|
DALAM
tempo cepat, dunia hukum kita dikejutkan oleh berbagai peristiwa penting yang
mewarnai dunia penegakan hukum. Pertama; banyak aparat penegak hukum, seperti
polisi, hakim, dan jaksa, justru tersangkut persoalan hukum. Kasus yang menimpa
Ketua (waktu itu) Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar menjadi tontonan yang
sangat menghipnotis kesadaran banyak orang bahwa dunia hukum begitu kompleks
dan dan sarat kepentingan.
Kedua;
kemunculan indikasi manipulasi keputusan hukum yang ditengarai dipengaruhi oleh
transaksi yang bersifat ekonomis. Kita bisa melihat dari pengabulan permohonan
peninjauan kembali (PK) kasus megakorupsi BLBI senilai Rp 2 triliun oleh
Sudjiono Timan.
Meski
MA mengemukakan sejumlah dalih, tetap saja tak bisa menghapus kejanggalan di
balik keputusan itu. Pasalnya PK diajukan saat Timan berstatus sebagai buron
dan pengajuannya dilakukan ahli warisnya. Ketiga; meski tidak eksplisit,
kuatnya aroma permainan kekuasaan di balik penegakan hukum yang indikasinya
adalah banyaknya kasus tebang pilih.
Kekuasaan
itu bisa bersifat eksternal dan bisa internal dari dalam stuktur kekuasaan
dunia penegakan hukum. Di sini terjadi persilangan antara kepentingan (interest) dan kekuasaan (authority) yang berkelindan sehingga
berpengaruh langsung terhadap penegakan hukum. Adalah Lord Acton yang
mengatakan kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan yang mutlak juga bisa
mendorong korupsi besar-besaran.
Sebenarnya,
kekuasaan tak hanya cenderung korup, siapa pun yang memegang kekuasaan maka ia
cenderung mempertahankan kekuasaan itu sampai batas tidak ditentukan.
Sebaliknya, siapa pun yang berisiko mengganggu kekuasaan itu maka akan
dihancurkan sampai tidak ada lagi kekuatan yang bisa mengganggu. Itulah watak
alamiah kekuasaan.
Dalam
jagat politik, pertarungan kekuasaan ini menempati spektrum sangat besar dan
paling kuat pengaruhnya terhadap seluruh dimensi kehidupan sosial, termasuk
dunia hukum. Bahkan tidak jarang penguasa politik menggunakan instrumen hukum
untuk melakukan kriminalisasi terhadap lawan-lawan politiknya. Relasi politik
dan hukum merupakan hubungan yang paling tua dalam sejarah kekuasaan.
Sejak
Romawi kuno hingga negara-negara modern sekalipun hubungan keduanya masih terus
saling memengaruhi, termasuk negara yang masih dalam taraf konsolidasi
demokrasi seperti Indonesia. Negara yang masih dalam taraf konsolidasi
demokrasi, meski secara konseptual telah menganut separation of power, memisahkan kekuasaan eksekutif dan yudikatif,
secara faktual tidaklah demikian.
Ini
bisa dirasakan misalnya bagaimana perbedaan antara penanganan kasus suap yang
melibatkan petinggi PKS atau penetapan tersangka ketua Partai Demokrat yang
begitu cepat, dan penanganan kasus Century yang tidak kunjung menyentuh aktor
intelektualnya meski Pansus DPR sudah resmi bersikap. Kapitalisme hukum seperti
disinyalir oleh Galanter memunculkan mega lawyering, praktik komoditasisasi
produk keputusan hukum yang dibangun secara sempurna oleh tiga elemen, yaitu
pihak yang berperkara, advokat/pengacara, dan aparat penegak hukum.
Relasi
segi tiga inilah yang sangat memengaruhi keputusan hukum. Karena itu, dapat
dipahami mengapa kasuskasus pilkada atau perkara tertentu selalu dimenangi oleh
kekuatan yang memiliki daya dukung kapital besar, sebagaimana kasus pilkada
yang masuk ke MK.
Ironisnya,
semua pihak yang berperkara di pengadilan, bersumpah dan disumpah berdasarkan
agama dan kepercayaan masing-masing. Realitasnya mereka meminggirkan semua
nilai-nilai itu untuk memuluskan kepentingan masing-masing. Ini mengandung
pengertian bahwa jeratan kapitalisme jauh lebih kuat ketimbang basis
agama/kepercayaan aparat penegak hukum itu sendiri.
Jalan Baru
Tanpa
mengerdilkan arti dan makna nilai-nilai keagamaan sebagai fondasi untuk
membentuk peradilan dan penegakan hukum yang baik, kiranya kita juga perlu
mempertimbangkan kemungkinan jalan lain, yakni pertama; pengawasan dan sanksi
berat terhadap penyelewengan penegakan hukum.
Langkah
ini untuk memberi kepastian hukum sekaligus meminimalisasi pelanggaran sehingga
dunia hukum betul-betul dapat menjadi payung penyelamat semua orang dalam menempatkan
perkara sesuai nilaii kebenaran dan keadilan. Jalan baru itu dibangun di atas
prinsip bahwa perlindungan sosial jauh lebih penting ketimbang perlindungan
individual.
Jika
konstruksi hukum liberal lebih menitikberatkan perlindungan individual sebagaimana
dipraktikkan di Amerika Serikat, jalan baru ini berkebalikan. Di sini proteksi
sosial jauh lebih diutamakan. Konsepsi ini sepertinya lebih mendekati
prinsip-prinsip dasar kenegaraan kita, yakni keadilan sosial bagi seluruh
rakyat.
Kedua;
pembangunan karakter moral individual aparat penegak hukum. Hal ini dapat
terlihat dalam hasil riset the Coalition
Against Insurance Fraud yang menyebutkan bahwa sesungguhnya penyebab
terjadinya penyimpangan, termasuk korupsi, sangat didominasi oleh lemah atau
kurangnya daya tahan moral seseorang. Karena itu, pembangunan karakter moral
sangat diperlukan untuk menjadi landasan sikap individual yang baik dan
bertanggung jawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar