Jumat, 01 November 2013

Menanti Kinerja Kapolri Baru

Menanti Kinerja Kapolri Baru
Marwan Mas  ;   Guru Besar Universitas 45, Makassar, Bidang Ilmu Hukum
MEDIA INDONESIA, 31 Oktober 2013


JABATAN Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) kini resmi dalam genggaman Komisaris Jenderal (Komjen) Sutarman setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantiknya di Istana Negara, Jumat (25/10). Sebelumnya, Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Polri itu lulus dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang dilakukan Komisi III DPR pada Kamis (17/10).

Saat fit and proper test, Sutarman tampil begitu meyakinkan anggota Komisi III DPR dengan menggagas 12 program prioritas. Meski program yang dijanjikan itu tidak ada hal yang baru, bisa diberi apresiasi sebagai langkah positif untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi yang selama ini dianggap biasa-biasa saja. Kecuali dalam mengungkap kasus terorisme dan narkoba, institusi itu dalam upaya memberantas korupsi, terutama di internal Polri, belum memperlihatkan keseriusan.

Program pemberantasan korupsi yang akan diintensifkan merupakan salah satu program yang dapat memperbaiki citra polisi di mata masyarakat. Namun, banyak kalangan yang meragukan, apakah 12 program prioritas itu bisa dilaksanakan secara simultan karena sisa masa tugas Sutarman tinggal 20 bulan sebelum memasuki masa pensiun. Terutama penanganan kasus korupsi yang mengendap di tingkat penyidikan, tetapi kemudian terlupakan.

Bukan tanpa garansi

Program antikorupsi, kolusi, dan nepotisme yang sempat disebut tiga kali saat fit and proper test setidaknya bisa dijadikan `nilai lebih'. Apalagi dia berjanji akan membentuk Detasemen Khusus (Densus) Antikorupsi di jajaran Mabes Polri yang akan bersinergi dengan KPK dan kejaksaan. Itu menjadi indikasi besarnya komitmen untuk memberantas korupsi, paling tidak di lingkungan sendiri. Kapolri baru harus berani menantang hasil survei Transparency International Indonesia (TII) yang menyebut Polri ialah institusi paling korup selain DPR.

Harapan rakyat agar institusi penegak hukum berbaju cokelat itu bebas dari praktik korupsi bukan tanpa garansi. Begitu banyak uang negara yang dipakai mendidik dan menggaji anggota Polri sehingga garansinya ialah harus bersih dan jujur agar bisa dijadikan teladan bagi masyarakat. Pemberantasan korupsi sebaiknya dimulai dari institusi sendiri dengan mengawalinya pada perwira tinggi yang diduga memiliki rekening gendut. Begitu pula, dugaan adanya ‘budaya upeti’ kepada atasan juga jadi perhatian serius agar program pemberantasan korupsi bisa berjalan efektif. Rakyat begitu merindukan sosok polisi yang bisa dibanggakan karena jujur, bersih, profesional, dan berwibawa.

Permintaan setoran terhadap bawahan agar lulus pendidikan atau meraih jabatan tertentu selalu dilakukan di ruang gelap. Hanya operasi khusus yang bisa membongkarnya. Aspek itu sangat memengaruhi psike bawahan yang setiap hari bersentuhan dengan masyarakat. Mereka akan terbebani oleh kondisi internal di kantor yang kurang memberi ruang untuk berperilaku bersih dan jujur.

Namun, niat Kapolri baru tetap saja ada yang meragukan sebab Sutarman diduga tidak mungkin melakukan tindakan yang akan mengganggu kenyamanan rekan sesama perwira tinggi meski mungkin saja hatinya memberontak. Yang dikhawatirkan kalau para pemilik rekening gendut itu te tap saja aman, sementara yang diungkap hanya pelaku kelas rendahan, misalnya di tingkat perwira menengah ke bawah.

Sutarman dikhawatirkan tidak mampu mengukir ‘peran baru’ dan perubahan penting di institusinya. Begitu banyak kasus korupsi mengendap di kepolisian yang tidak jelas penanganannya, kecuali kasus simulator untuk pembuatan SIM karena ditangani KPK, tetapi itu pun pada awalnya sempat terjadi ketegangan soal kewenangan penyidikan. Bahkan posisi Sutarman saat itu dipertanyakan publik karena dinilai melakukan langkah yang cenderung menekan KPK saat banyak anggota Polri mengepung Kantor KPK.

Semoga di tangan Sutarman, Polri makin tepercaya dengan menjadikan penegakan hukum berlaku bagi semua pihak. Tidak ada lagi terdengar adanya calo saat penerimaan calon anggota Polri. Kapolri baru harus berani menampilkan pola baru dalam mengimplementasi gagasannya. Jika itu dilakukan, sudah pasti masyarakat akan mendukung, baik dalam penegakan hukum, maupun pelayanan, pengayoman, dan perlindungan bagi masyarakat.
Jangan ada lagi kesan bahwa petinggi Polri saling melindungi berhubungan dengan dugaan suap dan semacamnya. Begitu pula, dukungan terhadap KPK dalam menangani kasus korupsi, termasuk yang menyentuh anggota Polri, harus dimaksimalkan. Jangan hanya bersikap baik saat disorot media, tetapi di belakang lain lagi realitasnya.

Loyalitas atasan

Sutarman juga dipastikan Pusat Pencatatan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bukan pemilik rekening gendut yang selama ini menghantui perwira tinggi Polri. Itu cukup melegakan sebagai salah satu perwira tinggi yang tidak rakus menumpuk harta kekayaan secara tidak halal. Setidaknya itulah temuan PPATK yang bisa diapresiasi untuk menumbuhkan kepercayaan rakyat.

Namun, ada juga kalangan yang mempertanyakan, apakah Sutarman sosok polisi yang reformis dalam 
membersihkan perilaku korupsi di institusinya.

Begitu pula, Sutarman disebutsebut perwira tinggi yang amat setia, loyal, dan menjunjung tinggi perintah atasan, bahkan sangat kompromistis di lingkungan koleganya. Publik khawatir ia bisa dimanfaatkan atasannya (presiden) untuk kepentingan politik tertentu.

Loyalitas Sutarman kepada atasan dipertanyakan Trimedya Panjaitan, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan saat uji kelayakan dan kepatutan. Hal itu bisa berbuah positif, tetapi bisa juga negatif. Jika loyal semata kepada atasan yang dikedepankan, publik khawatir 12 program prioritas tidak akan terlaksana dengan baik. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ialah ketua umum partai.

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga menyoal kecenderungan loyalitas Sutarman pada atasan (Media Indonesia, 18/10). Kompolnas memberi dua contoh dugaan keterkaitan Sutarman yang menyulut perseteruan Polri dengan KPK. Pertama, penyerbuan penyidik Polri ke Kantor KPK, Jumat (5/10) malam, untuk menjemput Komisaris Novel Baswedan, penyidik Polri yang bertugas di KPK. Novel dituding terlibat kasus penembakan dan penganiayaan terhadap pencuri sarang burung walet saat bertugas di Polda Bengkulu.

Namun, pada akhirnya terbukti, Novel sudah bertanggung jawab atas kasus yang sebenarnya perbuatan anak buahnya. Atas peristiwa itu, berbagai pihak menuding penjemputan itu setidaknya diketahui Sutarman, yang terkesan sebagai pelemahan KPK yang sedang menyidik kasus mantan Korlantas Polri.

Kedua, saat penyidik KPK melakukan penggeledahan di Gedung Korlantas Polri, juga diduga ada peran Sutarman menghalangi penyidik KPK keluar bersama berkas-berkas yang disita. Hal itu juga ditanyakan Bambang Soesatyo, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar saat fit and proper test. Maka itu, rakyat menanti kinerja Kapolri baru dengan memunculkan `peran baru' yang tidak biasa-biasa saja seperti sebelumnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar