|
Eksposisi
hasil penggilingan tebu oleh 62 pabrik gula (PG) di seluruh Indonesia sekarang
tampaknya mengulangi episode kurang bersahabatnya agoklimat. Perubahan iklim (climate change) yang ditandai hujan
berkepanjangan hingga medio Agustus 2013, ditengarai menjadi penyebab rendemen
0,5-1,0 point lebih rendah dibanding 2012. Begitu hujan mereda, segera disusul
kemarau ekstrim tetapi beda suhu antara siang dan malam tidak terlalu tajam.
Pembentukan
gula melalui ativitas fotosintesis di daun yang melibatkan radiasi matahari
mengalami gangguan, secara fisiologis memunculkan tumbuhnya tunas air (siwilan)
pada batang tebu. Energi dari gula tidak lagi digunakan untuk sukrosa pembentuk
rendemen, melainkan kelanjutan pertumbuhan vegetatif. Resultante atas semua
gangguan pertumbuhan dan perkembangan agronomis berimplikasi terhadap turunnya
produksi hingga 10-20 persen. Artinya, produksi gula tebu dipredikasi maksimal
2,3 juta ton dibaning tahun 2012 yang sudah mendekati swasembada 2,6 juta ton.
Derita
petani makin sempurna menyusul tendensi turunnya harga gula selama masa giling
ini. Di tengah ancaman murahnya harga global akibat keberhasilan panen sejumlah
negara produsen utama dunia yang menjadikan harga lokal sulit terungkit,
tingginya biaya produksi ditanggung membuat petani makin tidak berdaya. Hampir
semua komponen biaya produksi, mulai sewa lahan, bibit, agroinputs, upah tenaga
kerja panen hingga transportasi hasil, meroket. Bagi pemerintah harga gula
petani sekitar Rp 9.000 masih dianggap wajar. Harga tinggi potensial menyulut
inflasi naik tak terkendali.
Dengan
alasan jumlah konsumen jauh lebih banyak dibanding petani produsen, pemerintah
secara sengaja membiarkan harga patokan (floor
price) gula tidak bergerak dari Rp 8.100 yang ditetapkan untuk kondisi
2012.
Kalkulasi
aritmatika menunjukkan, petani hanya dapat menikmati profit wajar bila produksi
mencapai minimal 8,5 ton gula per hektar. Secara individual kebun, produksi
tersebut dapat diraih, tetapi secara keseluruhan masih jauh panggang dari api.
Satu-satunya
senjata pamungkas yang masih dapat diinjeksikan adalah terbentuknya harga
wajar. Dalam mekanisme pasar, harga tak lagi dapat dikendalikan pemerintah,
melainkan fungsi penawaran dan permintaan. Instrumen yang dapat dilakukan
pemerintah untuk mengerem penawaran ekstrim berlebih hanyalah memberlakukan bea
masuk secara fleksibel mengikuti harga dunia dan kurs serta pembatasan kuota
impor secara ketat.
Kedodoran
Terkait
instrumen dimaksud, agaknya pemerintah juga kedodoran. Terbukti, dengan alasan
dalam taraf pengembangan dan menghasilkan produk berorientasi ekspor masih
tersedia fasilitas keringanan bea masuk 0-5 persen bagi industri gula rafinasi
saat mengimpor gula krisal mentah (raw
sugar) untuk keperluan bahan baku.
Impor
raw sugar juga terkesan kurang mempertimbangkan sisi daya serap pasar, yakni
kebutuhan gula rafinasi bagi industri makanan/minuman secara riil. Atmosfer
persaingan menjadi tidak sepadan mengingat kalau PG berbahan baku berniat
mengoptimalkan kapasitas dengan mengimpor raw
sugar diberlakukan ketentuan pembayaran bea masuk Rp 550 per kg.
Akibat
pertimbangan impor hanya kapasitas terpasang, bermunculan rembesan gula
rafinasi di pasar eceran yang seharusnya menjadi domain gula lokal. Kondisi ini
diperparah ketidakjelasan 350.000-400.000 ton pasar gula yang diklaim gula
rafinasi sebagai segmennya meskipun pada kenyataan faktual karena alasan jauh
lebih manis, industri kecil dan kegiatan pengolahan pangan kelas rumah tangga memilih
opsi gula lokal.
Harga
raw sugar yang sangat murah menjadi pemantik bagi sejumlah investor untuk
berlomba-lomba membangun industri gula rafinasi. Apalagi, besaran investasi
proyeknya juga jauh lebih kecil dbanding membangun PG lengkap dengan kebun tebunya.
Risiko yang ditanggung juga lebih kecil dibanding harus membangun kebun. Lokasi
industri gula rafinasi di tepi laut seirama dengan impor raw sugar secara curah
(bulk) sehingga sangat efisien dari
sisi transportasi.
Selama
atmosfer persaingan di antara kedua pelaku ekonomi gula berjalan pada kondisi
ketidakparelan, selama itu pula ancaman kekalahan berada pada pihak PG dan
petani tebu. Bagi petani tebu, exit dari agribisnis pergulaan dengan jalan tak
menanam tebu tidaklah terlalu sulit. Setiap saat mereka bisa saja beralih ke
komoditas lain yang nilai ekonominya jauh lebih prospektif dan umur hanya
kisaran 4 bulan. Tidak demikian halnya dengan PG yang pasti akan berantakan dan
menuju kehancuran kolosal bila petani tidak lagi memberikan dukungan berupa penyediaan
tebu.
Upaya
pembiaran masuknya gula rafinasi ke pasar eceran sekaligus rencana penggabungan
pasar berkedok bahwa hanya Indonesia yang memberlakukan dualisme pasar menjadi
bukti ketidakberpihakan terhadap PG dan petani. Disharmoni kebijakan sengaja
diciptakan dengan menganggap daya saing PG tidak compatible.
Harus diakui bahwa secara internal memang PG perlu
meningkatkan daya saing secara terstruktur dan berkelanjutan, baik pada level
budidaya (on farm) maupun pabrik (off farm), tetapi pada saat bersamaan
negara juga harus melakukan upaya harmonisasi kebijakan yang bermuara
terlindunginya pelaku ekonomi dari dampak liberalisasi perdagangan tidak fair.
Indonesia
tidak perlu latah mengadopsi doktrin merkantilisme dan liberalisasi gula selama
basis penguatan ekonomi domestik belum terlalu kuat. Menyerahkan gula pada
liberalisasi tanpa persiapan memadai sama artinya dengan masuk perangkap bunuh
diri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar