Korupsi
dan Negara Gagal
Roby Arya Brata ; Analis
Antikorupsi, Hukum, dan Kebijakan
KORAN
TEMPO, 06 Agustus 2012
Akhir-akhir ini para politikus
dan pakar ilmu politik ramai memperdebatkan pengertian negara gagal (failed state). Bilamana dan dalam kondisi
bagaimanakah suatu negara disebut gagal? Apakah Indonesia dapat dikategorikan
sebagai negara gagal? Lalu, sejauh manakah peran korupsi dalam menyebabkan
negara gagal? Tulisan ini membahas perdebatan mengenai definisi negara gagal.
Selanjutnya, peran korupsi dalam mendistorsi proses-proses politik, ekonomi,
birokrasi, dan penegakan hukum dianalisis untuk menjelaskan kontribusinya pada
terwujudnya negara gagal.
Para ilmuwan politik berbeda
pendapat tentang pengertian negara gagal. Tidak ada definisi yang jelas,
koheren, dan universal mengenai konsep itu. Bahkan, William Easterly dan Laura
Freschi (2010) menyebutnya sebagai konsep yang gagal, sensasional, dan hanya
melayani tujuan kebijakan negara-negara Barat untuk mengintervensi negara lain.
Tapi kita memerlukan konsep itu
untuk menguji sejauh manakah suatu negara telah berhasil atau gagal mencapai
tujuan pembentukannya. Secara umum, negara gagal adalah negara yang
dipersepsikan gagal dalam memenuhi kebutuhan dan tanggung jawab dasar dari
suatu pemerintahan yang berdaulat. Misalnya, negara itu tidak berdaya untuk
menjalankan apa yang disebut Max Weber "monopoli kekuasaan yang sah untuk
menggunakan kekerasan fisik" demi menciptakan ketertiban dan keamanan.
Crisis States Research Centre dari London School of Economics and Political
Science mendefinisikan negara gagal sebagai kondisi "negara yang
ambruk" (state collapse), yaitu
negara yang tidak dapat lagi melakukan fungsi dasar pembangunan dan keamanannya
dan tidak mampu secara efektif mengawasi wilayah kedaulatannya.
Sering kali negara gagal
digambarkan sebagai negara yang gagal dalam menjalankan fungsi ekonomi,
politik, dan sosialnya. Menurut Fund for
Peace, organisasi think-tank di
Amerika Serikat, ciri-ciri umum negara gagal di antaranya ketidakberdayaan
pemerintah pusat dalam mengontrol wilayahnya, kegagalan untuk menyediakan
pelayanan publik, kejahatan dan korupsi yang meluas, pengungsian dan pemindahan
paksa penduduk, dan kemerosotan ekonomi yang tajam.
Sebenarnya pengertian negara
gagal dapat dianalisis dari teori kontrak sosial (social contract) John Locke (1689) dan Jean-Jacques Rousseau
(1762). Argumentasi kontrak sosial menyatakan rakyat (the governed) sepakat menyerahkan sebagian kebebasannya kepada
otoritas pemerintah (the ruler)
sebagai imbalan bagi perlindungan hak-hak alamiah dan hukum rakyat. Dalam
konteks Indonesia, UUD 1945 sebenarnya merupakan dokumen konstitusional sebagai
perwujudan kontrak sosial antara negara, yang diwakili pemerintah, dan rakyat.
Tujuan pembentukan negara Indonesia serta hak-hak dan kewajiban pemerintah dan
warga negara ditetapkan dalam UUD 1945 itu.
Secara umum, tujuan pembentukan
dan kewajiban pemerintah negara Indonesia dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945,
yaitu untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa." Dengan kata
lain, dalam penyelenggaraan negara, pemerintah berkewajiban melaksanakan mandat
rakyat untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban, rasa tenteram, keadilan,
kedaulatan hukum, kesejahteraan, perlindungan hak asasi manusia, serta
pelayanan yang baik kepada warga negara. Karena itu, sesungguhnya negara gagal
adalah negara yang gagal melaksanakan kewajiban-kewajiban konstitusionalnya
untuk mewujudkan tujuan pembentukan dari negara itu.
Negara gagal dapat diamati dari
indikasi-indikasi kegagalannya. Untuk maksud ini, Fund for Peace mempublikasikan indeks tahunan Failed States Index/FSI (Indeks Negara Gagal). Suatu negara
kemudian di-ranking berdasarkan jumlah skor total 12 indikator kerentanan
negara (state vulnerability), yang
terdiri atas 4 indikator sosial, 2 ekonomi, dan 6 politik. Dengan skala 0-120,
negara yang disurvei dibagi dalam empat kategori: "alert" (nilai 90 atau lebih), "warning" (nilai 60 atau lebih), "moderate"(nilai 30 atau lebih), dan "sustainable" (nilai 0 atau lebih).
Meskipun saya tidak sepenuhnya
setuju dengan metode yang digunakan, FSI setidaknya dapat dijadikan bahan
introspeksi dan perbaikan manajemen pemerintahan bagi Indonesia. Berdasarkan
FSI pada 2012, dari 177 negara yang disurvei, Indonesia menempati peringkat
ke-63 dan masuk kategori buruk (warning)
dengan skor total 80,6. Somalia menempati peringkat pertama atau terburuk dengan
skor total 114,9, sedangkan Finlandia menduduki peringkat terbaik (177) dengan
skor total 20.
Harus diakui, sejak
dipublikasikan pada 2005, skor FSI Indonesia terus mengalami perbaikan. Meski
demikian, selama tujuh tahun Indonesia masih tetap dalam kategori warning dan
"hanya" berhasil memperbaiki skor sebesar 6,4 poin, yaitu dari 87
pada 2005 ke 80,6 pada 2012. Indonesia masih memerlukan perbaikan skor
setidaknya 20 untuk masuk kategori aman atau moderate dan 50 untuk sustainable.
Yang sungguh memprihatinkan, skor FSI Indonesia pada 2012 lebih buruk daripada
Tanzania (80,4), Senegal (79,3), bahkan Bosnia-Herzegovina (77,9), negara yang
relatif baru pulih dari perang.
Peran Korupsi
Dari 12 indikator tersebut,
ternyata hampir semuanya memiliki korelasi dengan korupsi. Namun indikator yang
paling erat korelasinya adalah indikator "delegitimisasi negara" dan
"buruknya pelayanan publik". Delegitimisasi negara di antaranya
diindikasikan oleh korupsi endemik, tata kelola pemerintahan yang buruk, dan
hilangnya kepercayaan publik pada lembaga dan proses pemerintahan. Di sisi
lain, indikasi buruknya pelayanan publik dapat diamati dari tidak berfungsinya
lembaga-lembaga pemerintahan dalam melayani masyarakat, seperti memberi
perlindungan terhadap kejahatan serta menyediakan pelayanan dasar pendidikan,
kesehatan, dan transportasi publik.
Hal yang menarik, negara-negara
yang menempati ranking terendah dalam FSI-seperti Somalia, Kongo, Sudan, Irak,
dan Haiti-ternyata juga menduduki ranking terendah dalam Indeks Persepsi Korupsi
dari Transparency International.
Artinya, kita dapat berhipotesis bahwa korupsi memiliki korelasi yang kuat
dengan gagalnya suatu negara. Dengan kata lain, korupsi sesungguhnya merupakan
akar dan sumber dari segala permasalahan yang menyebabkan negara gagal.
Korupsi yang meluas, sistemik,
dan endemik sebenarnya sudah cukup dijadikan indikator negara gagal. Korupsi
demikian sesungguhnya merupakan gejala tidak berfungsinya lembaga-lembaga
negara. Korupsi telah mendistorsi proses-proses politik, ekonomi, birokrasi,
dan penegakan hukum. Akibatnya, politik menghamba pada kepentingan dan penguasa
korup, pembangunan ekonomi terhambat dan kemiskinan meluas, birokrasi buruk dan
korup, serta penegakan hukum justru menimbulkan ketidakadilan, kezaliman, dan
kekacauan sosial.
Kini, kita hanya bisa berharap
pada hati nurani para penguasa. Mereka harus memiliki sense of crisis bahwa
negara ini memang sedang dalam keadaan darurat. Penderitaan rakyat dan
runtuhnya Kekaisaran Romawi, rezim Orde Baru, serta rezim-rezim korup akibat
korupsi seharusnya menjadi pelajaran sejarah yang berharga bagi penguasa dan
semua anak bangsa. Hanya bangsa yang
bebal dan bodohlah yang mengulangi kesalahan sejarah yang sama! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar