|
Indonesia
menekankan pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) serta pemberdayaan
perempuan menjadi fokus pembahasan pada KTT APEC di Bali. Mengapa UKM dan
perempuan menjadi fokus? Pemerintah meyakini saat terjadi krisis di negara
manapun, UKM selalu terbukti tangguh. Sementara dalam prakteknya, UKM selalu
melibatkan kaum perempuan, baik sebagai tenaga kerja maupun selaku pemilik
usaha. Pemerintah berharap terjadi peningkatan jumlah perempuan pengusaha
melalui model-model pemberdayaan.
Keberadaan
wanita di sektor UKM bersinggungan langsung dengan ekonomi keluarga. Perempuan
diharapkan menjadi sosok yang dapat penyelamatkan ekonomi keluarga saat terjadi
goncangan. Selama ini pemberdayaan ekonomi yang dilakukan berbagai lembaga
memang berangkat dari pandangan bahwa perempuan harus memiliki kemandirian
ekonomi untuk menyelamatkan perempuan itu sendiri, diantaranya dari berbagai
tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selain itu, upaya ini ditujukan
agar perempuan dapat memberikan kontribusi ekonomi kepada negara.
Atas
dasar inilah sasaran bantuan modal untuk usaha kecil ataupun menengah banyak
dialokasikan untuk kaum perempuan, misalnya yang dilakukan oleh Kementerian
Koperasi dan UKM, yang berkomitmen menggulirkan dana ratusan miliar kepada
ribuan pengusaha kecil perempuan, karena mereka memprediksikan keuntungan yang
akan didapat bisa mencapai 30 persen. Pemerintah daerah juga berbuat sama. Aceh
misalnya menggulirkan Rp 900 miliar dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak bekerjasama dengan UNICEF dan IWAPI.
LSM
juga berpartisipasi dalam program ini, seperti dilakukan oleh PEKKA (Perempuan
Kepala Keluarga) bekerjasama dengan Dove Sisterhood, menyalurkan dana sebanyak
Rp 100 juta untuk membantu 240 perempuan dalam modal usaha. Ormas-ormas juga
tak mau ketinggalan, misalnya yang dilakukan oleh Muslimat NU dalam program
life skill, dengan membentuk KUB (kelompok usaha bersama). Belum lagi prakarsa
PKK di kelurahan-kelurahan, membentuk LDK (lembaga Keswadayaan desa), dengan
melibatkan ibu-ibu kelompok yasinan, arisan, dan lain-lain. Intinya memang
marak program ini dilakukan secara bersama-sama oleh berbagai komponen
masyarakat.
Gelombang
pemberdayaan perempuan yang bertujuan agar perempuan bisa mandiri secara
ekonomi dilandasi anggapan bahwa gerakan ini dapat mengurangi kemiskinan
sekaligus menghapus atau paling tidak mengurangi angka kejadian kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT). Jika isteri berpenghasilan maka akan berkedudukan setara
dan suami tidak akan berani melakukan KDRT.
Betulkah
anggapan ini? Coba ditelisik. Seorang suami melakukan tindakan KDRT pada
umumnya karena dua hal. Pertama, ketidakpahaman suami akan hakikat keberadaan
dirinya dalam sebuah keluarga. Ada suami yang bersikap arogan dan sok memimpin
isterinya, yang ditunjukkan dengan sikap mengatur, menuntut, mau menang
sendiri, dan sebagainya. Istri salah sedikit, bisa terjadi pemukulan (KDRT).
Padahal
kalau suami memahami dirinya sebagai kepala rumah tangga berarti ia
bertanggungjawab tidak hanya masalah nafkah bagi keluarga, tapi juga dalam
masalah mendidik dan memberikan perlindungan serta keamanan bagi istri dan
anaknya. Tentu, suami tidak akan berlaku sewenang-wenang apalagi sampai
menyakiti fisik istrinya. Kedua, ketidakmatangan emosi laki-laki sehingga ia
sulit menahan emosi ketika ada sedikit saja kesalahan dari istri. Itu, terkait
bagaimana ia seharusnya memperlakukan istri dengan baik. Karena itu, secara
fakta, bisa terlihat perlakuan kasar yang dilakukan oleh suami tidak akan
hilang begitu saja kalau istrinya bekerja, punya penghasilan sendiri. Karena
selama kondisi laki-laki/suami tidak matang dalam berpikir dan bertindak, maka
kasus KDRT ini akan terus terjadi. Buktinya banyak juga wanita karir yang di
rumahnya diperlakukan kasar oleh suaminya yang tidak bertanggungjawab dan tidak
baik dalam memimpin rumah tangganya.
Data
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) mencatat,
dalam kasus kekerasan fisik, ternyata tidak hanya terjadi pada keluarga yang
kondisi ekonominya terbatas. Tetapi justru lebih banyak pada keluarga dengan
tingkat ekonomi mapan. Data lain menyebutkan terjadinya peningkatan angka gugat
cerai sebesar 62 % seiring maraknya program pemberdayaan ekonomi perempuan.
Karena
kesibukan istri dalam bekerja, suami merasa ditelantarkan dan kurang mendapat
perhatian. Atau, karena secara ekonomi sudah mandiri, perempuan/istri merasa
bahwa dirinya begitu berharga dalam keluarga karena dia mampu mandiri secara
ekonomi dan tidak tergantung pada penghasilan suami. Rasa hormat kepada suami
pun berkurang bahkan hilang. Ini rentan memicu konflik yang berujung KDRT.
Munculnya
beragam program pemberdayaan ekonomi perempuan juga menunjukkan adanya
pandangan bahwa peran perempuan di ranah domestik sebagai ibu rumah tangga
dianggap tidak produktif. Dalam pengertian, tidak berkolerasi secara langsung
terhadap pembangunan nasional, karena ukuran Indeks Pembangunan Nasional diukur
dari jumlah pendapatan masyarakat dibagi jumlah penduduk. Otomatis ibu-ibu yang
tidak berpenghasilan dianggap tidak berpartisipasi dalam menyumbangkan angka
ini. Peran domestik perempuan dianggap tidak bermakna dalam perekonomian.
Seorang ibu rumah tangga dianggap warga negara kelas dua. Faktor non materi
seperti cinta kasih, dedikasi dan kesetiaan tidak dimasukkan dalam teori
ekonomi.
Padahal
seorang ibu rumah tangga memiliki andil yang besar bagi perekonomian suatu
negara walaupun kontribusinya tidak langsung. Karena itu, perlu pelurusan cara
pandang terhadap peran perempuan di masyarakat/negara. Jangan hanya ekonomi,
tapi peran agung dan mulia sebagai sosol pendidik, dan pembina generasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar