh
berbohong), tidak ada yang layak dirisaukan. Setiap analisis yang merujuk
pada fakta sosial, apakah itu bersumber dalam ideologi, visi-misi, manifesto
partai politik, atau data BPS, misalnya, adalah sah secara keilmuan. Analisis
bisa saja salah, tapi tidak dapat diadili, kecuali diklarifikasi. Kaum
intelektual hanya dapat diadili ketika sedang jadi juru bicara kebohongan.
Demikian
juga jika pandangannya berporos pada kepentingan kekuasaan yang ujung-
ujungnya melayani diri sendiri, mereka layak dikategorikan sebagai intelektual
kelas kambing. Dikotomi ini tentu saja bukanlah bersifat hitam-putih. Selalu
ada posisi antara (in between) yang
menduduki kedua garis ekstrem itu. Ada kaum intelektual yang masuk dalam
kekuasaan dengan tujuan ingin mengubah dari dalam. Meskipun alasan ini
cenderung klise, niatnya harus dihargai.
Dalam
masyarakat transisi yang sedang menjalankan proyek demokrasi yang tidak
pernah beranjak dari fase prosedural,
tugas besar kaum intelektual adalah melapangkan jalan menuju demokrasi
substansial. Banyaknya hasil penelitian yang memperlihatkan hasil pileg yang
penuh manipulatif dan kecurangan via politik uang merupakan fakta yang paling
mencemaskan.
Demokrasi
substansial tidak akan pernah terwujud jika jual-beli suara tidak dihentikan.
Di sini kaum intelektual harus menyuarakan kepentingan umum, setia pada suara
hati nurani, akal sehat, dan berani mengambil risiko menyampaikan kebenaran
dan bukan sebagai corong kekuasaan.
Kaum
intelektual juga berkewajiban mendesiminasikan bahwa menjualbelikan suara
dengan ketenaran, pencitraan, utamanya dengan ”politik uang”, sangatlah
berisiko bagi terlembaganya korupsi di masa depan. Bahwa memilih pemimpin
bukanlah seperti membeli kucing di dalam karung. Reputasi, jejak langkah,
integritas, komitmen adalah sejumlah pertimbangan sebelum menjatuhkan
pilihan.
Akhirnya,
kaum intelektual tidak dapat difragmentasikan dalam kotak-kotak atas dasar
jenis pekerjaan pegawai negeri atau swasta. Status pekerjaan hanyalah rumah
sementara. Mereka bisa berprofesi sebagai dosen, peneliti, hakim, anggota
parlemen, jurnalis, dan sebagainya.
Tidak
ada larangan bagi hakim yang pegawai negeri, misalnya, menolak RUU yang
diajukan pemerintah jika tidak mencerminkan keadilan. Kesetiaan hakim
bukanlah kepada pemerintah, tapi kepada nilai-nilai keadilan.
Nilai moral
Sebaliknya,
sangatlah tercela sekiranya hakim memutuskan perkaranya sendiri demi
memperjuangkan kepentingannya. Tidak ada larangan bagi peneliti atau dosen
untuk mengkritik kebijakan pemerintah. Sejauh menyuarakan keadilan dan
kebenaran, kritik adalah bagian dari fungsi kenabian yang mulia.
Kesetiaan
kaum intelektual bukan pada pemerintah (baca: partai yang sedang memerintah)
yang kapan saja dapat datang dan pergi. Sumber obyektivitas kaum intelektual
adalah nilai-nilai moral yang menjunjung tinggi kebebasan, keadilan,
kesetaraan, dan kejujuran. Tragedi Socrates adalah pelajaran yang paling
berharga: bagaimanapun keyakinan pada dasarnya tak dapat diadili. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar