Sabtu, 02 November 2013

Terpaksa Mencurigai Hukum Kita

Terpaksa Mencurigai Hukum Kita
Gunarto  ;   Ketua Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH)
Fakultas Hukum Unissula Semarang
SUARA MERDEKA, 01 November 2013


DALAM tempo cepat, dunia hukum kita dikejutkan oleh berbagai peristiwa penting yang mewarnai dunia penegakan hukum. Pertama; banyak aparat penegak hukum, seperti polisi, hakim, dan jaksa, justru tersangkut persoalan hukum. Kasus yang menimpa Ketua (waktu itu) Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar menjadi tontonan yang sangat menghipnotis kesadaran banyak orang bahwa dunia hukum begitu kompleks dan dan sarat kepentingan.

Kedua; kemunculan indikasi manipulasi keputusan hukum yang ditengarai dipengaruhi oleh transaksi yang bersifat ekonomis. Kita bisa melihat dari pengabulan permohonan peninjauan kembali (PK) kasus megakorupsi BLBI senilai Rp 2 triliun oleh Sudjiono Timan.

Meski MA mengemukakan sejumlah dalih, tetap saja tak bisa menghapus kejanggalan di balik keputusan itu. Pasalnya PK diajukan saat Timan berstatus sebagai buron dan pengajuannya dilakukan ahli warisnya. Ketiga; meski tidak eksplisit, kuatnya aroma permainan kekuasaan di balik penegakan hukum yang indikasinya adalah banyaknya kasus tebang pilih.

Kekuasaan itu bisa bersifat eksternal dan bisa internal dari dalam stuktur kekuasaan dunia penegakan hukum. Di sini terjadi persilangan antara kepentingan (interest) dan kekuasaan (authority) yang berkelindan sehingga berpengaruh langsung terhadap penegakan hukum. Adalah Lord Acton yang mengatakan kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan yang mutlak juga bisa mendorong korupsi besar-besaran.

Sebenarnya, kekuasaan tak hanya cenderung korup, siapa pun yang memegang kekuasaan maka ia cenderung mempertahankan kekuasaan itu sampai batas tidak ditentukan. Sebaliknya, siapa pun yang berisiko mengganggu kekuasaan itu maka akan dihancurkan sampai tidak ada lagi kekuatan yang bisa mengganggu. Itulah watak alamiah kekuasaan.

Dalam jagat politik, pertarungan kekuasaan ini menempati spektrum sangat besar dan paling kuat pengaruhnya terhadap seluruh dimensi kehidupan sosial, termasuk dunia hukum. Bahkan tidak jarang penguasa politik menggunakan instrumen hukum untuk melakukan kriminalisasi terhadap lawan-lawan politiknya. Relasi politik dan hukum merupakan hubungan yang paling tua dalam sejarah kekuasaan.

Sejak Romawi kuno hingga negara-negara modern sekalipun hubungan keduanya masih terus saling memengaruhi, termasuk negara yang masih dalam taraf konsolidasi demokrasi seperti Indonesia. Negara yang masih dalam taraf konsolidasi demokrasi, meski secara konseptual telah menganut separation of power, memisahkan kekuasaan eksekutif dan yudikatif, secara faktual tidaklah demikian.

Ini bisa dirasakan misalnya bagaimana perbedaan antara penanganan kasus suap yang melibatkan petinggi PKS atau penetapan tersangka ketua Partai Demokrat yang begitu cepat, dan penanganan kasus Century yang tidak kunjung menyentuh aktor intelektualnya meski Pansus DPR sudah resmi bersikap. Kapitalisme hukum seperti disinyalir oleh Galanter memunculkan mega lawyering, praktik komoditasisasi produk keputusan hukum yang dibangun secara sempurna oleh tiga elemen, yaitu pihak yang berperkara, advokat/pengacara, dan aparat penegak hukum.

Relasi segi tiga inilah yang sangat memengaruhi keputusan hukum. Karena itu, dapat dipahami mengapa kasuskasus pilkada atau perkara tertentu selalu dimenangi oleh kekuatan yang memiliki daya dukung kapital besar, sebagaimana kasus pilkada yang masuk ke MK.

Ironisnya, semua pihak yang berperkara di pengadilan, bersumpah dan disumpah berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing. Realitasnya mereka meminggirkan semua nilai-nilai itu untuk memuluskan kepentingan masing-masing. Ini mengandung pengertian bahwa jeratan kapitalisme jauh lebih kuat ketimbang basis agama/kepercayaan aparat penegak hukum itu sendiri.

Jalan Baru

Tanpa mengerdilkan arti dan makna nilai-nilai keagamaan sebagai fondasi untuk membentuk peradilan dan penegakan hukum yang baik, kiranya kita juga perlu mempertimbangkan kemungkinan jalan lain, yakni pertama; pengawasan dan sanksi berat terhadap penyelewengan penegakan hukum.

Langkah ini untuk memberi kepastian hukum sekaligus meminimalisasi pelanggaran sehingga dunia hukum betul-betul dapat menjadi payung penyelamat semua orang dalam menempatkan perkara sesuai nilaii kebenaran dan keadilan. Jalan baru itu dibangun di atas prinsip bahwa perlindungan sosial jauh lebih penting ketimbang perlindungan individual.

Jika konstruksi hukum liberal lebih menitikberatkan perlindungan individual sebagaimana dipraktikkan di Amerika Serikat, jalan baru ini berkebalikan. Di sini proteksi sosial jauh lebih diutamakan. Konsepsi ini sepertinya lebih mendekati prinsip-prinsip dasar kenegaraan kita, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Kedua; pembangunan karakter moral individual aparat penegak hukum. Hal ini dapat terlihat dalam hasil riset the Coalition Against Insurance Fraud yang menyebutkan bahwa sesungguhnya penyebab terjadinya penyimpangan, termasuk korupsi, sangat didominasi oleh lemah atau kurangnya daya tahan moral seseorang. Karena itu, pembangunan karakter moral sangat diperlukan untuk menjadi landasan sikap individual yang baik dan bertanggung jawab. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar