Sabtu, 02 November 2013

Spirit Politik Anggaran

Spirit Politik Anggaran
Ali Mufiz ;   Anggota Dewan Riset Daerah Jateng
SUARA MERDEKA, 01 November 2013


ANGGARAN adalah urat nadi pemerintahan, termasuk bagi Pemprov Jawa Tengah. Tanpa anggaran, pemerintah tidak mungkin melakukan aktivitas atau memberikan pelayanan publik. Mengingat ketersediaan anggaran tidak pernah mencukupi kebutuhan, perlu menentukan pendistribusian dan pemprioritasan anggaran.

Di sinilah politik anggaran mulai bekerja. Politik anggaran dalam sistem pemerintahan demokratis bertolak belakang dari yang berlaku dalam sistem pemerintahan autokratis. Bila dalam sistem autokratis, politik anggaran ditentukan oleh elite tertentu maka dalam sistem demokratis, anggaran dipengaruhi oleh banyak kepentingan, terutama politik. Secara legal, politik anggaran, baik pusat maupun daerah, dimainkan oleh eksekutif, legislatif, dan pengawas. Praktik politik anggaran akhir-akhir ini sangat memprihatinkan.

Seandainya tidak keterlaluan, Marzuki Alie tidak bakal mengatakan bahwa semua kepala daerah korupsi (SM, 29/10/13). Korupsi adalah soal etika, sebagaimana dikatakan George Frederickson bahwa governmental corruption dan political corruption merupakan big policy ethics issues.

Cacat politik anggaran memang harus segera dibenahi. Frederickson ketika menutup uraian tentang ”The Spirit of Public Administration” (1997) menekankan pentingnya moral base of benevolence to all citizens. Maksudnya, pelaku politik anggaran seharusnya mengekspresikan keinginan untuk ora ngapusi rakyat dan ora korupsiî.

Seandainya ingin mengadopsi ungkapan John Naisbitt (Megatrends) berarti pelaku harus mempunyai high touch(kesantunan, kepekaan tinggi). Dengan demikian me-reinventing spirit ìmboten ngapusi lan mboten korupsiî dalam politik anggaran daerah merupakan terobosan menuju sebenarbenarnya APBD yang lebih prorakyat.

Keberhasilan me-reinventing spirit tersebut terletak pada kemampuan kepala daerah menghapus empat cacat bawaan (natural defects) dari politik anggaran. Cacat pertama berkait signifikansi keterlibatan rakyat dalam musrenbang. Setelah APBD disahkan, selalu ada pertanyaan siapa yang menentukan prioritas APBD, dan siapa yang diuntungkan. Akibatnya anggaran dipandang tidak sensitif terhadap nurani rakyat.

Enam Langkah

Cacat kedua berkenaan loyalitas SKPD kepada kepala daerah. Ini dicontohkan oleh temuan Wagub DKI Jakarta di Dinas PU TA 2013. Ada program sudah dicoret gubernur tapi bisa kembali muncul dalam APBD.

Cacat ketiga menyangkut mitos anggaran. Didengung-dengungkan anggaran merupakan bidang amat rumit mengingat begitu banyak aturan, struktur, mekanisme, dan prosedur yang harus dikuasai. Karena itu, hanya orang tertentu yang bisa menelaah. Celakanya ada yang mempersepsikan anggaran sebagai proyek, yang menawarkan pengadaan barang dan jasa.

Mitos demikian membuat awam apatis. Cacat terakhir menyangkut tidak seriusnya perencanaan sehingga diperlukan APBD Perubahan. Menurut Prof Daniel Kameo, fenomena ini tak pernah terjadi pada era Soeharto. Ada 6 langkah untuk mengekspresikan keinginan berbuat baik kepada seluruh rakyat, seperti dalam spirit ”mboten ngapusi (rakyat) lan mboten korupsi”. Pertama; transparansi penganggaran, misalnya membentuk budget forum, yang diberi akses mengikuti pembahasan anggaran, termasuk dalam sidang Komisi DPRD.

Ada dua dampak positif dari langkah itu, yakni penetapan pos-pos anggaran benar-benar sesuai dengan kebutuhan rakyat; dan menghapuskan stigma bahwa APBD sarat kepentingan politik. Beberapa daerah telah menetapkan SOP pelibatan rakyat dalam tiap tahap penganggaran. Kedua; demistifikasi politik anggaran dengan memasang ringkasan RAPBD pada media cetak. Langkah ini dapat mendorong partisipasi rakyat dalam politik anggaran.

Ketiga; fokus politik anggaran pada infrastruktur, terutama jalan, jembatan, irigasi, dan air minum guna mengungkit perkembangan perdagangan dan industri. Keempat; melakukan efisiensi anggaran, seperti dikatakan Rizal Djalil, anggota BPK, yang mengingatkan bahwa perjalanan dinas bukan untuk menambah penghasilan melainkan sebagai fasilitas. Kelima; mengembalikan urusan kepegawaian, termasuk gaji, ke pusat. Dengan demikian poster APBD menjadi lebih realistis, meskipun angkanya terlihat kecil. Keenam; menghapus APBD Perubahan.

Rencana kerja yang valid dan visioner menjamin kontekstualitas APBD selama setahun. Meniadakan APBD-P memang menuntut kerja keras sekda selaku ketua tim anggaran eksekutif; SKPD sebagai penyusun dan pelaksana kegiatan beserta anggarannya; Bappeda sebagai penanggung jawab proses perencanaan daerah yang harus mempersiapkan berbagai dokumen rencana; dan DPPAD/Biro Keuangan sebagai penanggung jawab proses penganggaran. Ketiadaan APBD-P membuat kerja pemda lebih terprogram dan menciptakan kenyamanan dalam menyusun RAPBD tahun berikutnya.

Akhirnya, makna me-reinventing spirit ìmboten ngapusi, mboten korupsi” dalam politik anggaran daerah adalah memastikan komitmen perencana dan pengguna untuk berbuat baik kepada seluruh rakyat (benevolence). Baik perencana maupun pengguna anggaran tidak akan menipu dan tidak bakal korupsi karena tiap rupiah yang keluar dari APBD mengiur pada peningkatan kesejahteraan rakyat.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar