Galau
Putu
Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
17 Mei 2014
Hidangan
makan malam di rumah Romo Imam sangat beragam. Istrinya jago masak. Sebelum
mengambil piring, kami biasa bergurau. "Bu, saya lagi tak ada nafsu
makan," kata saya. "Sariawan?" Saya menggeleng: "Bukan,
tak enak makan sebelum Jokowi mengumumkan calon wakil presidennya."
Bu Imam
tertawa. "Sama," sahutnya. "Kemarin ibu hampir luka ketika
memotong cabe. Pikiran menerawang, kok Demokrat begitu lambat bergerak. Mau
merapat ke capres yang sudah ada atau membuat poros baru? Pemenang konvensi
pun diumumkan dengan setengah hati."
Saya
menunggu reaksi Romo Imam. Tapi Romo seperti tuli. Saya pun menggoda Bu Imam
lagi. "Ibu tak memikirkan Golkar dengan capresnya ARB?" Lagi-lagi
Bu Imam tertawa: "Golkar tak laku. Pemenang kedua kok miskin figur.
Sekarang pasrah bongkokan mau merapat ke Megawati. ARB lagi galau, tapi SBY
lebih galau lagi."
"Apa
kabar Hatta Rajasa?" tiba-tiba Romo Imam buka suara. Saya menyahut:
"Sudah pamit mundur sebagai menteri. Hatta Rajasa sudah dinyatakan
sebagai cawapres Prabowo. Tapi, ketika PPP dan PKS mempersoalkan, pimpinan
Gerindra segera berdalih deklarasi belum resmi. Lalu, PPP mengajukan cawapres
ketua umumnya."
Romo
mengambil piring, lalu berkata: "Hatta Rajasa patuh pada aturan. PP 18
Tahun 2013 menyebutkan menteri dan pejabat setingkat menteri harus mundur
paling lambat seminggu sebelum didaftarkan resmi sebagai capres atau
cawapres. Jika Hatta Rajasa dibatalkan sebagai cawapres, itu namanya sudah
jatuh tertimpa tangga."
"Katanya
koalisi tanpa syarat. Terserah yang dipilih oleh Jokowi maupun Prabowo,"
saya menggugat. Ini komentar Romo: "Masih percaya omongan begitu? Tak ada
dukungan yang gratis. Kalau betul tanpa syarat, kenapa Hatta Rajasa
dipersoalkan? Kenapa tiba-tiba ada tokoh PKB yang mengusulkan agar Jokowi
memilih Muhaimin sebagai cawapres? Kenapa pimpinan NU bilang NU hanya
mendukung Jokowi jika wakilnya Mahfud Md. atau Jusuf Kalla? Ibarat promosi
berhadiah, syarat dan ketentuan berlaku."
Bu Imam
mengambil piring sambil nyerocos: "Saya sih tetap penasaran sama
Demokrat. Dahlan Iskan diumumkan sebagai pemenang, terus dapat apa?"
Romo langsung menyambar: "Dahlan sudah masuk kotak. Dia menteri seperti
Hatta Rajasa. Kalau mau jadi capres atau cawapres, harus mundur paling lambat
seminggu sebelum didaftarkan resmi, begitu bunyi PP 18/2013.
Pendaftaran
terakhir 20 Mei, ya, tak keburu. Entah kenapa pengumuman konvensi sengaja
mepet, mungkin tahu kalau Dahlan yang belakangan tak dikehendaki, bisa
menang. Tapi alasan SBY masuk akal, Demokrat tak bisa mengusung capres, mau
koalisi dengan siapa?"
"Golkar
yang malam ini Rapimnas," kata saya, memotong. Romo tertawa.
"Golkar ini partai yang selalu ingin berkuasa atau gabung dengan
kekuasaan. Kalau dia lihat kemungkinan menang tak ada, dia pilih merapat ke
koalisi yang diyakini menang. Lagi pula, koalisi Golkar dan Demokrat mau
mengusung siapa? Figur yang populer sudah dikunci oleh Jokowi sebagai
kandidat cawapres. Mahfud Md., Jusuf Kalla, Abraham Samad pasti lebih baik
menunggu takdir ketimbang tertarik pada tawaran Demokrat. Dan Megawati
pinter, gembok kunci baru dibuka beberapa menit sebelum didaftarkan."
"Siapa
tahu, demi harga diri, ARB tetap maju dan Demokrat ambil salah satu peserta
konvensi untuk cawapres. Karena Dahlan Iskan masuk kotak, ya, Pramono Edhie,
ipar SBY. Kedua partai Rapimnas hari ini, kita tunggu saja," kata saya.
Romo Imam nyeletuk: "Kalau begitu, namanya koalisi galau. ARB-Pramono
hanya membuat pemilu presiden jadi boros." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar