Darah
untuk Demokrasi
Max
Regus ; Mahasiswa Tingkat Doktor Universitas Erasmus Belanda
|
KOMPAS,
09 Mei 2014
Di seputar dinamika politik 1998, Washington Post menulis
laporan khusus. Salah satunya ditulis oleh Keith B Richburg berjudul ”Indonesia’s Unintentional Martyrs”.
Artikel itu dipublikasikan pada 8 Juni 1998. Semua artikel
tersebut ditulis dengan rinci apa yang terjadi dengan para mahasiswa
Universitas Trisakti, Elang Mulya Lesmana dan kawan-kawan, yang ditembak pada
12 Mei 1998.
Tidak terbantahkan, Tragedi Trisakti adalah titik balik
keangkuhan politik rezim Orde Baru hingga keruntuhannya. Sejak itu, empat
momentum pemilihan umum (pemilu), disertai kegairahan politik yang muncul,
tidak pernah lepas dari tetesan darah para mahasiswa di Mei itu. Kita bisa
merayakan demokrasi karena keberanian mereka me- ngorbankan hidup dan masa
depan.
Meski begitu, yang tersaksikan di hadapan kita tidak seluruhnya
membahasakan dedikasi demokratik murni bagi sejarah masa lalu. Tidak ada
penghargaan politik terhadap setiap pengorban- an untuk kemeriahan demokratik
yang kita nikmati saat ini. Bahkan, secara memalukan, demokrasi telah mencuci
bercak- bercak darah yang menempel pada seragam keangkuhan totaliterisme.
Sejurus, para pendukung absolutisme kekuasaan telah berhasil mengelabui
sejarah, kesadaran publik, sehingga di mana-mana mereka hadir seolah-olah
sebagai penyelamat bangsa paling benar.
Bentuk pertanggungjawaban
Sebetulnya pada makna yang paling asali, proyek politik dan
demokratisasi yang sedang kita jalankan seharusnya menjadi satu bentuk
pertanggungjawaban bangsa pada setiap nyawa yang dipersembahkan untuk Indonesia
yang lebih baik. Mereka yang merelakan masa mudanya untuk Indonesia yang
lebih manusiawi dan berkeadilan.
Bangsa ini harus mengakui secara jujur tentang apa yang terjadi
pada masa lalu, yang tercabik-cabik karena kepongahan dan ketamakan pada kekuasaan.
Sikap congkak yang telah mengorbankan sebagian anak bangsa sebagai martir
demokrasi. Di titik ini, pada momentum politik seperti sekarang, yang harus
dilakukan adalah kejelian menentukan pemimpin bangsa, terutama dengan
keberanian menolak setiap calon pemimpin yang beritikad melarikan diri dari
sekadar memberi jawaban pada sekian banyak pertanyaan tentang posisi mereka
di masa lalu. Kita harus menolak para calon pemimpin yang ingin menggunakan
kekuasaan politik untuk menulis sejarah dalam kepalsuan.
Jika kita tidak mampu mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan
di masa lalu, jalan satu-satunya yang harus dikerjakan adalah dengan
memutuskan semua jaringan politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan masa
lalu yang bersimbah darah pahlawan demokrasi. Darah para martir demokrasi
masih terus berteriak dalam sunyi. Barangkali mereka akan tenang manakala
Indonesia mau menerima anugerah politik dengan menyerahkan kepemimpinan
bangsa ke tangan orang-orang baik. Itu yang akan menjadikan darah mereka
tidak pernah sia-sia untuk demokrasi dan masa depan keindonesiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar