Pertengahan
November ini Dewan Gubernur BI mengumumkan lagi kenaikan BI Rate sebesar 25
basis poin menjadi 7,5%. Terhitung sejak Juni 2013 BI Rate sudah meningkat
sebesar 175 basis poin atau 1,75%.
Langkah tersebut dilakukan untuk mengendalikan hubungan ekonomi luar negeri
kita yang terlihat dari defisit neraca berjalan dan defisit neraca
pembayaran. Defisit neraca berjalan disebabkan oleh konsumsi baik migas dan
nonmigas yang terus meningkat. Angka defisit neraca pembayaran dibanding
angka neraca berjalan terlihat lebih rendah yaitu USD9,8 dan USD2,5 miliar
selama triwulan II/2013. Ini artinya bahwa terdapat modal asing yang masuk.
Modal asing yang masuk dapat dirinci menjadi dua kelompok yaitu penanaman
modal langsung berupa pendirian usaha bisnis dan penanaman pada portofolio,
terutama untuk membeli obligasi dan saham.
Misalnya, pada triwulan ketiga tercatat surplus USD3,3 miliar penanaman
modal langsung di sektor ritel dan USD2,5 miliar dolar ditanam dalam
portofolio. Kita selalu mengandalkan masuknya modal asing untuk menutup
defisit neraca berjalan. Apa interpretasi sederhana dari perilaku kita
sebagai bangsa tidak lain adalah menutup perilaku konsumtif misalnya
membeli BBM untuk dibakar, mobil pribadi murah, dan barang konsumsi lain
seperti konsumsi gagdet canggih yang mengenakkan hidup, dengan jalan menggadaikan
tanah untuk perkebunan, tambang dan hasilnya, kayu dan hasil hutan, serta
kekayaan laut.
Konsumsi kita akan kenikmatan hidup dan lifestyle tercermin pada defisit
transaksi berjalan, dan cara kita menggadaikan aset produktif kepada luar
negeri tercermin dari surplus neraca modal yang berarti masuknya modal
asing baik berupa penanaman langsung maupun dalam bentuk pembelian saham
dan pinjaman asing melalui penjualan obligasi. Cara hidup kita menyimpang
dari kearifan bangsa yaitu sederhananya seperti perilaku anak durhaka yang
pekerjaannya menggadaikan aset untuk hidup hura-hura.
Ini harus dipecahkan dengan cara yang mendasar dan bukan hanya dengan
kebijakan sementara. Namun, kebijakan sementara diperlukan supaya tekanan
bisa mereda dan kita bisa menata kembali kekurangan mendasarnya. Kenaikan
BI Rate bertujuan jangka pendek terutama untuk menurunkan laju inflasi
berdampak restriktif terhadap permintaan umum dan sekaligus menurunkan
defisit neraca luar negeri.
Namun, kenaikan suku bunga ini berdurasi jangka pendek karena ini
bertentangan dengan tujuan ekonomi utama yaitu meningkatkan jumlah produksi
nasional dengan jalan memperbanyak usaha baru dan mendorong ekspansi usaha
yang sudah ada. Tujuan utama lain yang sangat serius adalah menurunkan
angka pengangguran dan setengah pengangguran. BI Rate yang tinggi mendorong
naik suku bunga umum perbankan dan sekaligus menurunkan level investasi.
Rencana-rencana bisnis dengan keuntungan marginal akan dibatalkan karena
kelayakannya dibandingkan dengan suku bunga menjadi berkurang walaupun
bisnis tersebut tidak di biayai dari bank.
Pentingnya
Pertumbuhan Ekonomi
Penentangan terhadap kebijakan yang propertumbuhan ekonomi tidaklah
ditujukan untuk memperlambat ekonomi, tapi kepada untuk apa dan untuk siapa
hasil dari pertumbuhan ekonomi tersebut. Dengan demikian, yang dipersoalkan
adalah kegunaan dari tambahan produksi nasional terutama siapa yang
menikmatinya. Sepanjang pertumbuhan ekonomi dicapai dengan membuka lapangan
kerja baru, itu sangat bermanfaat bagi rakyat kebanyakan.
Pertumbuhan ekonomi bertujuan mempertahankan tingkat kesejahteraan per
kapita untuk mengimbangi bertambahnya penduduk terutama usia muda, bahkan
meningkatkan pendapatan per kapita seluruhnya. Tujuan lain dari pertumbuhan
ekonomi yang berbentuk usaha baru dan ekspansi usaha yang sudah ada adalah
penyediaan lapangan kerja bagi generasi muda. Yang terakhir ini sangat
penting karena lulusan sekolah baik menengah umum maupun kejuruan yang siap
bekerja makin besar.
Lulusan perguruan tinggi juga makin besar yang menginginkan lapangan kerja
yang lebih berkualitas. Dengan demikian, rakyat mengharapkan bukan saja
kuantitas lapangan pekerjaan, melainkan juga kualitas lapangan pekerjaan
yang ada. Generasi yang makin terdidik tersebut menginginkan pekerjaan yang
lebih menantang dan penerapan teknologi yang makin tinggi. Beberapa dekade
lalu terdapat perdebatan siapa yang tumbuh, apakah industri yang padat
tenaga kerja atau industri yang padat kapital.
Perdebatan seperti ini menghilang sendiri karena kenyataan bahwa terdapat
tenaga-tenaga terdidik yang mengharapkan ada industri dengan penggunaan
level teknologi yang lebih tinggi. Untuk kasus yang lebih ekstrem, yaitu
indikasi terjadi ketimpangan yang makin tinggi akhir-akhir ini, bisa
diterima dengan berpikir lebih positif bahwa hanya dengan perusahaan yang
makin kaya saja pengembangan produk dengan teknologi makin tinggi
diharapkan terjadi. Dengan kata lain, generasi yang makin baik
pendidikannya yang menghendaki ada perusahaan yang makin tinggi teknologinya,
juga menghendaki ada pengusaha yang memperoleh laba yang besar dan memiliki
kemampuan untuk mencoba menerapkan teknologi tinggi. Kecemburuan kepada si
kaya sebenarnya tidak perlu terjadi dengan alasan bahwa kemampuan
mengonsumsi manusia ternyata terbatas. Justru dengan menjadi sangat kaya
modal akan otomatis disosialkan. Jika kita memiliki 100 perusahaan kita
tidak akan mampu mengurusnya dan akan kita angkat direktur-direktur dan
para pekerja secara objektif dan mungkin perusahaan tersebut praktis akan
menjadi bersifat sosial.
Perusahaan modern akan berbasis testdan merit systemdalam karier dan hal
tersebut mendorong modal menjadi bersifat sosial. Di sisi pasar, generasi
kita juga memiliki intensitas konsumsi yang makin tinggi. Dengan kata lain,
bukan konsumsi rakyat akan barang berteknologi tinggi yang harus
diturunkan, melainkan kemampuan memproduksi pada industri tinggi di dalam
negeri yang harus ditingkatkan. Di bidang industri pengolahan ini meliputi
antara lain kelompok elektronika, informasi, komunikasi, dan komputer serta
industri transportasi, kendaraan roda dua, roda empat, kapal, dan bahkan
industri pesawat.
Dengan absennya pemerintah untuk memproduksi langsung barang-barang ini,
hanya swasta besar dan yang menikmati laba jangka panjang memungkinkan
memulai dan memulai kembali industri tinggi tersebut. Pemerintah dengan
APBN dan APBD-nya diharapkan menjadi motor pembeli barang-barang tersebut
supaya industri tinggi tersebut dapat bernafas dan dapat belajar
memperbaiki kualitasnya. Kebijakan moneter seperti BI Rate adalah obat
pereda sementara, pada jangka panjang hanya melalui peningkatan kemampuan
industri dalam negeri untuk memenuhi dahaga konsumsi rakyat yang makin
tinggi yang akan menyeimbangkan defisit neraca berjalan.
Tanpa peningkatan kemampuan industri tinggi defisit itu akan kita bayar
dengan konsesikonsesi yang menggerus fundamen ekonomi kita. Kebijakan suku
bunga tinggi dalam jangka panjang atau jangka pendek yang diulang- ulang
akan mendorong perubahan dari bangsa pembuat menjadi bangsa pedagang. Hanya
sektor perdagangan yang dapat menutup suku bunga tinggi, di mana pengusaha
akan beralih untuk menjadi pengimpor daripada menjadi produsen nasional.
Itu akan memperparah hubungan ekonomi kita menjadi ekonomi yang tergantung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar