|
TATKALA
masyarakat Mesir memulai memasuki masa transisi politik, dari kediktatoran
menuju demokrasi, seiring dengan penumbangan kekuasaan otoriter Hosni Mubarak
oleh rakyat pada akhir Februari 2011, dunia berharap Negeri Piramida itu akan
mulus menjalani masa itu. Penyelenggaraan pemilu pertama setelah era Mubarak,
guna memilih anggota parlemen pada Juni 2011 yang dimenangi Partai Kebebasan
dan Keadilan (FJP), sayap politik Ikhwanul Muslimin (IM), awalnya dipandang
sebagai pertanda embrio kemulusan tersebut.
Namun,
tak lama setelah pemilu parlemen itu, bermunculan tantangan-tantangan riil,
yang membuat banyak kalangan mulai pesimistis akan kemulusan masa transisi
politik negara tersebut. Tantangan terberat berupa tarik-menarik kepentingan
ideologis, terutama antara kubu Islamis dan sekuler.
Kubus
Islamis menginginkan Mesir tampil menjadi negara berdasarkan syariat Islam.
Adapun kubu sekuler menghendaki tetap berpijak pada ideologi sebagaimana
diwariskan Gamal Abdul Nasser, serta diteruskan Anwar Sadat dan Mubarak. Sejak
itu, makin terlihat betapa terjal jalan menuju demokrasi.
Pemilihan
presiden dua putaran (pada Mei dan Juni 2012) yang dimenangi Mohammed Mursi
tidak memberi kontribusi apa pun untuk menengahi dua kubu yang berseberangan
tadi. Pasalnya, Mursi yang memang tokoh Ikhwanul Muslimin secara
terang-terangan mendukung 100% pemberlakuan syariat Islam dalam tata kelola
pemerintahan.
Kepentingan Ideologis
Kedua
kubu berseberangan memang kerap berunding tetapi senyatanya tidak pernah
mencapai titik temu, terutama terkait tarik-menarik kepentingan ideologis itu.
Referendum pun digelar pertengahan Desember 2012 guna mengatasi masalah
tersebut. Tapi kubu sekuler yang kalah, tidak ikhlas menerima realitas itu dan
tak pernah bosan mengerahkan massa pendukung menuntut Mursi lengser dari kursi
kepresidenan, yang membuat suhu politik tak pernah dingin.
Berangkat
dari keadaan seperti itulah, Panglima Militer Jenderal Abdel Fatah el-Sissi
memutuskan mengudeta Presiden Mursi (03/07/13) dan menahannya di tempat yang
sampai hari ini masih dirahasiakan. Tentu Sissi berharap situasi domestik bisa
stabil setelah dia melakukan tindakan kontrademokrasi itu.
Tetapi
harapan itu ternyata meleset mengingat situasi domestik Mesir di bawah
pemerintahan interim pimpinan Presiden Adly Mansour malah menjadi semakin
runyam lantaran pendukung Mursi tidak hanya melawan dengan kerap mengerahkan
massa dalam jumlah besar memprotes kudeta yang dilancarkan el-Sissi dan
menuntut pemulihan jabatan Presiden Mursi, tapi juga sering menyerang kaum
Nasrani.
Serangan
terbaru terjadi pada 20 Oktober lalu atas sebuah Gereja Kristen Koptik di
Kairo, menewaskan tiga orang dan melukai 12 lainnya. Perdana Menteri (interim)
Hazem el-Beblawi mengecam keras serangan tersebut. Kaum Nasrani menjadi sasaran
serangan pendukung Mursi karena mereka dianggap mendukung militer mengudeta
Presiden Mursi.
Akan
sanggupkah masyarakat Mesir bangkit dan mulai kembali meniti jalan demokrasi
yang kelewat terjal tersebut? Sejauh ini belum ada indikasi rakyat sanggup
bangkit dan mulai kembali meniti jalan demokrasi negerinya yang teramat terjal
itu. Dua kubu yang berseberangan itu sama-sama cenderung memilih tindakan
kontrademokrasi dalam memperjuangkan kepentingan politik masing-masing.
Di
pihak Mursi, para pendukung menyerang kalangan sekuler, termasuk umat
Kristiani. Pihak pemerintahan Mansour yang sekuler dan didukung penuh militer
pun melakukan tindakan represif dengan menangkapi aktivis Ikhwanul Muslimin.
Hingga kini tidak kurang 2.000 aktivis Ikhwanul ditangkap dan ditahan.
Pemerintah
Amerika Serikat (AS) merespons serius represivitas pemerintah Mesir itu dengan
mengancam menghentikan pemberian bantuan rutin senilai 1,5 miliar dolar per
tahun. Jika Washington konsisten dengan ancamannya, Mesir bakal kehilangan
sumber devisa penting yang sudah berlangsung sejak 1979 itu.
Akibat
selanjutnya, Presiden Mansour bisa kalang kabut untuk membiayai operasional
pemerintahannya yang akan berlangsung sampai pemilihan umum (pemilu) baru
digelar awal 2014. Keadaan itu dikhawatirkan makin memperparah krisis multidimensi
dan pada gilirannya menguatkan kekhawatiran akan ketidaksanggupan masyarakat
negara itu untuk mulai bangkit kembali meniti jalan demokrasi yang sangat
terjal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar