Tidak
hadirnya Obama dalam pertemuan APEC yang baru lalu bukan hanya patut
dipuji, melainkan juga meyakini kita semua bahwa sistem pembayaran APEC
masih bergantung kepada bank sentral Amerika Serikat.
Sehebathebatnya pertumbuhan ekonomi China dalam sepuluh tahun terakhir,
masih memperlihatkan bahwa bank sentral China belum mampu mengganti peran
bank sentral Amerika Serikat dalam menjamin likuiditas sistem pembayaran
dunia sampai saat ini. Di pihak lain, ketidakhadiran Obama memperlihatkan
kualitas kepemimpinan Obama yang jauh di atas pemimpin negara-negara APEC
yang bertemu di Bali yang lalu,
di mana Obama dengan jitu memutuskan untuk tidak berangkat ke Bali untuk
menyelesaikan persoalandidalamnegerinyayang jika tidak diurus dengan baik
akan berdampakkepada sistempembayaran dunia. Terbukti, Presiden Putin juga
memuji keputusan Obama tersebut. Sejarah juga mencatat bahwa akhirnya
pemerintah Amerika Serikat dapat menghindari defaultdalam surat berharga
pemerintah mereka yang berpotensi sangat besar untuk menghancurkan sistem
pembayaran perekonomian dunia.
Pertemuan APEC yang baru lalu sebetulnya hanya basa-basi politik, sebab
tidak ada keputusan dalam menciptakan cetak biru sistem pembayaran bersama
antarnegara anggota APEC, karena APEC tak pernah sepakat dengan dominasi
sistem pembayaran China sebagai tonggak utama sistem pembayaran APEC. Tak
heran Singapura segera membuat perjanjian khusus dengan China untuk
mengadopsi sistem pembayaran China, karena APEC tak jelas arah tujuannya.
Sementara itu, fakta memperlihatkan bahwa mata uang negara Asia melakukan
pegging terhadap Reminbi, sementara sistem pembayaran masih didikte oleh
Amerika Serikat. Dikotomi ini seiring dengan paradigma situasi makroekonomi
yang terus berubah, khususnya ketika nilai tukar mata uang beralih dari
nilai tukar mengambang ke nilai tukar tetap. Tetapnya nilai tukar dapat
bervariasi dari nilai tukar dengan kesatuan yang tidak dapat ditarik
kembali, seperti dalam zona euro, melalui dolarisasi, seperti di Panama dan
sekarang di Ekuador, melalui rezim Dewan Mata Uang, seperti di Argentina,
Estonia, dan Hong Kong.
Dalam beberapa kasus kekuasaan Bank Sentral untuk mengontrol kebijakan
moneter makroekonomi tereduksi, seperti dalam konteks bank sentral Eropa di
mana Mario Draghi baru saja menurunkan tingkat suku bunga karena kebijakan
austerity yang menyebabkan kebijakan fiskal di Eropa menjadi mati. Bank
Sentral berpotensi kehilangan peran makroekonomi mereka jika tidak
berpegang pada tanggung jawab mereka yang lain, seperti khususnya untuk
pengawasan sistem pembayaran maka risiko sistemik akan semakin sulit untuk
ditanggulangi. Untuk itu, perlu ada lembaga lain yang bertanggung jawab.
Tentunya,
seorang radikal mungkin bertanya apakah, tanpa fungsi pengawasan sistem
pembayaran, mereka benar-benar akan dibutuhkan di masa depan. Tetapi dengan
bukti yang sama Bank Sentral, misalnya Bank Sentral Eropa (ECB) atau
Federal Reserve, memiliki kemampuan dalam menciptakan uang dan mungkin
melakukan fungsi lender of last resort (LOLR), tetapi masalah itu tetap ada
untuk bank-bank sentral nasional (NCBs) di Eropa. Mereka memiliki kekuatan
yang kurang independen untuk menjaga stabilitas keuangan.
Kemampuan otoritas moneter di beberapa keadaan dalam melakukan intervensi
mungkin lebih tergantung pada kemampuan fiskal Departemen Keuangan untuk
membuat euro/ dolar yang tersedia untuk intervensi finansial, daripada
kemampuan Bank Sentral untuk mengambil pinjaman pada neracanya sendiri.
Dalam keadaan seperti itu, LOLR menjadi lebih sebagai ukuran fiskal
daripada tindakan moneter.
Jadi, pertanyaan tentang peran Bank Sentral akan sangat bergantung pada
hubungannya dengan otoritas fiskal yang relevan dalam mengejar stabilitas
keuangan. Perhatian seperti itu dapat dipenuhi (minimal) dengan persetujuan
kode tata kelola kelembagaan, atau prinsip-prinsip, dari perilaku yang baik
dalam bidang ini. Kode tersebut telah tumbuh dan berkembang dalam beberapa
tahun terakhir seiring dengan adanya quantitative
easing.
Di luar kode, akan ada kesepakatan pada standar minimum, baik di tingkat regional,
seperti dalam Instruksi Masyarakat Eropa, atau secara global, seperti dalam
Persetujuan Basel pada aturan Kecukupan Modal. Inilah yang luput dibahas
dalam pertemuan APEC yang lalu itu. Mungkin karena memang sulit sehingga
APEC tidak membahas akan pentingnya sanksi, khususnya sebagai bagian akan
masalah bagaimana memonitor pengawasan (perbankan) dan regulasi negara,
karena suatu masalah penting dalam krisis keuangan di satu negara mungkin
telah menularkan efek sampingan pada negara lain.
Ada ide bahwa pemantauan internasional yang seperti itu dapat dilakukan
oleh satu, atau beberapa lembaga internasional lainnya, atau kombinasi dari
lembaga keuangan internasional, misalnya BIS, IBRD, IMF, atau, mungkin,
oleh sebuah ”perguruan tinggi” dari regulator nasional, yaitu swa-regulasi
untuk regulator. Namun, pertanyaan ‘Quis
custodiet ipsos custodes’ sebagian besar tetap tidak terjawab. Salah
satu argumen terhadap pengawas terpadu yang kadang-kadang terdengar adalah
bahwa ini akan mencegah kompetisi di antara metode pengawasan.
Alan Greenspan (1994) dan memorandum yang menyertai Dewan Gubernur (1994)
berpendapat bahwa regulator tunggal tingkat mikro, tanpa tanggung jawab
makroekonomi, akan lebih mungkin untuk mengatur secara berlebihan dan untuk
meredam inovasi dan pengambilan risiko. Akan tetapi, bentuk divisi
pengawasan yang biasanya tergambar di sebagian besar negara masih akan
meninggalkan berbagai cakupan pengawasan keuangan yang bersifat monopoli.
Inilah kegagalan Greenspan yang akhirnya menyebabkan krisis perbankan maha
dahsyat di Amerika Serikat.
Greenspan berupaya cuci tangan dengan menerbitkan buku baru-baru ini.
Namun, bagaimanapun Greenspan telah gagal menciptakan sistem pembayaran
yang aman di Amerika Serikat. Hal itu justru tidak dibahas oleh Greenspan
dalam buku terbarunya itu. Selain itu, dalam semua, ekonomi kecil yang terbuka
(yaitu hampir di mana-mana kecuali USA dan mungkin Jepang), persaingan yang
relevan berkenaan dengan prosedur pengawasan sistem pembayaran bersifat
internasional. Pada pandangan yang lain kelemahan Alan Greenspan adalah
dalam konteks mengabaikan harmonisasi peraturan hukum internasional dan
prosedur pengawasan sistem pembayaran.
Greenspan menjadikan ekonometrika sebagai kambing hitam dari krisis sistem
pembayaran. Ia menyederhanakan masalah yang ada, karena untuk menyepakati
kode tata kelola perusahaan akan lebih sulit apalagi untuk memantau dan
menerapkan sanksi untuk pelanggaran. Namun, sanksi internasional memang
harus ada. Seharusnya APEC menjadi pilot project dari perbaikan sistem pembayaran
dunia yang telah dirusak oleh pemikiran Alan Greenspan dengan melakukan
eksperimen untuk negara-negara anggota APEC terlebih dahulu,
dengan merupakan peraturan yang homogen misalnya Dodd and Frank. Sungguh
sayang pertemuan APEC yang lalu hanya diisi oleh aspek yang tidak menyentuh
perbaikan dalam pengawasan sistem pembayaran di masa depan secara terpadu,
sehingga opportunity cost dari
ketidakhadiran Obama memang tidak mahal. Obama memang brilian karena sudah
bisa membaca hasil dari pertemuan APEC di Bali sebelum pertemuan itu
dilakukan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar