|
Power tends to corrupt, Absolute power corrupts absolutely. (Lord Acton, 1834-1902)
MARAKNYA praktik penegakan hukum,
politik, dan berbagai praktik dalam tata kelola negara yang rakus, serakah, dan
korup senantiasa meniscayakan kredo Lord Acton tentang kekuasaan yang busuk.
Tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap awal Oktober lalu, dan
terungkapnya berbagai kasus korupsi lainnya baru-baru ini semakin mengabadikan
tesis Lord Acton di atas.
Sebuah tesis yang menegaskan bahwa
tindakan korupsi hanya mungkin dilakukan mereka yang punya kekuasaan. Kemungkinan
itu menjadi tidak terbantahkan jika kultur dan struktur sosial dan politik yang
korup mendukungnya. Realitas juga menunjukkan bahwa kultur dan struktur sosial
politik di negeri ini sungguh korup. Lihat, misalnya, Indonesia hingga kini
masih menjadi negara terdepan dalam barisan negara-negara korup di dunia.
Pertanyaan mendasar yang perlu
diadopsi adalah mengapa manusia melakukan tindakan korupsi yang jelas-jelas
mencelakakan dirinya? Apa motif dasar yang mendorong seseorang untuk bertindak
korup, bahkan hingga mengorupsi uang negara dalam jumlah yang sangat fantastis,
yang tentu saja memiliki risiko yang sangat tinggi? Bagaimana menjawabnya?
Hasrat nekrofilia
Jika pertanyaan di atas diajukan
kepada para filsuf seperti Thomas Hobbes, tentu kita akan memperoleh
jawabannya: karena manusia cenderung pada pemenuhan hasrat secara berkelanjutan
untuk memenuhi segala kepentingan dirinya yang tidak terbatas. Dengan pemenuhan
kebutuhan itu, manusia menjadi kurang tenang dalam kepuasan dan manusia selalu
merasa kurang.
Bahwasanya, objek hasrat seseorang
bukanlah semata menikmati sesuatu yang sifatnya pragmatis semata, melainkan
berkelanjutan untuk memenuhi hasrat kepuasan yang memang tidak terbatas. Dalam
bukunya yang terkenal, Leviathan, dituliskan bahwa kecenderungan umum manusia
adalah hasrat abadi dari d penguasaan yang satu menuju m penguasaan lainnya. Kecenderungan
itu hanya berhenti pada saat kematiannya.
Menurut Hobbes, manusia memiliki
kebebasan berpikir dan bertindak yang dilandasi oleh emosi dan hasrat diri
untuk mendapatkan sesuatu demi pemenuhan kebutuhan hidupnya kini dan akan
datang. Dalam landasan emosi itu terdapat guratan dan de nyut rasa cinta dan
benci. Dalam buku Leviathan itu, diuraikan bahwa sesuatu yang dikehendaki orang
adalah apa yang mereka cintai, sebaliknya sesuatu yang dibenci adalah apa yang
tidak dikehendakinya.
Oleh karena itulah, orang kemudian
berkesimpulan bahwa segala yang memenuhi hasrat kesenangan dipandang baik dan
segala yang memenuhi hasrat penderitaan di pandang tidak baik, bahkan buruk dan
jahat. Misalnya, miskin, bodoh, sengsara, lapar, sakit, tidak cantik, dihina,
itu buruk dan menakutkan sehingga perlu dijauhkan. Sebaliknya, kaya, pintar, kenyang,
cantik, ganteng, sehat, dipuji, itu baik dan nikmat sehingga perlu dikejar dan
diperjuangkan. Bila perlu dengan menempuh jalan yang tidak wajar untuk bisa
mendapatkannya.
Itulah yang kemudian terungkap juga
dalam tesis klasik filsuf Friederich Nietzsche, bahwa segala sesuatu menjadi
dasar dari naluri manusia yang tidak pernah padam dan/atau terhapus dari lahir
hingga matinya adalah mengejar segala kenikmatan hidup yang memenuhi selera dan
keinginan badani yang hedonistik. Salah satu kenikmatan yang selalu dikejar
oleh manusia adalah kenikmatan dalam mengecapi kekuasaan. Lihat, orang dengan
segala macam cara berusaha untuk meraih dan merengkuh serta mempertahankan
kekuasaan.
Maka, tidak mengherankan korupsi
dijalankan dengan cara yang bisa besar-besaran karena dianggap nikmat dan
menguntungkan, meski mereka harus berhadapan dengan risiko yang akan datang,
termasuk risiko penjara, bahkan kematian. Karena itu, korupsi dari satu dimensi
dikatakan sebagai orang yang memiliki hasrat atau cinta akan kematian-nekrofilia
(Erich Fromm). Tanda orang yang cinta akan kematian, yakni selalu terpesona
oleh kenikmatan hidup atau kepuasan hidup tanpa memedulikan bagaimana
memperoleh kenikmatan-kenikmatan itu. Misalnya, dengan jalan korupsi
besar-besaran tanpa memedulikan risiko yang ditanggung secara mental, psikis,
moral, ataupun fisik, jika tindakan korupsinya diketahui publik hingga digiring
mendekam di balik terali besi.
Nekrofilia adalah sebuah
penyimpangan orientasi hidup yang ingin menikmati segala sesuatu yang disediakan
dunia ini. Bersifat hedonistik. Berbeda dengan biofilia, yaitu mencintai
kehidupan, yang juga oleh Erich Fromm disebut dalam tulisannya, Creators and
Destroyers (1964).
Biofilia berarti, `Mencintai
kehidupan'. Inilah orientasi normal yang ada di antara orang-orang bermoral
yang selalu mempertimbangkan baikburuk dalam tindakan, seperti menghindari
perilaku korup. Insan biofilia selalu mencintai kehidupan sehingga selalu ingin
berbuat baik dan menjauhkan tindakan-tindakan yang kurang baik atau jahat, seperti
menghindari tindakan korupsi.
Membangun kesadaran
Oleh karena itu, tindakan solutif
kini adalah bagaimana mencegah perkembangan virus korupsi dan mengurangi
munculnya koruptor-koruptor baru. Banyak cara solutif yang bisa ditempuh,
tetapi satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara membangkitkan kesadaran
dalam diri pribadi publik tentang buruknya kepemilikan hasrat nekrofilia. Artinya,
tidak ada solusi jitu dan permanen bagi penyakit korupsi yang terus merajalela
dan kian mengganas ini. Yang dilakukan hanya pencegahan.
Dengan cara membangkitkan kesadaran
ini, terapi ala sang psikoanalis Sigmund Freud dapat dilakukan, yaitu dengan
cara mengembangkan ekspresi muak dan rasa jijik, menakutkan dalam diri para
koruptor. Menurut Freud, menyitir tulisan YK KA Jahija (2005), menekankan
keberhasilan terapi tidak berhenti pada tahu, tetapi ekspresi yang bila
ditransfer secara sosial berhasil dalam memerangi perilaku korupsi dan tidak
berhenti pada pengetahuan akan keburukan korupsi. Namun juga berlanjut pada
ekspresi muak terhadap korupsi. Ekspresi adalah kunci melepaskan diri dari
pengaruh dorongan korup yang dialami bawah sadar sang koruptor.
Selain itu, para agamawan pun perlu
menekankan `psikologi transpersonal': dengan menekankan pentingnya penerangan bawah
sadar yang dipahami secara baru dengan tidak hanya menyimpan pengalaman pahit,
tetapi juga mutiara yang mampu mengubah perilaku secara radikal. Banyak praktik
spiritualitas, seperti refleksi, kontemplasi, yoga, meditasi, tafakur, zikir,
dan lain-lain yang terbukti mampu menggiring orang kepada perilaku kebaikan dan
menjauhkan segala tindakan buruk yang merugikan diri, bahkan juga orang lain di
sekitarnya.
Dalam hal ini, pemerintah bukan
saja memperhatikan hukum positif dengan memikirkan bagaimana hukum
sekeraskerasnya diterapkan kepada para koruptor untuk mengurangi korupsi.
Melainkan perlu membangun kebijakan di sejumlah sektor, khususnya pendidikan,
agar membangkitkan kesadaran dan merangsang kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang
tidak merusak diri sendiri, seperti lewat tindakan korupsi, yang tentu akan
mencelakakan dirinya, bahkan ikut merusak moral masyarakat dan bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar