Rabu, 13 November 2013

Pensiun Sang Maling

Pensiun Sang Maling
Putu Setia  Pengarang
TEMPO.CO,  12 November 2013
  

 Koruptor di negeri ini sangat istimewa. Sulit menyita hartanya, tak bisa dimiskinkan, eh, dapat pensiun pula. Terutama mereka yang tadinya anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sebut misalnya Mu­hammad Nazaruddin dari Partai Demokrat atau Wa Ode Nurhayati dari Partai Amanat Nasional.

Nazaruddin dihukum Mah­kamah Agung 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Nurhayati divonis MA 6 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta, padahal uang yang dikorupsi Rp 6,25 miliar. Uang mereka masih berlimpah dan kini dapat pensiun pula dari negara. Betapa tak adilnya.

Kenapa bisa? Koruptor eks Senayan ini diakui sangat licik dan bisa "menyiasati undang-undang"-maklum tugas me­reka membuat undang-undang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 yang mengatur masalah pensiun, ada pasal yang dijadikan senjata oleh mereka, yakni pasal 12 ayat 2 yang berbunyi: "Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara yang berhenti dengan hormat dari jabatannya berhak memperoleh pensiun". Sadar telah terjerat hukum dan bisa masuk bui, mereka buru-buru  mengajukan surat permohonan berhenti sebagai anggota Dewan. Dengan alasan agar fokus dan konsentrasi mengurus kasusnya, permohonan berhenti itu cepat disetujui. Dengan status "berhenti dengan hormat", sesuai dengan undang-undang, pensiunnya cair setelah gaji dihentikan.

Mestinya ada cara menangkal itu. Dewan punya lembaga yang bernama Badan Kehormatan (BK). Seandainya BK bekerja lebih cepat, begitu seorang anggota Dewan kena kasus hukum, sidang kode etik digelar, sehingga anggota Dewan itu bisa berstatus "berhenti dengan tidak hormat". Status ini, sesuai dengan undang-undang, menghapus adanya pensiun. Contoh terbaru ada di Mahkamah Konstitusi. Begitu Ketua MK Akil Muchtar kena kasus, MK membentuk Komite Etik dan menyidangkan Akil sebelum dia mengajukan surat permohonan berhenti. Keputusan Komite Etik, Akil menyalahi kode etik dan divonis "berhenti dengan tidak hormat". Padahal kasus Akil masih di tingkat penyidikan, belum ada sidang pengadilan. 

Lagi pula, BK DPR bersifat permanen, tak perlu mencari dan mengangkat majelisnya seperti Komite Etik MK. Kenapa tak cepat bereaksi? Kenapa tak langsung bersidang dan memeriksa anggota Dewan yang terjerat korupsi? 

Jika pun anggota Dewan korup itu cepat-cepat mengajukan permohonan mundur, status berhentinya harus disesuaikan dengan vonis pengadilan. Kalau divonis bersalah, langsung berstatus "berhenti dengan tidak hormat". Dengan begitu, jaminan pensiun tak berlaku. Lembaga DPR (apakah itu BK ataupun sekretariat jenderal) bisa "memperluas tafsir" atas undang-undang.  Ada Pasal 25 ayat 1 butir b dalam UU Nomor 12 Tahun 1980 ini, yang mengatur bahwa pensiun bisa dihapus apabila penerima pensiun, menurut keputusan pejabat/badan yang berwenang, dinyatakan salah melakukan tindakan atau terlibat dalam suatu gerakan yang bertentangan dengan kesetiaan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945". Korupsi sangat merugikan bangsa dan pasti bertentangan dengan Pancasila serta UUD 45.

Namun, apa pun, UU Nomor 12 Tahun 1980 ini sudah layak direvisi. Bukan saja tak sesuai dengan jiwa pemerintahan yang bersih, tapi juga tercantum lembaga negara yang sudah tak ada, seperti Dewan Pertimbangan Agung. Lagi pula, perlu dipertanyakan apakah pimpinan dan anggota lembaga negara yang bersifat politis, yang berhenti dari tugasnya karena tidak dipilih lagi dan bukan faktor usia, perlu jaminan pensiun? Bukankah presiden dan wakilnya, dengan alasan jabatan politis, sudah dikecualikan dari undang-undang ini? Orang seperti Nazaruddin memang tak layak dapat pensiun.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar