Rabu, 20 November 2013

Sistem Pembayaran Perdagangan Bebas APEC

Sistem Pembayaran Perdagangan Bebas APEC
Achmad Deni Daruri  ;   President Director Center for Banking Crisis
KORAN SINDO,  20 November 2013



Tidak hadirnya Obama dalam pertemuan APEC yang baru lalu bukan hanya patut dipuji, melainkan juga meyakini kita semua bahwa sistem pembayaran APEC masih bergantung kepada bank sentral Amerika Serikat. 

Sehebathebatnya pertumbuhan ekonomi China dalam sepuluh tahun terakhir, masih memperlihatkan bahwa bank sentral China belum mampu mengganti peran bank sentral Amerika Serikat dalam menjamin likuiditas sistem pembayaran dunia sampai saat ini. Di pihak lain, ketidakhadiran Obama memperlihatkan kualitas kepemimpinan Obama yang jauh di atas pemimpin negara-negara APEC yang bertemu di Bali yang lalu, 

di mana Obama dengan jitu memutuskan untuk tidak berangkat ke Bali untuk menyelesaikan persoalandidalamnegerinyayang jika tidak diurus dengan baik akan berdampakkepada sistempembayaran dunia. Terbukti, Presiden Putin juga memuji keputusan Obama tersebut. Sejarah juga mencatat bahwa akhirnya pemerintah Amerika Serikat dapat menghindari defaultdalam surat berharga pemerintah mereka yang berpotensi sangat besar untuk menghancurkan sistem pembayaran perekonomian dunia. 

Pertemuan APEC yang baru lalu sebetulnya hanya basa-basi politik, sebab tidak ada keputusan dalam menciptakan cetak biru sistem pembayaran bersama antarnegara anggota APEC, karena APEC tak pernah sepakat dengan dominasi sistem pembayaran China sebagai tonggak utama sistem pembayaran APEC. Tak heran Singapura segera membuat perjanjian khusus dengan China untuk mengadopsi sistem pembayaran China, karena APEC tak jelas arah tujuannya. 

Sementara itu, fakta memperlihatkan bahwa mata uang negara Asia melakukan pegging terhadap Reminbi, sementara sistem pembayaran masih didikte oleh Amerika Serikat. Dikotomi ini seiring dengan paradigma situasi makroekonomi yang terus berubah, khususnya ketika nilai tukar mata uang beralih dari nilai tukar mengambang ke nilai tukar tetap. Tetapnya nilai tukar dapat bervariasi dari nilai tukar dengan kesatuan yang tidak dapat ditarik kembali, seperti dalam zona euro, melalui dolarisasi, seperti di Panama dan sekarang di Ekuador, melalui rezim Dewan Mata Uang, seperti di Argentina, Estonia, dan Hong Kong. 

Dalam beberapa kasus kekuasaan Bank Sentral untuk mengontrol kebijakan moneter makroekonomi tereduksi, seperti dalam konteks bank sentral Eropa di mana Mario Draghi baru saja menurunkan tingkat suku bunga karena kebijakan austerity yang menyebabkan kebijakan fiskal di Eropa menjadi mati. Bank Sentral berpotensi kehilangan peran makroekonomi mereka jika tidak berpegang pada tanggung jawab mereka yang lain, seperti khususnya untuk pengawasan sistem pembayaran maka risiko sistemik akan semakin sulit untuk ditanggulangi. Untuk itu, perlu ada lembaga lain yang bertanggung jawab. 
Tentunya, seorang radikal mungkin bertanya apakah, tanpa fungsi pengawasan sistem pembayaran, mereka benar-benar akan dibutuhkan di masa depan. Tetapi dengan bukti yang sama Bank Sentral, misalnya Bank Sentral Eropa (ECB) atau Federal Reserve, memiliki kemampuan dalam menciptakan uang dan mungkin melakukan fungsi lender of last resort (LOLR), tetapi masalah itu tetap ada untuk bank-bank sentral nasional (NCBs) di Eropa. Mereka memiliki kekuatan yang kurang independen untuk menjaga stabilitas keuangan. 

Kemampuan otoritas moneter di beberapa keadaan dalam melakukan intervensi mungkin lebih tergantung pada kemampuan fiskal Departemen Keuangan untuk membuat euro/ dolar yang tersedia untuk intervensi finansial, daripada kemampuan Bank Sentral untuk mengambil pinjaman pada neracanya sendiri. Dalam keadaan seperti itu, LOLR menjadi lebih sebagai ukuran fiskal daripada tindakan moneter. 

Jadi, pertanyaan tentang peran Bank Sentral akan sangat bergantung pada hubungannya dengan otoritas fiskal yang relevan dalam mengejar stabilitas keuangan. Perhatian seperti itu dapat dipenuhi (minimal) dengan persetujuan kode tata kelola kelembagaan, atau prinsip-prinsip, dari perilaku yang baik dalam bidang ini. Kode tersebut telah tumbuh dan berkembang dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan adanya quantitative easing. 

Di luar kode, akan ada kesepakatan pada standar minimum, baik di tingkat regional, seperti dalam Instruksi Masyarakat Eropa, atau secara global, seperti dalam Persetujuan Basel pada aturan Kecukupan Modal. Inilah yang luput dibahas dalam pertemuan APEC yang lalu itu. Mungkin karena memang sulit sehingga APEC tidak membahas akan pentingnya sanksi, khususnya sebagai bagian akan masalah bagaimana memonitor pengawasan (perbankan) dan regulasi negara, karena suatu masalah penting dalam krisis keuangan di satu negara mungkin telah menularkan efek sampingan pada negara lain. 

Ada ide bahwa pemantauan internasional yang seperti itu dapat dilakukan oleh satu, atau beberapa lembaga internasional lainnya, atau kombinasi dari lembaga keuangan internasional, misalnya BIS, IBRD, IMF, atau, mungkin, oleh sebuah ”perguruan tinggi” dari regulator nasional, yaitu swa-regulasi untuk regulator. Namun, pertanyaan ‘Quis custodiet ipsos custodes’ sebagian besar tetap tidak terjawab. Salah satu argumen terhadap pengawas terpadu yang kadang-kadang terdengar adalah bahwa ini akan mencegah kompetisi di antara metode pengawasan. 

Alan Greenspan (1994) dan memorandum yang menyertai Dewan Gubernur (1994) berpendapat bahwa regulator tunggal tingkat mikro, tanpa tanggung jawab makroekonomi, akan lebih mungkin untuk mengatur secara berlebihan dan untuk meredam inovasi dan pengambilan risiko. Akan tetapi, bentuk divisi pengawasan yang biasanya tergambar di sebagian besar negara masih akan meninggalkan berbagai cakupan pengawasan keuangan yang bersifat monopoli. Inilah kegagalan Greenspan yang akhirnya menyebabkan krisis perbankan maha dahsyat di Amerika Serikat. 

Greenspan berupaya cuci tangan dengan menerbitkan buku baru-baru ini. Namun, bagaimanapun Greenspan telah gagal menciptakan sistem pembayaran yang aman di Amerika Serikat. Hal itu justru tidak dibahas oleh Greenspan dalam buku terbarunya itu. Selain itu, dalam semua, ekonomi kecil yang terbuka (yaitu hampir di mana-mana kecuali USA dan mungkin Jepang), persaingan yang relevan berkenaan dengan prosedur pengawasan sistem pembayaran bersifat internasional. Pada pandangan yang lain kelemahan Alan Greenspan adalah dalam konteks mengabaikan harmonisasi peraturan hukum internasional dan prosedur pengawasan sistem pembayaran. 

Greenspan menjadikan ekonometrika sebagai kambing hitam dari krisis sistem pembayaran. Ia menyederhanakan masalah yang ada, karena untuk menyepakati kode tata kelola perusahaan akan lebih sulit apalagi untuk memantau dan menerapkan sanksi untuk pelanggaran. Namun, sanksi internasional memang harus ada. Seharusnya APEC menjadi pilot project dari perbaikan sistem pembayaran dunia yang telah dirusak oleh pemikiran Alan Greenspan dengan melakukan eksperimen untuk negara-negara anggota APEC terlebih dahulu, 

dengan merupakan peraturan yang homogen misalnya Dodd and Frank. Sungguh sayang pertemuan APEC yang lalu hanya diisi oleh aspek yang tidak menyentuh perbaikan dalam pengawasan sistem pembayaran di masa depan secara terpadu, sehingga opportunity cost dari ketidakhadiran Obama memang tidak mahal. Obama memang brilian karena sudah bisa membaca hasil dari pertemuan APEC di Bali sebelum pertemuan itu dilakukan! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar