Jumat, 01 November 2013

Menyoal Caleg Menteri Parpol

Menyoal Caleg Menteri Parpol
Ali Rif’an ;   Peneliti Politik Pol-Tracking Institute,
Mahasiswa Pascasarjana Stratejik Pengembangan Kepemimpinan UI
SUARA KARYA, 30 Oktober 2013


Kekhawatiran publik akan tersendatnya kinerja kabinet pemerintahan di tahun politik sekarang ini terus mengemuka. Sebab, saat ini terdapat 10 menteri yang masuk daftar caleg untuk Pemilu Legislatif 2014. Mereka adalah lima menteri dari Partai Demokrat, yakni Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Syariefuddin Hasan, Menteri Perhubungan EE Mangindaan, Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo, dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Jero Wacik.

Kemudian dua menteri dari PKS, yakni Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring dan Menteri Pertanian Suswono. Dua dari PKB yaitu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar dan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faishal Zaini. Terakhir satu menteri dari PAN yaitu Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.

Tentu saja, dengan masuknya para menteri partai politik (parpol) dalam bursa caleg, bisa dipastikan akan ada peran ganda saat mereka menjalankan tugas. Di satu sisi, mereka masih berposisi sebagai pembantu presiden yang harus menuntaskan agenda pemerintahan. Namun di sisi lain, mereka juga dituntut untuk melakukan kampanye ke dapil masing-masing dalam rangka menyongsong pemilu legistalif 2014.

Meski harus diakui bahwa kampanye ataupun sosialisasi yang dilakukan para menteri parpol tidaklah seperti caleg baru karena sudah memiliki modal popularitas, namun tetap saja konsentrasi mereka akan terpecah. Ibarat, "sambil menyelam sambil minum air", tidak menuntut kemungkinan mereka juga akan menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politik kampanye ataupun sosialisasi. Itulah yang menjadi kekhawatiran publik akhir-akhir ini.

Sebenarnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah berkali-kali memberi peringataan kepada para menterinya untuk fokus mengurusi pemerintahan. Senin (22/7) lalu, misalnya, Presiden kembali mengungkapkan keresahan akan kinerja para pembantunya itu. SBY tegas mengatakan bahwa kegiatan parpol tak boleh mengganggu tugas dan kepentingan negara. SBY bahkan mempersilakan mundur para menterinya yang ingin fokus ke politik.

Tentu peringatan dan ultimatum Presiden SBY kepada para menterinya itu patut diapresiasi meski di sisi lain kita juga patut bertanya-tanya tentang konsistensi Presiden. Sebab, justru lima dari menteri yang maju menjadi caleg itu berasal dari partai binaannya sendiri. Pertanyaannya, mampukah SBY menindak tegas terhadap kadernya sendiri? Sebab, jika SBY tak mampu bertindak tegas terhadap kader partainya, sama halnnya ia menelan ludah sendiri.

Karena itu, SBY perlu memberikan keteladanan dan menunjukkan sikap konsisten. Kalau perlu se-gera memecat para pembantunya yang mbalelo. Seorang Presiden memiliki kewenangan penuh untuk menentukan nasib menterinya apa-kah masih layak di kursi menteri atau tidak. Kewenangan Presiden tersebut tertera dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam pasal 24 dikatakan, menteri dapat diberhentikan, di antaranya karena tidak dapat melaksanakan tugas selama tiga bulan berturut-turut dan alasan lain yang ditetapkan presiden.

Karena itu, sudah saatnya paradigma seorang pemimpin atau pejabat publik itu dirubah. Artinya, kesuksesan seorang pejabat publik bukan karena lamanya ia menjabat, tapi bagaimana waktu yang singkat bisa menghasilkan kerja yang efektif. Memimpin sekali tapi berarti. Itu lebih baik daripada memimpin lama (apalagi) tidak berarti.

Sebab, yang terjadi di Republik ini, para pemimpin kerap berlomba-lomba memperpanjang jabatan ketimbang melakukan kerja-kerja yang efektif (berhasil guna) dan efisien (tepat guna). Jabatan digunakan untuk mengeruk pundi-pundi uang negara guna kepentingan pribadi dan kelompoknya (parpol). Memperpanjang jabatan kemudian menjadi upaya untuk dapat menikmati kue kekuasaan secara lama dan berkelanjutan. Kekuasaan diidentikan dengan tempat untuk menikmati kemewahan, bukan sebagai ajang pengabdian. Jabatan diposisikan sebagai arena untuk mendapatkan pelayanan dan perhatian rakyat, bukan tempat untuk melayani dan memperhatikan rakyat.

Tentu saja, jika mengacu pada teori kepemimpinan, ciri pemimpin efektif dan efisien adalah mereka yang mampu mengejawantahkan apa yang disebut akuntabilitas politik, bukan tribalisme politik. Menurut Fukuyama (2011), pemimpin atau pejabat publik yang mampu menjalankan kepemimpinan secara akuntabel ialah mereka yang dapat mempertanggungjawabkan kepada rakyat setiap kebijakan yang telah ditelurkannya. Mereka juga mampu mengutamakan kepentingan rakyat (publik) di atas kepentingan pribadi dan kelompok.

Sementara pemimpin tribalistik ialah seorang pemimpin yang lebih mementingkan citra dan lebih mengutamakan diri pribadi dan kelompoknya ketimbang kepentingan rakyat. Celakanya, untuk konteks Indonesia, kita lebih sering menjumpai model pemimpin yang kedua daripada yang pertama.
Karena itu, kita sangat berharap ke-10 menteri parpol tersebut benar-benar dapat memahami konsep kepemimpinan secara efektif dan efisien. Paradigma sekali memimpin tapi berarti agaknya harus dipegang oleh setiap pemimpin di setiap level di negeri ini. Kita tidak ingin para pemimpin dan elite politik terjebak pada konsep kepemimpinan tribalistik. Kita juga tidak ingin para pemimpin kita memiliki peran ganda dalam menjalankan roda pemerintahan.


Kepemimpinan yang efektif dan efisien sangat diperlukan karena selain bisa menghemat biaya negara dan menjadikan kerja pemerintahan lebih fokus sesuai yang ditargetkan. Juga, dapat memperlancar proses kaderisasi kepemimpinan nasional di segala jenjang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar