|
Memang, persoalan paling kronis sektor pertanian adalah
laju liberalisasi dan masih rendahnya keberpihakan pemerintah. Liberalisasi
yang menggila membuat sektor pangan Indonesia se-makin tak berdaulat. Rendahnya
keberpihakan kebijakan pemerintah membuat sektor pertanian semakin inefisien.
Sehingga, kemandirian pangan seolah hanya pemikiran di senja esok hari.
Hempasan liberalisasi yang paling kentara adalah
dilepaskannya pangan utama (beras, jagung, kedelai, gandum, gula, dan minyak
goreng) yang awalnya di bawah pengawasan Bulog ke pasar. Bulog pun menjadi
Perum yang berorientasi profit. Tugas Bulog yang membeli dan mengadakan produk
dari petani saat musim panen secara maksimal hanya isapan jempol belaka.
Belum lagi, keberadaan perusahaan asing yang menguasai
sektor pertanian. Sebagai contoh, ada beberapa pertanian pangan yang diambil
alih oleh asing, terutama benih jagung, padi hibrida, dan hortikultura.
Industri input pertanian hanya dipasok oleh beberapa perusahaan multinasional
dengan nilai penjualan mencapai Rp 340 triliun. Selain itu, petani sangat
bergantung pada industri olahan dan pedagang pangan. Bahkan, sepuluh besar MNC
menguasai penjualan pangan hingga Rp 3.477 triliun.
Kebijakan impor tak kalah mengerikan. Kedengarannya memang
paradoks, bahwa negara dengan bentangan yang luas dan berstatus agraris malah
melakukan kebijakan impor dengan skala yang masif. Bayangkan saja, pemerintah
rata-rata rela mengeluarkan kocek hingga Rp 110 trilliun untuk melakukan impor
pangan. Namun, hanya sejumlah Rp 38,2 trilliun untuk membiayai pembiayaan
pertanian dalam APBN. Selama ini, argumentasi yang dikemukakan hingga membuka
keran impor lebar-lebar adalah inefisiensi produksi pangan dalam negeri,
seperti beras.
Peliknya permasalahan sektor pertanian malah tidak
dijadikan kontemplasi dalam meramu strategi pengembangan sektor ini dalam
jangka panjang (long term). Yang dilakukan malah sebaliknya, instanisasi
kebijakan impor yang sebenarnya irasional. Impor merupakan disinsentif bagi
petani, dan menjadi lahan empuk bagi para pemburu rente untuk kemudian
merubahnya menjadi keuntungan yang berlipat. Hal ini menjadikan negara kita
makin tergantung pangan impor. Terbukti, ketahanan pangan kita rentan terhadap
gejolak harga pangan dunia, karena 70 persen masih bergantung impor. (Limbong,
2013)
Pun demikian, kasus lonjakan kenaikan harga beras (seperti
pada kasus tahun 2008, naiknya harga beras dunia yang mencapai lebih dari 800
dolar AS per ton) tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan kesejahteraan
petani. Hal ini akibat kenaikan harga hanya dinikmati oleh pelaku pasar yang
bermodal. Khususnya aktor oportunis yang memanfaatkan disparitas harga. Petani
tak punya daya jika dihadapkan dengan pasar.
Sedangkan dari sisi keberpihakan kebijakan, pemerintah
terkesan kurang memprioritaskan sektor pertanian. Seperti klenik seputar
rendahnya subsidi pupuk, kredit untuk sektor pertanian, serta rendahnya
anggaran riset bidang pertanian sudah menjadi penyakit lama. Kondisi ini
kontra-produktif dengan rancangan perlunya mendorong penciptaan strategi pro growth,
pro job, dan pro poor dengan jalan memberdayakan sektor pertanian.
Realitas ini tak dapat dilepaskan dari ketidakjelasan
disain dan konsep kebijakan ketahanan pangan. Khususnya menyangkut kedaulatan
pangan dan kemandirian petani yang belum dapat diwujudkan akibat kebijakan
investasi di sektor pertanian yang banyak disunat, dialihkan ke led-export
production. Sehingga, lebih dari tiga dekade terakhir petani dan pertanian
menjadi anak tiri. (Khudori, 2008)
Merubah Paradigma
Kemandirian pangan dari sumber daya lokal mustahil
dilakukan jika akar persoalan masih belum dibereskan. Paradigma baru juga perlu
ditekankan, yakni ketahanan pangan saja tidak cukup, namun perlu kedaulatan
pangan yang memerlukan politik pangan yang lebih baik.
Politik pangan kita sebenarnya dapat dikuliti menjadi dua
aspek, yakni internal dan eksternal. Aspek internal kuat kaitannya dengan
ketidakberdayaan petani akibat kerdilnya sarana penunjang performa mereka dalam
melakukan kegiatan usaha tani. Hal ini akibat kebijakan pemerintah yang kurang
berpihak. Aspek ini secara langsung berpengaruh pada ketidakberdayaan petani
dalam melakukan efisiensi produksi.
Sedangkan aspek eksternal menyangkut pasar. Termasuk dalam
aspek ini adalah para aktor pembawa kepentingan yang sarat akan perilaku
menyimpang (moral hazard), termasuk
di dalamnya adalah tangan-tangan pemerintah yang didikte oleh logika neoliberal.
Karena, pasar yang melemahkan petani pada dasarnya akan tetap dilanggengkan
oleh pihak swasta dan pedagang "antara" karena terlanjur keenakan
menikmati margin yang tinggi (profit
maximalization) hingga akan tetap menekan harga pembelian dari petani (cost minimalization). Peran lembaga
parastatal pun semacam Bulog sebagai buffer
stock tidak berjalan sesuai koridor.
Dengan demikian, kemandirian pangan atas
pemanfaatan sumber daya lokal menjadi konsep yang sia-sia jika tidak berusaha
merubah persoalan yang masih menggantung. Paradigma kedaulatan pangan perlu
lebih ditekankan, karena yang dibutuhkan tak sekedar mewujudkan kemandirian
pangan dari ketersediaan pangan domestik, namun juga meletakkan sektor
pertanian yang tidak ditempatkan dalam arena pasar.
Yang sebenarnya harus dilakukan adalah memperbaiki
persoalan yang menjadi kelemahan sektor pertanian dalam negeri. Hal ini lebih
berorientasi jangka panjang dan mempunyai visi yang mulia. Sehingga, domain
terbesar ada pada pemerintah dalam mewujudkan kemandirian pangan atas kemampuan
sendiri. Sektor pertanian mutlak harus menjadi sektor prioritas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar