|
JABATAN Kepala Kepolisian Republik
Indonesia (Kapolri) kini resmi dalam genggaman Komisaris Jenderal (Komjen)
Sutarman setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantiknya di Istana
Negara, Jumat (25/10). Sebelumnya, Kepala Badan Reserse dan Kriminal
(Kabareskrim) Polri itu lulus dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang dilakukan
Komisi III DPR pada Kamis (17/10).
Saat fit and proper test, Sutarman tampil begitu meyakinkan anggota
Komisi III DPR dengan menggagas 12 program prioritas. Meski program yang
dijanjikan itu tidak ada hal yang baru, bisa diberi apresiasi sebagai langkah
positif untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi yang
selama ini dianggap biasa-biasa saja. Kecuali dalam mengungkap kasus terorisme
dan narkoba, institusi itu dalam upaya memberantas korupsi, terutama di
internal Polri, belum memperlihatkan keseriusan.
Program pemberantasan korupsi yang
akan diintensifkan merupakan salah satu program yang dapat memperbaiki citra
polisi di mata masyarakat. Namun, banyak kalangan yang meragukan, apakah 12
program prioritas itu bisa dilaksanakan secara simultan karena sisa masa tugas
Sutarman tinggal 20 bulan sebelum memasuki masa pensiun. Terutama penanganan
kasus korupsi yang mengendap di tingkat penyidikan, tetapi kemudian terlupakan.
Bukan tanpa garansi
Program antikorupsi, kolusi, dan
nepotisme yang sempat disebut tiga kali saat fit and proper test setidaknya bisa dijadikan `nilai lebih'.
Apalagi dia berjanji akan membentuk Detasemen Khusus (Densus) Antikorupsi di
jajaran Mabes Polri yang akan bersinergi dengan KPK dan kejaksaan. Itu menjadi
indikasi besarnya komitmen untuk memberantas korupsi, paling tidak di lingkungan
sendiri. Kapolri baru harus berani menantang hasil survei Transparency International Indonesia (TII) yang menyebut Polri
ialah institusi paling korup selain DPR.
Harapan rakyat agar institusi
penegak hukum berbaju cokelat itu bebas dari praktik korupsi bukan tanpa
garansi. Begitu banyak uang negara yang dipakai mendidik dan menggaji anggota
Polri sehingga garansinya ialah harus bersih dan jujur agar bisa dijadikan
teladan bagi masyarakat. Pemberantasan korupsi sebaiknya dimulai dari institusi
sendiri dengan mengawalinya pada perwira tinggi yang diduga memiliki rekening
gendut. Begitu pula, dugaan adanya ‘budaya upeti’ kepada atasan juga jadi
perhatian serius agar program pemberantasan korupsi bisa berjalan efektif.
Rakyat begitu merindukan sosok polisi yang bisa dibanggakan karena jujur,
bersih, profesional, dan berwibawa.
Permintaan setoran terhadap bawahan
agar lulus pendidikan atau meraih jabatan tertentu selalu dilakukan di ruang
gelap. Hanya operasi khusus yang bisa membongkarnya. Aspek itu sangat
memengaruhi psike bawahan yang setiap hari bersentuhan dengan masyarakat. Mereka
akan terbebani oleh kondisi internal di kantor yang kurang memberi ruang untuk
berperilaku bersih dan jujur.
Namun, niat Kapolri baru tetap saja
ada yang meragukan sebab Sutarman diduga tidak mungkin melakukan tindakan yang
akan mengganggu kenyamanan rekan sesama perwira tinggi meski mungkin saja
hatinya memberontak. Yang dikhawatirkan kalau para pemilik rekening gendut itu
te tap saja aman, sementara yang diungkap hanya pelaku kelas rendahan, misalnya
di tingkat perwira menengah ke bawah.
Sutarman dikhawatirkan tidak mampu
mengukir ‘peran baru’ dan perubahan penting di institusinya. Begitu banyak
kasus korupsi mengendap di kepolisian yang tidak jelas penanganannya, kecuali
kasus simulator untuk pembuatan SIM karena ditangani KPK, tetapi itu pun pada
awalnya sempat terjadi ketegangan soal kewenangan penyidikan. Bahkan posisi
Sutarman saat itu dipertanyakan publik karena dinilai melakukan langkah yang
cenderung menekan KPK saat banyak anggota Polri mengepung Kantor KPK.
Semoga di tangan Sutarman, Polri
makin tepercaya dengan menjadikan penegakan hukum berlaku bagi semua pihak.
Tidak ada lagi terdengar adanya calo saat penerimaan calon anggota Polri.
Kapolri baru harus berani menampilkan pola baru dalam mengimplementasi
gagasannya. Jika itu dilakukan, sudah pasti masyarakat akan mendukung, baik
dalam penegakan hukum, maupun pelayanan, pengayoman, dan perlindungan bagi
masyarakat.
Jangan ada lagi kesan bahwa petinggi Polri saling melindungi berhubungan dengan
dugaan suap dan semacamnya. Begitu pula, dukungan terhadap KPK dalam menangani
kasus korupsi, termasuk yang menyentuh anggota Polri, harus dimaksimalkan.
Jangan hanya bersikap baik saat disorot media, tetapi di belakang lain lagi
realitasnya.
Loyalitas atasan
Sutarman juga dipastikan Pusat
Pencatatan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bukan pemilik rekening
gendut yang selama ini menghantui perwira tinggi Polri. Itu cukup melegakan
sebagai salah satu perwira tinggi yang tidak rakus menumpuk harta kekayaan
secara tidak halal. Setidaknya itulah temuan PPATK yang bisa diapresiasi untuk
menumbuhkan kepercayaan rakyat.
Namun, ada juga kalangan yang
mempertanyakan, apakah Sutarman sosok polisi yang reformis dalam
membersihkan
perilaku korupsi di institusinya.
Begitu pula, Sutarman disebutsebut
perwira tinggi yang amat setia, loyal, dan menjunjung tinggi perintah atasan,
bahkan sangat kompromistis di lingkungan koleganya. Publik khawatir ia bisa
dimanfaatkan atasannya (presiden) untuk kepentingan politik tertentu.
Loyalitas Sutarman kepada atasan
dipertanyakan Trimedya Panjaitan, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI
Perjuangan saat uji kelayakan dan kepatutan. Hal itu bisa berbuah positif,
tetapi bisa juga negatif. Jika loyal semata kepada atasan yang dikedepankan,
publik khawatir 12 program prioritas tidak akan terlaksana dengan baik. Apalagi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ialah ketua umum partai.
Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas) juga menyoal kecenderungan loyalitas Sutarman pada atasan (Media
Indonesia, 18/10). Kompolnas memberi dua contoh dugaan keterkaitan Sutarman
yang menyulut perseteruan Polri dengan KPK. Pertama, penyerbuan penyidik Polri
ke Kantor KPK, Jumat (5/10) malam, untuk menjemput Komisaris Novel Baswedan,
penyidik Polri yang bertugas di KPK. Novel dituding terlibat kasus penembakan
dan penganiayaan terhadap pencuri sarang burung walet saat bertugas di Polda
Bengkulu.
Namun, pada akhirnya terbukti,
Novel sudah bertanggung jawab atas kasus yang sebenarnya perbuatan anak
buahnya. Atas peristiwa itu, berbagai pihak menuding penjemputan itu setidaknya
diketahui Sutarman, yang terkesan sebagai pelemahan KPK yang sedang menyidik
kasus mantan Korlantas Polri.
Kedua, saat penyidik KPK melakukan
penggeledahan di Gedung Korlantas Polri, juga diduga ada peran Sutarman
menghalangi penyidik KPK keluar bersama berkas-berkas yang disita. Hal itu juga
ditanyakan Bambang Soesatyo, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar
saat fit and proper test. Maka itu,
rakyat menanti kinerja Kapolri baru dengan memunculkan `peran baru' yang tidak
biasa-biasa saja seperti sebelumnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar