Elite
Partai Bukan “Elite”
Mohamad
Sobary ; Budayawan
|
SINAR
HARAPAN, 07 Mei 2014
|
Dalam
kajian sosiologi ada ungkapan the
rulling elite, merujuk suatu kelompok kecil penguasa di suatu nasyarakat
atau suatu negara. Dalam pengertian ini, konsep “elite” memang berarti
“elite”.
Ditinjau
dari berbagai sudut kehidupan, misalnya tingkat pendidikan, kemampuan
berpikir, keunggulan dalam leadership, keterampilan dalam tata pemerintahan,
kecanggihan mengelola birokrasi, maupun cara dan tingkat hidup sosial,
ekonomi maupun politik kelompok tadi, kelompok tersebut memperlihatkan
keunggulan yang tak dimiliki kelompok-kelompok lain.
Apabila
kita berbicara mengenai kualitas moral, kelompok “elite” dalam banyak hal
telah lebih teruji dibandingkan kelompok-kelompok lain.
Lebih
lagi bila merujuk secara khusus mengenai kapasitas moral kalangan “elite” di
masyarakat tradisional yang kehidupannya berdasarkan tatanan komunal. Di
masyarakat ini, kualitas moral kaum “elite”-nya jelas sangat hebat dan tak
tertandingi pihak-pihak lain yang merupakan warga biasa di masyarakat tadi.
Ringkasnya,
kualitas mereka dalam berbagai ukuran melampaui—sering jauh sekali—kemampuan
mayoritas warga masyarakat umumnya. Di sini, “elite” ya “elite”, tak ada
suatu golongan mana pun yang menandinginya.
Di
masyarakat, sering ditemukan media menyebut ungkapan elite partai. Makna
“elite” di sini tidak sama dengan makna the ruling elite atau “pasukan
elite”. Orang partai rata-rata tak berkeunggulan yang demikian kompleks dan
mendalam dibandingkan mereka yang bukan berasal dari suatu partai.
Tingkat
pendidikan mereka tak lebih dari yang dimiliki masyarakat. Banyak di antara
warga terdiri atas mereka yang justru sangat elite dan mencapai tahapan
tertinggi di bidang tersebut.
Kaum
intelektual, golongan terpelajar, para profesor, dan para ahli dalam berbagai
bidang keilmuan, mana bisa disamai tingkat pendidikannya dengan orang partai pada
umumnya? Bahkan kita tahu, banyak orang partai yang tampak compang-camping
bila bicara mengenai pendidikan.
Kapasitas
leadership mereka sering bukan apa-apa. Umumnya, mereka hanya pandai
berbicara, tapi dalam urusan leadership” mereka tak selalu memiliki kapasitas
lebih dibandingkan mereka yang tak berasal dari partai.
Apalagi,
orang partai yang tak memiliki latar belakang organisasi sosial keagamaan,
dengan sendirinya juga tak pernah belajar mengenai leadership dan
kepemimpinan umat.
Pengalaman
dan kapasitas dalam mengelola birokrasi pun tak usah ditanyakan. Mereka
sering bukan apa-apa dibandingkan kalangan lain, yang bahkan sering
serbalebih intens dan lebih luas pengalaman maupun pengetahuan teknisnya di
bidang birokrasi.
Bagaimana
kelebihan dalam sisi kehidupan moral mereka? Moral apa? Banyak orang partai
yang hidupnya tak pantas dijadikan suriteladan. Orang dari partai agama
sekalipun, yang tiap saat sok saleh dan kadang sok suci, nyatanya bukan
contoh yang patut dianggap pemimpin.
Orang
dari partai agama mencuri uang rakyat dan hidup mewah, mau menjadi contoh
macam apa? Saya kira, ini contoh terbaik bila kita bicara mengenai kerusakan
moral, dekadensi moral, dan kebobrokan moral.
Dengan
ukuran-ukuran di atas, mudah diperlihatkan bahwa elite partai itu bukan
“elite” sama sekali. Di partai-partai politik, kita temukan kualitas manusia
yang—mohon maaf beribu maaf—rendah dan sangat rendah.
Hilang Idealisme
Ada hal
lain yang patut dibicarakan di sini, yaitu idealisme. Ada orang partai yang
mulanya diterima menjadi anggota suatu partai karena pernah disebut idealis.
Tapi begitu berada di partai, idealismenya rontok berkeping-keping.
Orang
yang ketika mahasiswa kelihatan radikal dan mungkin tak terlalu sengaja
berani berseberangan dengan pemerintah, kelihatannya begitu mentereng. Orang
seperti ini dianggap baik oleh partai.
Tetapi
begitu menjadi anggota DPR dan menikmati hidup yang jauh dari bayangan
semula—hidup yang ternyata nyaman dan mudah sekali—orang jenis ini segera
menjadi kelompok mapan, lupa akan perjuangan, dan lebih suka memanjakan diri
dengan kehidupan kelas menengah.
Orang
jenis ini bisa saja dijadikan bagian elite partai, tetapi jelas bukan bagian
“elite” dalam masyarakat. Kita tahu, di masyarakat, orang dengan kualitas
macam ini sangat mudah ditemukan di setiap pojok jalan maupun halte-halte
bus.
Kenyataan
lain, ada orang baik dengan kualitas politik dan sosial yang baik, tapi tak
mau menjadi anggota partai dan tak mau memasuki jalan politik resmi di
parlemen. Ini membuat kehidupan partai menjadi lebih parah. Hanya orang
kurang baik dengan kualitas apa adanya yang ada di partai. Ini sama sekali
bukan kondisi ideal yang diinginkan.
Demi
keadilan, ada dua catatan penting di sini. Pertama, tampaknya aspek
pendidikan tak boleh terlalu ditonjolkan. Di suatu partai, asal orang
memiliki wawasan kebangsaan yang sehat, visi politik kerakyatan yang kuat,
dan terlatih hidup jujur, dan siap menerima bagian ekonomi apa adanya, kurang
di segi pendidikan tak terlalu menjadi persoalan.
Kedua,
banyak orang partai yang sungguh-sungguh hebat. Pemikiran politik dan wawasan
ideologi mereka mentereng. Kemampuan mereka melakukan pendekatan dan
lobi-lobi politik sulit dicari tandingannya. Mereka pun memiliki banyak
keunggulan dalam kapasitas pengelolaan program dengan warga. Pemikiran dan
pendekatan politik mereka sangat tepat menjadi bagian dari yang mungkin kita
sebut pendidikan politik bagi warga negara.
Agak
disayangkan, orang jenis ini menjadi terlalu cemerlang di partainya sehingga
entah mengapa, mereka tak dijadikan bagian elite partai tadi. Tampaknya,
pemimpin partai lebih menyukai orang yang penurut, tertib, sopan, tanpa
terlalu peduli kapasitasnya dalam banyak hal rendah “ndah”. Begitulah watak
birokrasi. Di partai, di pemerintahan, di lembaga swadaya masyarakat, di
dunia bisnis, kelihatannya sama saja, dengan beda-beda kecil di sana-sini.
Kondisi
ini semakin meneguhkan jarak antara konsep dan realitas hidup, bahwa elite
partai bukan “elite”. Mereka hanya “elite” di merek, di status, dan di
konsep. Kenyataan hidup sehari-hari, tak ada yang memperlihatkan bahwa mereka
“elite”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar