Tak seperti
biasanya, 29 Oktober lalu, Presiden SBY lewat akun @SBYudhoyono mengunggah
tujuh tweet ihwal
pertanian-pangan. Intinya, tweet itu berisi kesepakatan antara Presiden
SBY, menteri terkait, gubernur, dan dunia usaha untuk meningkatkan produksi
lima bahan pangan pokok: beras, jagung, gula, kedelai, dan daging sapi.
Pada 2014, ditargetkan produksi beras mencapai 41 juta ton (agar bisa
surplus 10 juta ton), kedelai lebih dari 1 juta ton, gula 3,1 juta ton,
jagung 20 juta ton, dan daging sapi 462 ribu ton. Keterpaduan antara
pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dunia usaha diyakini bisa mewujudkan
hal itu.
Sepintas tak ada yang "aneh" dalam
tweet itu. Setelah menjelajahi
dunia maya, pertanyaan muncul: bukankah target surplus beras 10 juta ton
dan swasembada jagung, kedelai, gula, serta daging sapi sudah dicanangkan
sejak 2010? Mengapa kesepakatan antara Presiden, menteri, gubernur, dan
dunia usaha guna mencapai target baru dilakukan? Apa saja yang dilakukan
selama ini? Apakah baru sadar? Posting
itu kian meyakinkan satu hal: ibarat sebuah orkestra, pembangunan pangan
selama ini berjalan tanpa dirigen.
Secara formal, di Indonesia ada lembaga
penyambung kepentingan pusat-daerah untuk wadah koordinasi. Namanya Dewan
Ketahanan Pangan (DKP). Di daerah dibentuk DKP daerah, baik provinsi maupun
kabupaten.
Di pusat, DKP diketuai Presiden dengan Menteri
Pertanian sebagai ketua harian. Selain Bulog dan pemda
(provinsi/kabupaten/kota), DKP melibatkan 14 kementerian yang berkaitan
dengan pangan. Masalahnya, gerak DKP diserahkan kepada pejabat eselon I:
Ketua Badan Ketahanan Pangan (BKP) di Kementerian Pertanian, yang kurang
bergigi (powerless). Jangankan
menggerakkan kementerian terkait, mengkoordinasikan sesama eselon I lintas
kementerian saja BKP tak berdaya.
Terjadilah kontradiksi yang tak masuk akal:
pangan yang strategis dan multi-sektoral diurus seorang pejabat setingkat
dirjen. Fungsi Presiden sebagai Ketua DKP, yang semestinya menjadi dirigen
kelembagaan pangan, justru mati suri. Presiden sepertinya tidak menyadari
posisinya yang strategis itu. Secara organisasi, masalahnya bukan
kewenangan, melainkan soal kepemimpinan.
Karena tidak ada lembaga yang merumuskan
kebijakan dan mengkoordinasikan kegiatan pangan, pelbagai kontradiksi,
komplikasi kebijakan, dan egosektoral selalu berulang. Tak ada evaluasi dan
umpan balik. Masalah-masalah prinsip yang potensial membuat aneka kebijakan
pangan lumpuh tidak tersentuh. Misalnya, di level hulu, bagaimana
Kementerian Pertanian seolah berjalan sendiri mencapai target surplus 10
juta ton beras, swasembada gula, jagung, kedelai, dan daging sapi pada
2014.
Untuk mencapai hal itu, mutlak perlu
tambahan lahan dan ketersediaan air. Tapi Kementerian Kehutanan justru
mengobral lahan (hutan) untuk segelintir pengusaha tambang, HPH, HTI, atau
perkebunan. Target pembangunan dan perbaikan infrastruktur (irigasi, jalan,
pelabuhan, dan lain-lain) Kementerian Pekerjaan Umum juga tak nyambung
dengan target-target swasembada.
Peningkatan daya saing, produksi, dan
kesejahteraan petani selalu didengungkan, tapi pada saat yang sama
degradasi sumber daya tanah, air, dan iklim akibat pembabatan hutan dan
buruknya implementasi tata ruang, lantaran intervensi pemodal kuat/pejabat
dengan argumen sumber devisa, terus berlangsung nir-intervensi.
Daya tampung dan distribusi DAS kian buruk
karena infrastruktur irigasi tak pernah dibenahi. Waduk-waduk besar di Jawa
mengalami kritis kondisi air. Infrastruktur irigasi 52 persen rusak.
Mungkinkah menanam kalau air tak tersedia cukup?
Di hilir, kondisinya makin parah. Bukan
hanya tidak terkoordinasi, masing-masing kementerian justru bertubrukan
kepentingan. Semua berpikir untuk kepentingan sektoral. Saat Kementrian
Pertanian mati-matian menggenjot produksi, Kementerian Perdagangan
mengobral izin impor. Nihilnya dukungan bank, penyunatan subsidi, tidak
fokusnya perencanaan SDM pertanian, liberalisasi kebablasan, dan tidak
bersenyawanya lembaga pendidikan dan riset dengan petani, akhirnya membuat
berbagai upaya jadi sia-sia. Yang paling parah, sejak otonomi daerah,
Kementerian Pertanian seperti anak tiri karena tidak punya "tangan dan
kaki" di daerah. Padahal implementasi dan eksekusi program ada di
daerah. Tanpa keterlibatan daerah, berbagai program (pusat) hanya berada di
atas kertas.
Waktu untuk mengejar target produksi kurang
dari setahun. Tapi hasil masih jauh dari memadai. Menurut angka ramalan II
BPS, produksi padi, jagung, dan kedelai tahun ini masing-masing 70,87 juta
ton (naik 2,62 persen dibanding hasil pada 2012), 18,51 juta ton pipilan
kering (-4,52 persen), dan 807,57 ribu ton biji kering (-4,22 persen).
Produksi gula kristal putih diperkirakan hanya 2,5 juta ton, dan produksi
daging 399.320 ton.
Ini terjadi bukan semata-mata lantaran soal
kelembagaan yang melingkupi terlalu kusut, mulai dari tingkat usaha tani di
hulu, perdagangan dan distribusi di tengah, sampai struktur pasar dan
pemasaran yang penuh misteri, tapi juga tiadanya insentif yang memadai buat
petani. Tanpa kebijakan yang tegas, terukur, berdimensi jangka panjang,
serta lembaga sebagai dirigen, impor pangan akan terus membesar, dan salah
kelola pangan akan berlanjut. Entah sampai kapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar