|
”Agama itu
bagaikan sepatu”, kata kolumnis Julia Suryakusuma
(Jakarta Post, 23 Oktober 2013). ”Carilah sepasang yang pas buat kakimu,
tetapi jangan suruh aku memakai sepatumu, dan aku pun tidak hendak menyuruhmu
memakai sepatuku.”
Betul juga analogi Julia yang pada 1980-an pernah jadi mahasiswa saya di Fakultas Psikologi UI di Rawamangun (waktu itu UI belum pindah ke Depok). Coba bayangkan, kalau kupaksakan kakiku memakai sepatumu atau kau paksakan kakimu memakai sepatuku. Yang ada sepatumu kesempitan di kakiku, dan sepatuku terlalu longgar di kakimu, atau sebaliknya, tetapi dua-duanya sakit untuk dipakai dan ujung-ujungnya sama-sama lecet.
Sepatu boleh saja seragam bentuknya, warnanya, modelnya, seperti sepatu TNI atau sepatu pramugari, tetapi sepatumu tetap sepatumu, sepatuku tetap sepatuku. Dalam konteks agama Islam ada ayat yang berbunyi ”... lakum dinukum waliyadin” (Untukmu agamamu, dan untukku agamaku; Al Khafirun: 6).
Di masa Rasulullah, ayat ini berguna untuk menjaga perdamaian dengan penganut agama lain. Dengan ayat ini Allah berfirman agar biarlah mereka yang tidak percaya pada Islam untuk mengikuti jalannya sendiri, sedang kita, muslim, mengikuti jalan Allah SWT. Di luar itu, kita semua tetap berteman, bergaul dan berbisnis seperti biasa.
Tetapi itu dulu, di zaman Rasulullah masih hidup, di masa Islam masih homogen karena jumlahnya yang masih sedikit, terbatas pada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya saja. Sekarang, kita umat Islam sudah begitu banyaknya, tersebar di mana-mana di semua pelosok dunia, dengan versi, bahkan sekte yang berbeda-beda, saya kira makna surat tersebut di atas, bisa juga dikenakan di antara sesama muslim sendiri.
Pasti banyak yang tidak setuju pada pendapat saya ini. Mereka yang tidak setuju berargumentasi, bahwa Islam hanya satu, Islam itu universal, sehingga yang ada hanya muslim dan non-muslim. Namun, kenyataannya Islam yang universal itu, sepeninggal Rasulullah tidak lagi satu.
Ada Islam Syiah, ada Sunni, ada Ahmadiyah; ada Syafii, ada Hanafi, dan Hambali; ada Islam versinya JAT dan JI ada versinya Menteri Agama RI; ada NU, ada Muhammadiyah. Pokoknya banyak sekali versinya, dan setiap versi itu, sudah seperti agama tersendiri, yang tidak mau tahu pada versi yang lain, dan menganggap versinya sendiri yang benar, yang lain salah.
Nah, kalau semua sekte ini (yang sama-sama mengklaim bahwa mengacu pada Alquran dan Hadis) mau mengklaim dirinya sendiri yang benar dan mau memaksa orang lain untuk hanya mengikuti versinya, maka jelas kekisruhan tidak bisa dihindari. Sebaliknya, kalau masing-masing mengikuti saja kepercayaan masing-masing tanpa mengganggu kepercayaan orang lain, pastinya semua akan fine-fine saja.
Sudah barang tentu, ibaratnya memakai sepatu, ada orang-orang yang bisa saling bertukar sepatu, karena ukuran dan bentuk kakinya sama. Dalam beragama pun ada orang-orang yang merasa sekepercayaan, nyaman kalau saling bersama-sama dengan yang lain, enak untuk saling berkomunikasi, punya ritual yang sama dan seterusnya. Nah, silakan mereka yang seperti ini saling berkelompok, saling memperkuat iman, sekali lagi tanpa mengganggu yang lain.
Bagaimana sekarang dengan kewarganegaraan? Bolehkah kita terapkan asas ”sepatu” dalam berkewarganegaraan? Bolehkah kita mengatakan kepada tetangga se-RT ”untukmu negaramu, untukku negaraku”? Padahal kita sama-sama memegang KTP NKRI, yang sama-sama ada lambang garudanya? Berkewarganegaraan pada hakikatnya juga satu pilihan.
Selama saya masih memegang KTP atau paspor Indonesia, maka saya harus loyal kepada NKRI, kepada Pancasila, dan UUD 1945. Taat kepada undang-undang dan peraturan yang berlaku, menyetir di sebelah kiri jalan, membayar pajak, dsb. Begitu juga tetangga saya. Tetapi saya tidak harus menetap di Indonesia.
Saya boleh melancong ke negara manapun yang saya suka, dan boleh bekerja sebagai TKI, atau jadi mahasiswa di universitas di luar negeri, atau jadi dosen, atau memperoleh ”kartu hijau” (green card) di Australia atau di Amerika Serikat. Kalau kita tidak suka lagi menjadi WNI dan ingin menjadi warga negara lain, juga silakan. Dan sebagai non-WNI, tentu saja kita boleh bekerja dan tinggal di Indonesia sejauh sudah memenuhi criteria-kriteria tertentu yang berlaku bagi WNA.
Hal yang jadi masalah sekarang, ada pihak-pihak yang mencampurkan agama dengan negara. Ibaratnya sepatu lagi, ada yang mau satu sepatu saja untuk segala situasi. Padahal, walaupun ukurannya sama, orang memakai sepatu yang berbeda untuk ke kantor, olahraga atau kondangan.
Dalam kehidupan berkewarganegaraan sama saja. Ada saatnya kita harus memakai status sebagai WNI kalau sedang mengurus KTP atau berjual beli dengan menggunakan rupiah, adakalanya kita memakai baju agama ketika sedang beribadah dengan cara masing-masing. Karena itu, sebetulnya saya kurang setuju pada kebiasaan kita yang salah kaprah, yaitu berdoa bersama-sama dalam setiap acara atau upacara.
Biasanya, setelah acara nyanyi Indonesia Raya ada doa. Di Indonesia bagian barat, doa dipandu dengan tata cara Islam. Yang tidak seagama dipersilakan berdoa sesuai kepercayaan masing-masing. Padahal, katanya doa bersama. Begitu juga di Indonesia timur, umumnya doa dipimpin oleh seorang non-muslim, sedang yang muslim ikut saja.
Buat orang-orang yang sangat taat beragama, ikut doanya orang lain sudah dianggap melanggar agama (dalam Islam: melanggar akidah). Kasihan buat mereka yang terpaksa melakukannya, hanya karena mereka minoritas. Karena itu yang benar menurut saya adalah doa masing-masing saja, dipimpin oleh pemimpin upacara, dengan aba-aba, ”Berdoa mulai.” ..... beberapa detik hening .... ”Selesai!”.
Dalam tradisi di Amerika dinamakan minute of silence. Jadi samalah kira-kira dengan mengheningkan cipta (itu kan berdoa juga?), cuma bedanya kalau mengheningkan cipta pakai lagu.
Atau bisa juga berdoa saja langsung dalam bahasa Indonesia, tanpa diawali dan diakhiri dengan kalimat atau bahasa agama tertentu, supaya tidak ada orang yang merasa hanya sebagai ”kambing congek”. Bagaimanapun, memang sulit kalau agama dan negara harus disatukan, dalam bentuk apa pun. ●
Betul juga analogi Julia yang pada 1980-an pernah jadi mahasiswa saya di Fakultas Psikologi UI di Rawamangun (waktu itu UI belum pindah ke Depok). Coba bayangkan, kalau kupaksakan kakiku memakai sepatumu atau kau paksakan kakimu memakai sepatuku. Yang ada sepatumu kesempitan di kakiku, dan sepatuku terlalu longgar di kakimu, atau sebaliknya, tetapi dua-duanya sakit untuk dipakai dan ujung-ujungnya sama-sama lecet.
Sepatu boleh saja seragam bentuknya, warnanya, modelnya, seperti sepatu TNI atau sepatu pramugari, tetapi sepatumu tetap sepatumu, sepatuku tetap sepatuku. Dalam konteks agama Islam ada ayat yang berbunyi ”... lakum dinukum waliyadin” (Untukmu agamamu, dan untukku agamaku; Al Khafirun: 6).
Di masa Rasulullah, ayat ini berguna untuk menjaga perdamaian dengan penganut agama lain. Dengan ayat ini Allah berfirman agar biarlah mereka yang tidak percaya pada Islam untuk mengikuti jalannya sendiri, sedang kita, muslim, mengikuti jalan Allah SWT. Di luar itu, kita semua tetap berteman, bergaul dan berbisnis seperti biasa.
Tetapi itu dulu, di zaman Rasulullah masih hidup, di masa Islam masih homogen karena jumlahnya yang masih sedikit, terbatas pada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya saja. Sekarang, kita umat Islam sudah begitu banyaknya, tersebar di mana-mana di semua pelosok dunia, dengan versi, bahkan sekte yang berbeda-beda, saya kira makna surat tersebut di atas, bisa juga dikenakan di antara sesama muslim sendiri.
Pasti banyak yang tidak setuju pada pendapat saya ini. Mereka yang tidak setuju berargumentasi, bahwa Islam hanya satu, Islam itu universal, sehingga yang ada hanya muslim dan non-muslim. Namun, kenyataannya Islam yang universal itu, sepeninggal Rasulullah tidak lagi satu.
Ada Islam Syiah, ada Sunni, ada Ahmadiyah; ada Syafii, ada Hanafi, dan Hambali; ada Islam versinya JAT dan JI ada versinya Menteri Agama RI; ada NU, ada Muhammadiyah. Pokoknya banyak sekali versinya, dan setiap versi itu, sudah seperti agama tersendiri, yang tidak mau tahu pada versi yang lain, dan menganggap versinya sendiri yang benar, yang lain salah.
Nah, kalau semua sekte ini (yang sama-sama mengklaim bahwa mengacu pada Alquran dan Hadis) mau mengklaim dirinya sendiri yang benar dan mau memaksa orang lain untuk hanya mengikuti versinya, maka jelas kekisruhan tidak bisa dihindari. Sebaliknya, kalau masing-masing mengikuti saja kepercayaan masing-masing tanpa mengganggu kepercayaan orang lain, pastinya semua akan fine-fine saja.
Sudah barang tentu, ibaratnya memakai sepatu, ada orang-orang yang bisa saling bertukar sepatu, karena ukuran dan bentuk kakinya sama. Dalam beragama pun ada orang-orang yang merasa sekepercayaan, nyaman kalau saling bersama-sama dengan yang lain, enak untuk saling berkomunikasi, punya ritual yang sama dan seterusnya. Nah, silakan mereka yang seperti ini saling berkelompok, saling memperkuat iman, sekali lagi tanpa mengganggu yang lain.
Bagaimana sekarang dengan kewarganegaraan? Bolehkah kita terapkan asas ”sepatu” dalam berkewarganegaraan? Bolehkah kita mengatakan kepada tetangga se-RT ”untukmu negaramu, untukku negaraku”? Padahal kita sama-sama memegang KTP NKRI, yang sama-sama ada lambang garudanya? Berkewarganegaraan pada hakikatnya juga satu pilihan.
Selama saya masih memegang KTP atau paspor Indonesia, maka saya harus loyal kepada NKRI, kepada Pancasila, dan UUD 1945. Taat kepada undang-undang dan peraturan yang berlaku, menyetir di sebelah kiri jalan, membayar pajak, dsb. Begitu juga tetangga saya. Tetapi saya tidak harus menetap di Indonesia.
Saya boleh melancong ke negara manapun yang saya suka, dan boleh bekerja sebagai TKI, atau jadi mahasiswa di universitas di luar negeri, atau jadi dosen, atau memperoleh ”kartu hijau” (green card) di Australia atau di Amerika Serikat. Kalau kita tidak suka lagi menjadi WNI dan ingin menjadi warga negara lain, juga silakan. Dan sebagai non-WNI, tentu saja kita boleh bekerja dan tinggal di Indonesia sejauh sudah memenuhi criteria-kriteria tertentu yang berlaku bagi WNA.
Hal yang jadi masalah sekarang, ada pihak-pihak yang mencampurkan agama dengan negara. Ibaratnya sepatu lagi, ada yang mau satu sepatu saja untuk segala situasi. Padahal, walaupun ukurannya sama, orang memakai sepatu yang berbeda untuk ke kantor, olahraga atau kondangan.
Dalam kehidupan berkewarganegaraan sama saja. Ada saatnya kita harus memakai status sebagai WNI kalau sedang mengurus KTP atau berjual beli dengan menggunakan rupiah, adakalanya kita memakai baju agama ketika sedang beribadah dengan cara masing-masing. Karena itu, sebetulnya saya kurang setuju pada kebiasaan kita yang salah kaprah, yaitu berdoa bersama-sama dalam setiap acara atau upacara.
Biasanya, setelah acara nyanyi Indonesia Raya ada doa. Di Indonesia bagian barat, doa dipandu dengan tata cara Islam. Yang tidak seagama dipersilakan berdoa sesuai kepercayaan masing-masing. Padahal, katanya doa bersama. Begitu juga di Indonesia timur, umumnya doa dipimpin oleh seorang non-muslim, sedang yang muslim ikut saja.
Buat orang-orang yang sangat taat beragama, ikut doanya orang lain sudah dianggap melanggar agama (dalam Islam: melanggar akidah). Kasihan buat mereka yang terpaksa melakukannya, hanya karena mereka minoritas. Karena itu yang benar menurut saya adalah doa masing-masing saja, dipimpin oleh pemimpin upacara, dengan aba-aba, ”Berdoa mulai.” ..... beberapa detik hening .... ”Selesai!”.
Dalam tradisi di Amerika dinamakan minute of silence. Jadi samalah kira-kira dengan mengheningkan cipta (itu kan berdoa juga?), cuma bedanya kalau mengheningkan cipta pakai lagu.
Atau bisa juga berdoa saja langsung dalam bahasa Indonesia, tanpa diawali dan diakhiri dengan kalimat atau bahasa agama tertentu, supaya tidak ada orang yang merasa hanya sebagai ”kambing congek”. Bagaimanapun, memang sulit kalau agama dan negara harus disatukan, dalam bentuk apa pun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar