|
ANGGARAN
adalah urat nadi pemerintahan, termasuk bagi Pemprov Jawa Tengah. Tanpa
anggaran, pemerintah tidak mungkin melakukan aktivitas atau memberikan
pelayanan publik. Mengingat ketersediaan anggaran tidak pernah mencukupi
kebutuhan, perlu menentukan pendistribusian dan pemprioritasan anggaran.
Di
sinilah politik anggaran mulai bekerja. Politik anggaran dalam sistem
pemerintahan demokratis bertolak belakang dari yang berlaku dalam sistem
pemerintahan autokratis. Bila dalam sistem autokratis, politik anggaran
ditentukan oleh elite tertentu maka dalam sistem demokratis, anggaran dipengaruhi
oleh banyak kepentingan, terutama politik. Secara legal, politik anggaran, baik
pusat maupun daerah, dimainkan oleh eksekutif, legislatif, dan pengawas.
Praktik politik anggaran akhir-akhir ini sangat memprihatinkan.
Seandainya
tidak keterlaluan, Marzuki Alie tidak bakal mengatakan bahwa semua kepala
daerah korupsi (SM, 29/10/13). Korupsi adalah soal etika, sebagaimana dikatakan
George Frederickson bahwa governmental corruption dan political corruption
merupakan big policy ethics issues.
Cacat
politik anggaran memang harus segera dibenahi. Frederickson ketika menutup
uraian tentang ”The Spirit of Public Administration” (1997) menekankan
pentingnya moral base of benevolence to all citizens. Maksudnya, pelaku politik
anggaran seharusnya mengekspresikan keinginan untuk ora ngapusi rakyat dan ora
korupsiî.
Seandainya
ingin mengadopsi ungkapan John Naisbitt (Megatrends) berarti pelaku harus
mempunyai high touch(kesantunan, kepekaan tinggi). Dengan demikian
me-reinventing spirit ìmboten ngapusi lan mboten korupsiî dalam politik
anggaran daerah merupakan terobosan menuju sebenarbenarnya APBD yang lebih
prorakyat.
Keberhasilan
me-reinventing spirit tersebut terletak pada kemampuan kepala daerah menghapus
empat cacat bawaan (natural defects) dari politik anggaran. Cacat pertama
berkait signifikansi keterlibatan rakyat dalam musrenbang. Setelah APBD
disahkan, selalu ada pertanyaan siapa yang menentukan prioritas APBD, dan siapa
yang diuntungkan. Akibatnya anggaran dipandang tidak sensitif terhadap nurani
rakyat.
Enam Langkah
Cacat
kedua berkenaan loyalitas SKPD kepada kepala daerah. Ini dicontohkan oleh
temuan Wagub DKI Jakarta di Dinas PU TA 2013. Ada program sudah dicoret
gubernur tapi bisa kembali muncul dalam APBD.
Cacat
ketiga menyangkut mitos anggaran. Didengung-dengungkan anggaran merupakan
bidang amat rumit mengingat begitu banyak aturan, struktur, mekanisme, dan
prosedur yang harus dikuasai. Karena itu, hanya orang tertentu yang bisa
menelaah. Celakanya ada yang mempersepsikan anggaran sebagai proyek, yang
menawarkan pengadaan barang dan jasa.
Mitos
demikian membuat awam apatis. Cacat terakhir menyangkut tidak seriusnya
perencanaan sehingga diperlukan APBD Perubahan. Menurut Prof Daniel Kameo,
fenomena ini tak pernah terjadi pada era Soeharto. Ada 6 langkah untuk
mengekspresikan keinginan berbuat baik kepada seluruh rakyat, seperti dalam
spirit ”mboten ngapusi (rakyat) lan mboten korupsi”. Pertama; transparansi
penganggaran, misalnya membentuk budget forum, yang diberi akses mengikuti
pembahasan anggaran, termasuk dalam sidang Komisi DPRD.
Ada
dua dampak positif dari langkah itu, yakni penetapan pos-pos anggaran
benar-benar sesuai dengan kebutuhan rakyat; dan menghapuskan stigma bahwa APBD
sarat kepentingan politik. Beberapa daerah telah menetapkan SOP pelibatan
rakyat dalam tiap tahap penganggaran. Kedua; demistifikasi politik anggaran
dengan memasang ringkasan RAPBD pada media cetak. Langkah ini dapat mendorong
partisipasi rakyat dalam politik anggaran.
Ketiga;
fokus politik anggaran pada infrastruktur, terutama jalan, jembatan, irigasi,
dan air minum guna mengungkit perkembangan perdagangan dan industri. Keempat;
melakukan efisiensi anggaran, seperti dikatakan Rizal Djalil, anggota BPK, yang
mengingatkan bahwa perjalanan dinas bukan untuk menambah penghasilan melainkan
sebagai fasilitas. Kelima; mengembalikan urusan kepegawaian, termasuk gaji, ke
pusat. Dengan demikian poster APBD menjadi lebih realistis, meskipun angkanya
terlihat kecil. Keenam; menghapus APBD Perubahan.
Rencana
kerja yang valid dan visioner menjamin kontekstualitas APBD selama setahun.
Meniadakan APBD-P memang menuntut kerja keras sekda selaku ketua tim anggaran
eksekutif; SKPD sebagai penyusun dan pelaksana kegiatan beserta anggarannya;
Bappeda sebagai penanggung jawab proses perencanaan daerah yang harus
mempersiapkan berbagai dokumen rencana; dan DPPAD/Biro Keuangan sebagai
penanggung jawab proses penganggaran. Ketiadaan APBD-P membuat kerja pemda
lebih terprogram dan menciptakan kenyamanan dalam menyusun RAPBD tahun
berikutnya.
Akhirnya,
makna me-reinventing spirit ìmboten ngapusi, mboten korupsi” dalam politik
anggaran daerah adalah memastikan komitmen perencana dan pengguna untuk berbuat
baik kepada seluruh rakyat (benevolence).
Baik perencana maupun pengguna anggaran tidak akan menipu dan tidak bakal
korupsi karena tiap rupiah yang keluar dari APBD mengiur pada peningkatan
kesejahteraan rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar