Koruptor di negeri ini sangat
istimewa. Sulit menyita hartanya, tak bisa dimiskinkan, eh, dapat pensiun
pula. Terutama mereka yang tadinya anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sebut
misalnya Muhammad Nazaruddin dari Partai Demokrat atau Wa Ode Nurhayati
dari Partai Amanat Nasional.
Nazaruddin dihukum Mahkamah Agung 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.
Nurhayati divonis MA 6 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta, padahal uang
yang dikorupsi Rp 6,25 miliar. Uang mereka masih berlimpah dan kini dapat
pensiun pula dari negara. Betapa tak adilnya.
Kenapa bisa? Koruptor eks Senayan ini diakui sangat licik dan bisa "menyiasati
undang-undang"-maklum tugas mereka membuat undang-undang. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 yang mengatur masalah pensiun, ada pasal
yang dijadikan senjata oleh mereka, yakni pasal 12 ayat 2 yang berbunyi:
"Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara yang berhenti dengan
hormat dari jabatannya berhak memperoleh pensiun". Sadar telah
terjerat hukum dan bisa masuk bui, mereka buru-buru mengajukan surat
permohonan berhenti sebagai anggota Dewan. Dengan alasan agar fokus dan konsentrasi
mengurus kasusnya, permohonan berhenti itu cepat disetujui. Dengan status
"berhenti dengan hormat", sesuai dengan undang-undang, pensiunnya
cair setelah gaji dihentikan.
Mestinya ada cara menangkal itu. Dewan punya lembaga yang bernama Badan
Kehormatan (BK). Seandainya BK bekerja lebih cepat, begitu seorang anggota
Dewan kena kasus hukum, sidang kode etik digelar, sehingga anggota Dewan
itu bisa berstatus "berhenti dengan tidak hormat". Status ini,
sesuai dengan undang-undang, menghapus adanya pensiun. Contoh terbaru ada
di Mahkamah Konstitusi. Begitu Ketua MK Akil Muchtar kena kasus, MK
membentuk Komite Etik dan menyidangkan Akil sebelum dia mengajukan surat
permohonan berhenti. Keputusan Komite Etik, Akil menyalahi kode etik dan
divonis "berhenti dengan tidak hormat". Padahal kasus Akil masih
di tingkat penyidikan, belum ada sidang pengadilan.
Lagi pula, BK DPR bersifat permanen, tak perlu mencari dan mengangkat
majelisnya seperti Komite Etik MK. Kenapa tak cepat bereaksi? Kenapa tak
langsung bersidang dan memeriksa anggota Dewan yang terjerat korupsi?
Jika pun anggota Dewan korup itu cepat-cepat mengajukan permohonan mundur,
status berhentinya harus disesuaikan dengan vonis pengadilan. Kalau divonis
bersalah, langsung berstatus "berhenti dengan tidak hormat".
Dengan begitu, jaminan pensiun tak berlaku. Lembaga DPR (apakah itu BK
ataupun sekretariat jenderal) bisa "memperluas tafsir" atas
undang-undang. Ada Pasal 25 ayat 1 butir b dalam UU Nomor 12 Tahun
1980 ini, yang mengatur bahwa pensiun bisa dihapus apabila penerima
pensiun, menurut keputusan pejabat/badan yang berwenang, dinyatakan salah
melakukan tindakan atau terlibat dalam suatu gerakan yang bertentangan
dengan kesetiaan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945".
Korupsi sangat merugikan bangsa dan pasti bertentangan dengan Pancasila
serta UUD 45.
Namun, apa pun, UU Nomor 12 Tahun 1980 ini sudah layak direvisi. Bukan saja
tak sesuai dengan jiwa pemerintahan yang bersih, tapi juga tercantum
lembaga negara yang sudah tak ada, seperti Dewan Pertimbangan Agung. Lagi
pula, perlu dipertanyakan apakah pimpinan dan anggota lembaga negara yang
bersifat politis, yang berhenti dari tugasnya karena tidak dipilih lagi dan
bukan faktor usia, perlu jaminan pensiun? Bukankah presiden dan wakilnya,
dengan alasan jabatan politis, sudah dikecualikan dari undang-undang ini?
Orang seperti Nazaruddin memang tak layak dapat pensiun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar