Jumat, 01 November 2013

Disharmoni Kebijakan Pergulaan Nasional

Disharmoni Kebijakan Pergulaan Nasional
Adig Suwandi ;   Praktisi Agribisnis, Pengurus Pusat Ikatan Ahli Gula Indonesia
SUARA KARYA, 31 Oktober 2013


Eksposisi hasil penggilingan tebu oleh 62 pabrik gula (PG) di seluruh Indonesia sekarang tampaknya mengulangi episode kurang bersahabatnya agoklimat. Perubahan iklim (climate change) yang ditandai hujan berkepanjangan hingga medio Agustus 2013, ditengarai menjadi penyebab rendemen 0,5-1,0 point lebih rendah dibanding 2012. Begitu hujan mereda, segera disusul kemarau ekstrim tetapi beda suhu antara siang dan malam tidak terlalu tajam.

Pembentukan gula melalui ativitas fotosintesis di daun yang melibatkan radiasi matahari mengalami gangguan, secara fisiologis memunculkan tumbuhnya tunas air (siwilan) pada batang tebu. Energi dari gula tidak lagi digunakan untuk sukrosa pembentuk rendemen, melainkan kelanjutan pertumbuhan vegetatif. Resultante atas semua gangguan pertumbuhan dan perkembangan agronomis berimplikasi terhadap turunnya produksi hingga 10-20 persen. Artinya, produksi gula tebu dipredikasi maksimal 2,3 juta ton dibaning tahun 2012 yang sudah mendekati swasembada 2,6 juta ton.

Derita petani makin sempurna menyusul tendensi turunnya harga gula selama masa giling ini. Di tengah ancaman murahnya harga global akibat keberhasilan panen sejumlah negara produsen utama dunia yang menjadikan harga lokal sulit terungkit, tingginya biaya produksi ditanggung membuat petani makin tidak berdaya. Hampir semua komponen biaya produksi, mulai sewa lahan, bibit, agroinputs, upah tenaga kerja panen hingga transportasi hasil, meroket. Bagi pemerintah harga gula petani sekitar Rp 9.000 masih dianggap wajar. Harga tinggi potensial menyulut inflasi naik tak terkendali.

Dengan alasan jumlah konsumen jauh lebih banyak dibanding petani produsen, pemerintah secara sengaja membiarkan harga patokan (floor price) gula tidak bergerak dari Rp 8.100 yang ditetapkan untuk kondisi 2012.

Kalkulasi aritmatika menunjukkan, petani hanya dapat menikmati profit wajar bila produksi mencapai minimal 8,5 ton gula per hektar. Secara individual kebun, produksi tersebut dapat diraih, tetapi secara keseluruhan masih jauh panggang dari api.

Satu-satunya senjata pamungkas yang masih dapat diinjeksikan adalah terbentuknya harga wajar. Dalam mekanisme pasar, harga tak lagi dapat dikendalikan pemerintah, melainkan fungsi penawaran dan permintaan. Instrumen yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengerem penawaran ekstrim berlebih hanyalah memberlakukan bea masuk secara fleksibel mengikuti harga dunia dan kurs serta pembatasan kuota impor secara ketat.

Kedodoran

Terkait instrumen dimaksud, agaknya pemerintah juga kedodoran. Terbukti, dengan alasan dalam taraf pengembangan dan menghasilkan produk berorientasi ekspor masih tersedia fasilitas keringanan bea masuk 0-5 persen bagi industri gula rafinasi saat mengimpor gula krisal mentah (raw sugar) untuk keperluan bahan baku.

Impor raw sugar juga terkesan kurang mempertimbangkan sisi daya serap pasar, yakni kebutuhan gula rafinasi bagi industri makanan/minuman secara riil. Atmosfer persaingan menjadi tidak sepadan mengingat kalau PG berbahan baku berniat mengoptimalkan kapasitas dengan mengimpor raw sugar diberlakukan ketentuan pembayaran bea masuk Rp 550 per kg.

Akibat pertimbangan impor hanya kapasitas terpasang, bermunculan rembesan gula rafinasi di pasar eceran yang seharusnya menjadi domain gula lokal. Kondisi ini diperparah ketidakjelasan 350.000-400.000 ton pasar gula yang diklaim gula rafinasi sebagai segmennya meskipun pada kenyataan faktual karena alasan jauh lebih manis, industri kecil dan kegiatan pengolahan pangan kelas rumah tangga memilih opsi gula lokal.

Harga raw sugar yang sangat murah menjadi pemantik bagi sejumlah investor untuk berlomba-lomba membangun industri gula rafinasi. Apalagi, besaran investasi proyeknya juga jauh lebih kecil dbanding membangun PG lengkap dengan kebun tebunya. Risiko yang ditanggung juga lebih kecil dibanding harus membangun kebun. Lokasi industri gula rafinasi di tepi laut seirama dengan impor raw sugar secara curah (bulk) sehingga sangat efisien dari sisi transportasi.

Selama atmosfer persaingan di antara kedua pelaku ekonomi gula berjalan pada kondisi ketidakparelan, selama itu pula ancaman kekalahan berada pada pihak PG dan petani tebu. Bagi petani tebu, exit dari agribisnis pergulaan dengan jalan tak menanam tebu tidaklah terlalu sulit. Setiap saat mereka bisa saja beralih ke komoditas lain yang nilai ekonominya jauh lebih prospektif dan umur hanya kisaran 4 bulan. Tidak demikian halnya dengan PG yang pasti akan berantakan dan menuju kehancuran kolosal bila petani tidak lagi memberikan dukungan berupa penyediaan tebu.

Upaya pembiaran masuknya gula rafinasi ke pasar eceran sekaligus rencana penggabungan pasar berkedok bahwa hanya Indonesia yang memberlakukan dualisme pasar menjadi bukti ketidakberpihakan terhadap PG dan petani. Disharmoni kebijakan sengaja diciptakan dengan menganggap daya saing PG tidak compatible.

Harus diakui bahwa secara internal memang PG perlu meningkatkan daya saing secara terstruktur dan berkelanjutan, baik pada level budidaya (on farm) maupun pabrik (off farm), tetapi pada saat bersamaan negara juga harus melakukan upaya harmonisasi kebijakan yang bermuara terlindunginya pelaku ekonomi dari dampak liberalisasi perdagangan tidak fair.


Indonesia tidak perlu latah mengadopsi doktrin merkantilisme dan liberalisasi gula selama basis penguatan ekonomi domestik belum terlalu kuat. Menyerahkan gula pada liberalisasi tanpa persiapan memadai sama artinya dengan masuk perangkap bunuh diri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar