|
Segenap energi telah dikerahkan untuk menghentikan laju
korupsi (kecuali hukuman mati!). Namun, tetap saja korupsi belum lenyap dari
negeri ini. Korupsi seakan menjadi nemesis bagi republik ini: musuh abadi yang
sulit dikalahkan.
Satu demi satu figur dan institusi penting berguguran,
terjerembap oleh ganasnya kibasan korupsi. Kini saatnya kita mengais-ngais
kembali apa yang tersisa dalam pemberantasan korupsi. Cukup adalah cukup untuk
korupsi. Di tengah komitmen dan integritas KPK yang sejauh ini telah teruji,
terkadang tebersit pesimisme: dapatkah korupsi benar-benar bisa enyah dari
negeri ini? Pesimisme ini begitu mengganggu ketika kita melihat kecenderungan
”mati satu tumbuh seribu” dalam pemberantasan korupsi. Korupsi seakan tak
pernah kehilangan serdadu. Bagaimana mungkin kasus korupsi bisa menimpa figur
atau institusi yang seharusnya jadi tulang punggung penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi?
Anarki struktur
Namun, itulah realitasnya. Korupsi menyapu siapa pun yang
berdiri mengadang di depannya. Ia juga menyapu sekumpulan orang-orang ”saleh”
dari partai ”suci” yang selama ini menjadi benteng terakhir pemberantasan
korupsi. Kita pun akhirnya tersadar: ternyata argumentasi moral belum mampu
memutus mata rantai korupsi.
Tampaknya ada sesuatu yang lain di luar argumentasi moral
yang perlu didalami lebih fokus dan serius: argumentasi struktural. Jika
argumentasi moral bertumpu pada narasi kebajikan (virtue), norma dan nilai sebagai faktor otonom yang
merepresentasikan antitesis korupsi, maka argumentasi struktural lebih
mengaksentuasi kekuatan struktur dalam menjelaskan korupsi. Oleh sebab itu, ada
baiknya kita tidak berputar-putar pada argumentasi moral semata. Hal ini karena
korupsi merupakan realitas yang begitu kompleks, rumit, dan tak sesederhana
yang dibayangkan banyak orang.
Argumentasi struktural pertama-tama menempatkan struktur
sebagai entitas anarkistis. Argumentasi struktural juga mengandaikan korupsi
sebagai kejahatan korporat yang terstruktur-sistemik (bedakan dengan kejahatan
korporasi atau korupsi berjemaah yang bersifat sporadis). Dalam kejahatan
semacam ini, kekuatan struktur jauh lebih koersif, dominan, dan hegemonik yang
menenggelamkan kekuatan aktor atau agen dalam melakukan sebuah perlawanan.
Dengan kata lain, korupsi bukan semata soal kultur, melainkan
juga struktur. Argumentasi struktural menempatkan korupsi sebagai efek domino
dari anarki struktur dimaksud. Dalam dialektika struktur-agen-tindakan,
kekuatan moral boleh jadi berperan sebagai faktor pemampu (enabling factor) dalam memberikan kapasitas individu untuk
mengatasi dominasi struktur. Namun, gempuran struktur yang bertubi-tubi bisa
saja melemahkan daya tahan moral seseorang dalam melawan struktur yang korup
itu. Dalam kondisi semacam ini seseorang secara sadar telah menyediakan dirinya
jadi bagian dari jejaring struktur korup dengan imbalan sejumlah kenyamanan.
Dalam teori struktur kesempatan (opportunity structure), terdapat hubungan resiprokal antara
kesempatan dan tindakan atau perilaku politik; kesempatan membuka cara bagi
munculnya tindakan, tetapi tindakan juga menciptakan kesempatan (Gamson dan Meyer, 1996: 276). Dalam
konteks korupsi, kesempatan dapat menyebabkan seseorang melakukan korupsi dan
korupsi juga menciptakan kesempatan. Siklus kesempatan-korupsi-kesempatan
(bukan korupsi-kesempatan-korupsi) hanya dapat dihentikan oleh agen dengan
kapasitas yang memampukan dirinya bertindak demikian.
Dalam hal kekuatan struktur lebih dominan ketimbang kekuatan
agen, koruptor sering kali menempati peran instrumentalis dalam mata rantai
korupsi. Dia melakukan korupsi bukan semata-mata karena secara moral rapuh, melainkan dia tak punya kapasitas yang dapat
memampukan dirinya menghentikan
anarki struktur korupsi. Dia tak berdaya berhadapan dengan dominasi struktur yang ”memaksanya” bertindak demikian. Dalam situasi semacam ini, sang koruptor sebenarnya tengah menihilkan diri, menyediakan dirinya sebagai salah satu agen dari mata rantai korupsi yang saling tali-temali.
anarki struktur korupsi. Dia tak berdaya berhadapan dengan dominasi struktur yang ”memaksanya” bertindak demikian. Dalam situasi semacam ini, sang koruptor sebenarnya tengah menihilkan diri, menyediakan dirinya sebagai salah satu agen dari mata rantai korupsi yang saling tali-temali.
Dalam struktur politik semacam ini, hubungan antara politisi
yang jadi pejabat publik dengan parpol bersifat patron-client. Pada titik
inilah segala bentuk moral hazards terjadi. Lembaga-lembaga
negara—legislatif, eksekutif, maupun yudikatif—diperlakukan sebagai lumbung
penyangga keberlangsungan parpol, terutama aspek pendanaannya. Harus diakui,
inilah salah satu ”lubang hitam” demokrasi yang bisa jadi pintu masuk
menguatnya struktur korupsi di republik ini. ”Lubang hitam” ini pula yang telah
membuat anak-anak bangsa yang cerdas dan bersih berubah jadi kerdil dan dekil
ketika mereka memasuki realitas politik kekuasaan.
Menutup ”lubang hitam”
Pertanyaannya, apakah operasi tangkap tangan KPK terhadap
sejumlah tokoh penting dapat memutus mata rantai korupsi? Jawabnya: tidak,
sepanjang ”lubang hitam” dibiarkan menganga tanpa ada upaya menutupnya.
Meminjam ungkapan seorang tokoh islamis, ”lubang-lubang” inilah yang telah
menjadikan medan politik dan demokrasi sebagai ”kuburan massal” bagi
orang-orang saleh. Sebab, tidak ada jaminan kesucian dan kesalehan dapat
mengatasi struktur yang korup itu.
Hal paling mendesak dalam rangka menutup ”lubang hitam” itu
adalah dengan cara menetralisasi konflik kepentingan dalam setiap pemilihan dan
atau penunjukan pejabat publik dan menggantinya dengan prinsip- prinsip
meritokrasi. Konsekuensinya, penunjukan menteri yang selama ini berbasis pada
prinsip ”bagi-bagi kue kekuasaan” harus diganti dengan asas kompetensi dan
penyelesaian masalah. Model pelelangan jabatan sebagaimana dipraktikkan oleh
Jokowi di DKI dapat dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif solusinya.
Yang tak kalah penting adalah memaksimalkan pengawasan publik
(public surveillance) sebagai
mekanisme pencegahan sekaligus penindakan korupsi. Pola pengawasan semacam ini
menempatkan setiap orang—baik yang saleh maupun tidak—pada posisi yang sama:
sama-sama memiliki peluang dan kerentanan untuk melakukan korupsi. Terpenting
dari itu semua, argumentasi struktural hendak menguatkan, bukan melemahkan,
argumentasi moral-kultural yang selama ini banyak dikembangkan melalui
institusi pendidikan dan keagamaan. Semoga!
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar