Kegalauan
STIP
Darmaningtyas ;
Pengamat
Pendidikan
|
TEMPO.CO,
05 Mei 2014
Sekolah
Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) merasa galau pasca-kasus meninggalnya taruna
Dimas Dimika Handoko yang dianiaya oleh seniornya. Hal itu tidak terlepas
dari respons keras masyarakat, termasuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M.
Nuh, yang berencana menutup dua program studi (Nautika dan Teknika) yang
tarunanya terlibat tindak kekerasan selama 2 tahun untuk memutus rantai
kekerasan.
Dilihat
dari strategi pemutusan rantai kekerasan, rencana penutupan tersebut dapat
dipahami, karena mungkin dengan cara itu ada jarak yang jauh antara senior
dan junior sehingga sulit bagi senior untuk intervensi. Tapi ini sifatnya
juga masih hipotesis. Dalam arti, apakah setelah siklus tersebut diputus,
dijamin tidak ada kekerasan lagi di masa mendatang? Di sisi lain, dilihat
dari perspektif kebutuhan tenaga kemaritiman, rencana penutupan tersebut
menimbulkan banyak konsekuensi, misalnya updating
(pemutakhiran pengetahuan sesuai dengan amendemen STCW 95 ke SCTW Manila
2010) menjadi terlambat, penyediaan tenaga pelaut maupun penyiapan instruktur
(guru dan dosen) terhambat, serta MOA dengan lembaga pendidikan dan latihan
maritim swasta secara otomatis gugur karena STIP sendiri tidak aktif.
Dua
kutub kepentingan ini sulit untuk dipertemukan karena masing-masing memiliki
argumen yang sama-sama kuat. Argumen Kemdikbud menutup sementara untuk
memupus rantai senior-junior dapat diterima akal sehat. Kemdikbud perlu
mengambil langkah tersebut, mengingat kematian taruna junior oleh senior di
STIP itu bukan terjadi sekali ini saja, tapi sebelumnya pernah terjadi hal
yang sama.
Sebaliknya,
kegalauan STIP dan Kementerian Perhubungan bila dua prodinya ditutup minimal
2 tahun akan mengganggu proses penyediaan tenaga-tenaga pelaut yang andal.
Dengan ditutupnya prodi Nautika dan Teknika, berarti kebutuhan pelaut yang
tesertifikasi makin sulit terpenuhi karena STIP tidak bisa menerima taruna
dalam jumlah banyak. Sampai saat ini kebutuhan nasional akan pelaut yang
tesertifikasi lebih dari 500 ribu orang, sehingga terpaksa dicukupi oleh
pelaut-pelaut dari luar, seperti Myanmar atau Filipina.
Kecuali
itu, pada saat ini Indonesia sudah mendapatkan white list dari IMO, yaitu Organisasi Maritim Internasional, dan
salah satunya yang dilaporkan adalah STIP. Apabila dua prodi STIP ditutup
oleh Kemdikbud untuk sementara, berarti white
list tersebut akan ditinjau ulang. Dengan kata lain, rencana penutupan
tersebut memiliki dampak luas berkaitan dengan posisi Indonesia di IMO,
sekaligus terhadap pemenuhan kebutuhan tenaga pelaut yang tesertifikasi.
Persoalannya menjadi lebih luas lagi bila dikaitkan dengan dimulainya
Masyarakat ASEAN 2015, di mana tenaga-tenaga asing dari ASEAN bebas bekerja
di Indonesia, sementara Indonesia sebagai negara kelautan justru tidak
memiliki pelaut yang terdidik. Tapi, di sisi lain, kekerasan dalam dunia
pendidikan, apalagi membawa kematian, tidak boleh ditoleransi.
Antara
Kemdikbud dan pengelola sekolah-sekolah kedinasan, termasuk STIP, perlu duduk
bersama secara intens untuk menemukan solusi terbaik dalam memutus rantai
kekerasan senior terhadap junior tanpa harus mengorbankan kepentingan bangsa
yang lebih luas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar