Buruh
Tetap Miskin
Amanda Adiwijaya ; Lulusan International
Biblical College, Jerusalem
|
KORAN
JAKARTA, 01 Mei 2014
Setiap
kali bicara kemiskinan, di dalamnya banyak juga kaum pekerja. Untuk itu, isu
ini tetap relevan dibicarakan dalam konteks perayaan Hari Buruh yang jatuh 1
Mei. Boleh jadi, ada pertanyaan, bukankah dalam dua tahun terakhir upah buruh
sudah naik 30 persen?
Memang sejak 2013 dan 2014 ada kenaikan upah
secara nasional sekitar 30 persen. Di Surabaya, UMK buruh naik dari 1.740.000
pada 2013 menjadi 2,2 juta rupiah pada 2014. UMK Jakarta juga naik dari 2,2
juta pada 2013 menjadi 2,4 juta rupiah pada 2014.
Namun,
jujur saja, untuk hidup para buruh dan keluarga, apalagi bila pencari nafkah
hanya satu, jumlah upah tersebut habis untuk makan. Bahkan terkadang mereka
masih harus cari pinjaman atau utang sana-sini. Jangan tanya cara para buruh
memiliki rumah sederhana, pengobatan layak, atau menyekolahkan anak sampai
perguruan tinggi.
Malah
menyongsong Pilpres 9 Juli, cukup banyak orang miskin seperti kaum buruh jauh
dari sejahtera merasa terpinggirkan. Padahal, jumlah orang miskin masih di
atas 30 juta jiwa. Jadi, kemiskinan sesungguhnya tetap masalah terbesar.
Sayang,
corak politik masih elitis sehingga membuat orang kecil seperti para buruh
terpinggirkan. Apalagi, kini topik utama dari hotel berbintang sampai warung
kopi adalah koalisi dan capres-cawapres alias tentang orang-orang besar yang
seolah memiliki negeri.Tidak ada ruang bagi koalisi untuk mengangkat derajat
kaum miskin yang hanya untuk mendongkrak suara dalam pileg atau pilpres.
Begitu kursi kekuasaan diraih, orang miskin dilupakan.
Padahal,
terkait wong cilik, banyak pakar berpendapat hampir mustahil Indonesia
melaksanakan Millennium Development
Goals (MDGs) pada 2015 karena pemerintah atau DPR tak serius mengentaskan
kemiskinan. Bank Dunia menilai setengah dari 240 juta penduduk Indonesia
miskin. Mereka hidup dengan uang kurang dari 2 dollar AS per hari.
Jangankan
di level nasional, global pun sama saja. PBB juga dinilai gagal merumuskan
kesepakatan mengurangi kemiskinan sehingga ada 2,5 miliar penduduk dunia
sampai tak punya jamban sendiri. Prof Jeffrey D Sachs, pakar masalah
kemiskinan dunia, selalu lantang mengkritik kekeliruan kebijakan PBB, Bank
Dunia, dan IMF dalam menangani kemiskinan negara-negara dunia ketiga.
Yang
lebih vokal, kelompok antiglobalisasi menyuarakan kemelaratan dunia ketiga,
termasuk buruh, akibat keserakahan negara-negara kaya. Kaum kapitalis lewat
IMF dan WTO selalu mengupayakan upah buruh tetap rendah agar murah untuk
investasi.
Tapi,
apa kata para pemikir besar terkait isu melarat? Kaum konservatif dengan
tokohnya seperti Auguste Comte atau Emile Durkheim berpendapat, kemelaratan
terjadi karena kultur dan mentalitas kaum lemah yang tidak bisa beradaptasi
dengan tatanan sosial. Kaum konservatif selalu memandang positif struktur
sosial karena, bagi mereka, kemiskinan bukan masalah serius.
Sementara
grup liberal dengan tokoh seperti Fredrich August Von Hayek (1889-1992)
memandang kemelaratan sebagai masalah serius. Untuk mengatasinya, mereka
berpendapat agar kultur kaum lemah diubah lewat pendidikan dan menghapus
diskriminasi. Sayang, kaum liberal umumnya tidak mau mengubah struktur sosial
sehingga kenyataannya warga kelas bawah tetap kere.
Sementara
itu, di Indonesia, kelas bawah seperti buruh kian terpinggirkan karena hukum
dipermainkan. Hukum yang menjadi soko guru suatu bangsa, tampak menjadi
barang mainan. Aparat hukum, seperti hakim, mempermainkan kebenaran seperti
tindakan Akil Mochtar, Ratu Atut dan sebagainya. Simak pula para pemimpin
dari pusat hingga daerah hanya memperkaya diri sendiri, kelompok, atau
parpolnya.
Ketika
hukum diabaikan, dan uang melahirkan pemimpin seperti dilakukan Akil Mochtar,
sendi-sendi kehidupan bangsa yang lain menjadi bobrok juga. Kaum miskin di
lorong-lorong kota besar terus menjerit karena harga sembako kian mahal.
Belum lagi potret hitam seperti perbudakaan dan deretan buruh migran yang mengdadapi
hukuman mati. Di mana-mana masih banyak kasus gizi buruk, yang kebanyakan
anak-anak para buruh, petani, atau wong
cilik lainnya.
Sebentar
lagi digelar Piala Dunia di Brasil, negeri yang pernah dipimpin Presiden Luiz
Inacio Lula da Silva. Lula lahir pada 1945 dari keluarga miskin. Saking
miskinnya, dia sempat tak lulus SD karena harus bekerja sebagai buruh pabrik
pada umur 14.
Terdorong
cita-cita luhur mengentaskan buruh yang terjerat kemiskinan, Lula memilih
menjadi aktivis serikat pekerja. Karena kerap bersuara lantang menentang
ketidakadilan, dia pernah merasakan pengapnya penjara militer.
Mengingat
jalan perubahan secara signifikan dan masif hanya bisa dilakukan lewat
politik, Lula mendirikan Partido dos
Trabalhadores (Partai Buruh Brasil) pada 1980. Dia terpilih menjadi
anggota parlemen, enam tahun kemudian.
Prestasinya,
di tengah proses transisi ke demokrasi (dari era militer sebelum), Lula dan
partainya berhasil memperkuat hak buruh tatkala UUD diamendemen.
Lula selalu menjadi capres dari partainya
pada Pemilu 1990, 1994, dan 1998, tapi terus kalah. Meski demikian dia tak
menyerah. Akhirnya kemenangan pun diraih dalam pemilu 2002 dan dipilih lagi
empat tahun kemudian.
Naik
Sebagai
presiden yang berlatar belakang miskin, Lula berusaha keras mengentaskan
jutaan warga miskin Brasil lewat program tunjangan keluarga (Bolsa Familia) berupa bantuan keluarga
miskin yang punya anak bersekolah. Dia juga membuat progam melawan kelaparan
atau gizi buruk (Fome Zero).
Program
tersebut ditopang pebmangunan
infrastruktur besar-besaran seperti jalan-jalan dan jembatan di daerah
terpencil. Ini membuat para petani bisa menjual hasil ladang ke kota.
Pembanguan ini juga mendorong sektor swasta tumbuh dan bangkit.
Kemiskinan
berhasil diatasi karena yang berpendapatan di bawah 1,25 dollar AS per hari
(kriteria kemiskinan ekstrem) berkurang dari 10 persen pada 2004 menjadi 2
persen pada 2009. Malah menurut Bank Dunia, ekonomi Brasil kini nomor tujuh
dunia.
Setiap
tahun Lula selalu menaikkan upah buruh 30 persen. Lula memang tidak pandai
berwacana atau beretorika, tapi langsung membuat perubahan nyata yang sungguh
bisa dirasakan kaum miskin, termasuk buruh.
Semoga
setelah pileg dan pilpres 9 Juli akan lahir Presiden RI seperti Lula yang
peduli pada kaum miskin. Dia harus mampu meningkatkan kesejahteraan kelas
bawah. Dengan demikian, akan tercipta kesejahteraan bersama (bonum commune) yang menjadi tujuan
setiap politik. Indonesia bukan hanya milik segelintir kaum kaya, di tengah
jutaan orang miskin. Indonesia untuk semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar