Puisi
dalam Politik Kita
Husein Ja’far Al Hadar ;
Peminat Filsafat
|
TEMPO.CO,
02 Mei 2014
Sebenarnya,
sejarah puisi adalah sejarah yang luhur. Ketika teologi, filsafat, sains,
atau bahkan agama mengalami kejenuhan dalam menjawab teka-teki dan memberi
akan keber-Ada-an manusia, maka peradaban berpaling ke puisi. Puisi menjadi
semacam Sang Mesias. Menurut penyair metafisik Inggris, John Keats, puisi
adalah satu-satunya yang mampu merangkul manusia dalam keterasingannya. Jadi,
tak mengherankan jika mistisisme atau sufisme dalam Islam pada akhirnya
berpaling ke puisi. Sebab, hanya melalui puisi, pengalaman transenden
(ektase) seorang sufi dapat dibahasakan. Keluhuran puisi pula yang membawa
Aristoteles justru menilai bahwa puisi harus berperan menciptakan efek
katarsis guna menekan nasfu-nafsu rendah.
Dalam
ranah filsafat, dua varian aksiologis, yakni estetika dan etika, tak bisa
dilepaskan. Termasuk, menurut penulis, dalam melihat puisi. Karena itu,
menjadi problem dan salah satu perdebatan dalam filsafat, misalnya, ketika
dalam filsafatnya, Karl Marx tidak merumuskan secara sistematis pandangannya
tentang estetika, di tengah pembahasan tentang etika yang menyita hampir
seluruh perhatiannya. Juga Martin Heidegger, yang tak memunculkan pembahasan
tentang etika dalam karya filsafatnya, di tengah estetika yang menempati
kedudukan penting dalam pemikirannya. Karena itu, dalam sudut pandang
filsafat, tak pernah diandaikan puisi minus estetika dan, atau etika.
Namun,
dalam politik kita kali ini, puisi diseret dalam panggung politik secara
sarkastik oleh sebagian politikus kita. Puisi diperdaya justru untuk sesuatu
yang sebaliknya dari apa yang ditegaskan Aristoteles: melayani nafsu-nafsu rendah
sebagian politikus dan menciptakan efek (politik) kotor. Puisi pun dicerabut
dari nilai-nilai dasarnya: estetika dan etika. Puisi di tangan sebagian
politikus itu kehilangan segalanya, baik aspek profetik maupun nilai etik dan
estetik. Masihkah yang mereka gubah itu layak disebut puisi?
Padahal
sejarah politik negeri ini sudah mengukir episode di mana puisi diletakkan
dalam takhtanya yang luhur dan tepat dalam ruang politik. Sebagaimana
dilakukan Soe Hok Gie, di mana puisi dijadikan media untuk mengkritik dan
memprotes secara luhur, etik dan estetik, akan kepemimpinan yang mengancam
nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, dan nilai-nilai luhur lainnya.
Namun sejarah luhur puisi dalam politik kita itu seolah tak mengilhami,
bahkan tak membekas, dalam benak sebagian politikus kita saat ini.
Akhirnya
penulis diingatkan pada apa yang ditanyakan Friedrich Holderlin dalam elegi Bread and Wine (1797), apa guna
penyair di masa suram ini? Menurut Holderlin, penyair harus mampu merasakan
jejak-jejak pelarian para dewa dari dunia masa kita yang menyebabkannya
suram. Begitu pula puisi dalam politik seharusnya digubah: untuk menyadarkan
atau mengingatkan kita akan kesuraman politik kita saat ini atau selama ini.
Dan sebisa mungkin, puisi dapat menjadi cahaya di tengah kesuraman itu. Bukan
malah, puisi digubah untuk menyempurnakan kesuraman politik kita. Jadi, tak
ada yang tersisa dari politik kita, kecuali aktivitas menghalalkan segala
cara (termasuk menggubah puisi) demi nafsu berkuasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar