|
Verencya
Oktoviani ingin ada pertukaran antarpelajar. Bahkan, Nurul Fadillah Fahrul mengusulkan
adanya perkawinan antarsuku. Keduanya adalah siswa SMA yang tinggal berbeda
pulau. Verencya sekolah di SMA Kristen Immanuel, Pontianak, Kalimantan Barat,
sedangkan Nurul bersekolah di SMA Negeri 1 Watansoppeng, Sulawesi Selatan.
Masih ada 10 anak muda lain yang menjadi finalis Lomba Menulis Esai Sosial Budaya, Puslitbang Kebudayaan Badan
Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang
diselenggarakan pada Senin (28/10) di Jakarta.
Anak-anak
muda itu adalah Taufiqurrahman (Jawa Timur), Christ Daniel Soselisa (Maluku),
Anastasia (Jakarta), Luh Putu Eka Yani (Bali), Herman Palani (Sumatera
Selatan), Alfi Fatona Putri (Yogyakarta), Nico Rizaldi (Riau), Hotma Tiurmaida
Manullang (Jawa Timur), I Gusti Ayu Cintya Adianti (Bali), dan Maulidia Rohmah
(Yogyakarta). Sekadar kabar bahwa ke-12 anak muda ini disaring dari 1.387
naskah esai yang masuk ke meja panitia. Panitia merancang, untuk menentukan
pemenang para finalis tak hanya dinilai dari sisi tulisannya, tetapi diwajibkan
melakukan presentasi di hadapan juri dan undangan.
Peristiwa
ini bagi banyak orang barangkali sekadar berkompetisi untuk memperebutkan
hadiah yang jumlahnya lumayan. Taufiqurrahman yang keluar sebagai pemenang
pertama meraup hadiah Rp 10 juta, Christ mendapatkan Rp 9 juta, dan Anastasia
Rp 8 juta, dan seterusnya. Namun, secara substansial kita bisa mencermati
beberapa hal yang menarik.
Pertama,
bentuk esai dan bukan karya tulis ilmiah sebagaimana biasanya menjadi
perangsang penumbuhan kreativitas yang tak terduga. Para pelajar seolah
menemukan wahana yang sesuai untuk menumpahkan gagasan mereka tanpa takut
dikekang oleh bentuk. Kedua, bentuk esai juga memungkinkan para pelajar lebih
jujur dalam melihat realitas di sekitar mereka. Ketiga, secara substansial kita
mendapatkan suara hati yang sesungguhnya yang kini menghinggapi kaum muda. Oleh
sebab itulah, tema ”Hidup Harmonis di Tengah Perbedaan” memperoleh respons
positif dengan berbagai studi kasus di daerah asal para peserta.
Verencya
secara tidak langsung mengkritik pertukaran pelajar antarnegara yang lebih
diminati siswa ketimbang menyelenggarakan lebih serius program pertukaran
pelajar antardaerah. Pertukaran ini, katanya, lambat-laun akan menumbuhkan
perasaan saling menghargai dan saling menghormati di antara begitu banyak
perbedaan bangsa ini. Nurul lebih ekstrem, ia bahkan setuju adanya kawin campur
di Indonesia.
Memang
belum bisa digeneralisasi bahwa ribuan esai yang menyuarakan tentang pengakuan
terhadap keberagaman dianggap mewakili suara kaum muda. Tetapi setidaknya, kita
sedang menangkap tanda-tanda baik bahwa pluralisme diterima sebagai
keniscayaan, sebuah realitas hidup di negara bernama Indonesia.
Dalam banyak
esai yang ditulis para pelajar, realitas lokal bahkan dijadikan model yang bisa
dikembangkan untuk kemudian diterapkan dalam level nasional. Luh Putu Eka Yani
mengangkat filosofi menyama braya, sebuah kesadaran menjadikan orang
terdekat sebagai saudara. Kesadaran ini telah hidup dalam masyarakat Bali sejak
berabad-abad lalu dan inilah salah satu yang menyebabkan kelenturan sikap orang
Bali.
Penerimaan perbedaan yang dibawa oleh para pendatang telah berlangsung
sejak masa ekspedisi Majapahit ke Bali, pada kisaran abad ke-8 Masehi.
Herman
Palani punya gagasan menarik. Pelajar asal Sekayu ini punya gagasan tentang
”sewakul”. Sewakul tak lain perpaduan dua kesenian Melayu dan Jawa, yakni
senjang dan wayang kulit. Kedua artefak kebudayaan itu masih hidup lestari di
Sekayu dan didukung oleh masing-masing etnis. Di dalam mencapai tujuan
kebersamaan dalam perbedaan, kata Herman, ada baiknya sewakul dipakai sebagai
medium yang mewadahi pertemuan intens antara dua kebudayaan.
Cemerlang
Gagasan
yang muncul dalam esai para pelajar ini membuat dewan juri Bambang Widiatmoko,
Setiawati Intan Savitri, Riwanto Tirtosudarmo, dan Dloyana Kusumah harus
mengakui bahwa persemaian Bhinneka Tunggal Ika yang dirancang Mpu Tantular pada
masa Majapahit dan Sumpah Pemuda 85 tahun lalu sudah tumbuh di lahan Indonesia.
Anak-anak muda ini, kata Intan, menerbitkan harapan cerah bagi bangunan negara
Indonesia. ”Gagasan mereka cemerlang
karena berangkat dari pengakuan terhadap realitas,” kata Intan.
Kejujuran
melihat, mengakui, dan mengatakan realitas itu menjadi ciri khas yang menonjol
pada anak-anak muda. Ini mengingatkan kita pada peristiwa Sumpah Pemuda dalam
konteks masa berbeda. Jika Sumpah Pemuda meletakkan dasar-dasar berbangsa,
bertanah air, dan berbahasa yang satu sebagai tekad melawan kolonialisme,
anak-anak muda di masa kontemporer berimajinasi tentang silang budaya.
Persilangan kebudayaan dalam benak mereka adalah jalan paling cepat untuk
menemukan keindonesiaan yang multikultural. Negara harus berperan aktif dan
cepat mengatasi berbagai konflik berbau suku dan agama yang sudah meledak di
mana-mana.
Peledakan
itu setidaknya menjadi satu indikator bahwa keputusan 85 tahun lalu menjadi
satu bangsa, satu tanah air, dan bahasa satu itu ”baru” sampai pada keputusan
politik semata. Waktu itu jelas, keputusan politik memang dibutuhkan untuk
menyatukan tekad dan persepsi melawan kolonialisme. Anak-anak muda ini resah
melihat bangunan bernama Indonesia sedang goyah, oleng-kemoleng, di mana
pendekatan keamanan tidak sanggup menyelesaikan persoalan. Christ Daniel
Soselisa, walau semasa konflik Ambon masih kecil, mengaku masih trauma. ”Saya masih trauma sampai sekarang,”
katanya. Trauma berkepanjangan bisa berkembang menjadi kecurigaan, yang oleh
api sekecil apa pun bisa meledak menjadi konflik lagi.
Benang
merah 12 finalis bertumpu pada silang budaya yang sangat diharapkan menjadi
jembatan emas menuju Indonesia yang multikultural. Pertukaran pelajar,
perkawinan antarsuku, perpaduan dua kesenian, pembenihan multikulturalisme di
pesantren, kesadaran bersaudara bagi tetangga terdekat, serta toleransi
perayaan hari raya di sekolah menjadi simpul-simpul yang bisa dijadikan dasar
pijakan mengembangkan konsep multikulralisme.
Negara
tidak boleh ”cuma” menunggu akulturasi yang terjadi secara alamiah. Konsep
akulturasi sudah dibenih lewat Bhinneka Tunggal Ika dan kemudian Pancasila.
Negara tinggal merancang satu konsep dan wadah besar untuk menampung
kegelisahan anak-anak muda bangsa ini. Kebinekaan itu bukan cuma jargon
politik, tetapi keniscayaan yang mesti diamalkan, dirawat, serta terus
dikembangkan menjadi rumusan-rumusan yang lebih operasional. Apa salahnya
sesekali belajar dari yang muda.... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar