Mega
vs SBY di Balik Layar Jokowi vs Fauzi
M Sobary ; Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO,
06 Agustus 2012
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
tercatat sebagai partai yang memiliki bupati/wali kota, gubernur yang hebat-hebat.
Media telah mencatat
fenomena ini dengan baik dan tulisan ini tak perlu memberi contoh. Catatan yang
perlu ditambahkan hanya ini: partai Mbak Mega ini sering dikhianati para tokoh
yang didukungnya. Gubernur hasil dukungan partai ini, kecuali mungkin Pak
Sutiyoso, mengecewakan. Ini berarti bahwa orang luar memang tak memiliki
loyalitas pada ideologi dan khitah perjuangan partai yang dipimpin Mbak Mega.
Agaknya kita memang tak bisa menaruh trust begitu saja kepada orang lain yang
sikap politiknya belum teruji.
Dari pengalaman yang sudah lewat, dukungmendukung macam ini mungkin sebaiknya dievaluasi dan ditata kembali. Menata diri ke dalam dan bertaruh atas “kuda” milik kita sendiri mungkin lebih bermakna buat pembinaan internal partai, memperkukuh identitas, meneguhkan sikap andal, dan bermartabat. Sudah saatnya partai ini tak lagi terpukau atau mengagumi “kuda” bagus tapi liar dan bukan “kuda” kita sendiri. Jangan sampai hendaknya ada orang berkomentar, partai ini masih kurang percaya diri untuk menggunakan semaksimal mungkin human resourcesyang dimiliki.
Lebih menyebalkan— dan menjadi pukulan keras—kalau komentarnya menganggap kita rendah diri. Sebetulnya mereka yang tak loyal pada khitah perjuangan partai sebagaimana kita harapkan itu mungkin tak menjadi soal benar asal sebagai gubernur mereka tetap berpegang pada ideologi bahwa kekuasaan di tangannya digunakan semata buat mengamalkan pesan konstitusi, melindungi dan memberi rakyat kesempatan menikmati kehidupan yang layak.
Syukur di dalamnya memang tampak jelas semangat reformasi tulen dan memberi ruang pelayanan publik yang membuat warga masyarakat yakin bahwa ada pemerintah yang menaruh rasa peduli pada mereka semua. Ini sikap populis yang merupakan aspirasi PDIP sehingga, dengan sendirinya, orang yang didukung dalam suatu posisi hendaknya juga memperlihatkan kuatnya orientasi populis ini. Rupanya harapan itu terlalu tinggi. Atau sengaja diabaikan oleh tokoh yang didukung. Karena bukankah pengkhianatan itu tak memiliki akibat politik dan hukum apa pun?
Maka, lain kali, yang akan dijagokan sebagai gubernur, wali kota, bupati, bahkan juga menteri dan jajaran pejabat lainnya hanya orang PDIP tulen. Pendeknya, “kuda-kuda” kita sendiri yang kita persiapkan untuk memasuki medan pacuan yang penuh tantangan itu. Di dalam partai, “kuda” macam itu tak kurang jumlahnya. Tapi, yang kurang secara agak mencolok mungkin loyalitasnya mengingat begitu banyak orang baru yang datang dari antah-berantah dan belum teruji jiwa dan sikap politiknya. Tapi kalau bicara tentang Rustriningsih dan Joko Widodo (Jokowi), kita cepat setuju.
Loyalitas mereka kepada Mbak Mega besar. Loyalitas pada partai besar. Dan di atas segalanya, mereka ini orang nasionalis tulen. Kinerja maupun sikap politik dan orientasi nasional mereka pun mentereng. Sekali lagi, media mencatat ini dengan baik, tanpa memihak. Kini Jokowi dijagokan Mbak Mega. Jiwanya yang sudah nasionalis itu dibawa ke arena lebih luas, di Jakarta, dibikin lebih “nasional” dibandingkan Solo. Gubernur yang sudah lewat dulu didukung Mbak Mega juga.
Sekarang didukung Partai Demokrat. Jadi kini yang berhadapan di papan catur politik untuk gubernur DKI itu PDIP dengan Partai Demokrat. Ringkasnya,Partai Demokrasi vs Partai Demokrat. Partai Demokrasi (Indonesia Perjuangan) jelas orientasinya: menuju kehidupan demokratis, mengusahakan naiknya rakyat dalam kehidupan politik, dan menjadikan rakyat sebagai “raja”di negeri ini.
Tentu saja perjalanan menuju ke titik perjuangan ini banyak halangan dan masih jauh. Tapi kiblat itu jelas, terang-benderang bagaikan kapas yang tak tersentuh noda. Partai Demokrat? Maksudnya partainya orang-orang yang hidupnya sangat demokratis? Berarti sangat elite karena yang bisa disebut demokrat tulen di negeri ini jumlahnya terbatas. Jika kita bicara mengenai platform politiknya, PDIP lebih jelas sosok ideologis maupun sasaran capaian sosialnya. PDIP lebih dulu lahir. Partai Demokrat, yang ibaratnya baru lahir “kemarin sore” kikuk dan kehabisan outlook untuk bicara demokrasi pada tataran grassroot yang sudah didominasi sejak lama oleh PDIP.
Kedua partai ini sekarang berhadapan sebagai lawan. Yang satu menjagokan Jokowi, yang lainnya menjagokan Fauzi. Jokowi fresh dalam outlook politik maupun sosial— bahkan sedang giat-giatnya—, Fauzi tampak sudah lelah. Foto-foto di banyak sudut kota yang dijadikan andalannya menampakkan foto orang kelelahan. Foto Jokowi nyengir, sehat, bregas, menjanjikan masa depan. Bahasa fotonya saja sudah begitu jelas. Tak ada partai yang sungguh bersih. Tapi warga negara Indonesia ini tahu, saat ini partai yang mendukung Fauzi itu sedang bergelimang dengan kasus korupsi.
Mulai dari kasus Century yang sangat besar itu disusul kasus baru yang jauh lebih besar. Di sana orang-orang pentingnya terlibat. Dan mereka aktif memberi komentar tentang jagonya. Fauzi harusnya menyetop agar mereka tak usah muncul dan berkomentar.Kemunculan mereka menimbulkan rasa antipati publik. Dukungan dari tokoh yang menimbulkan antipati macam itu melemahkan dan merupakan pelukan mematikan. Sementara Jokowi didukung partai yang dosa sosial politiknya jauh lebih kecil.
Orang yang bersimpati kepada partai pendukungnya lebih besar dan yang berharap serta rela menaruh nasib masa depannya kepada Jokowi juga lebih besar. Dalam interpretasi kebudayaan atas “adu jago” di Bali, secara mendalam sekali Geertz menguraikan makna pertarungan dan pertaruhan itu. Kata Geertz, ini sebuah deep play, permainan mendalam. Bagi dia, bukan jago melawan jago yang tampak, melainkan para pemilik jago itu yang sebenarnya sedang berlaga di atas panggung perjudian sabung ayam hingga menukik ke jiwa mereka.
Dalam pertarungan Jokowi vs Fauzi, kita sebenarnya sedang melihat pertarungan Mbak Mega vs SBY. Hubungan politik keduanya masih ditandai luka lama yang bila tersentuh bisa meneteskan darah baru. Rasa penasaran politik dalam hubungan mereka mungkin baru akan hilang dalam waktu lama. Kini Mbak Mega memperoleh kesempatan menaruh Jokowi bagai menaruh dirinya sendiri. Ini deep play yang sedang dimainkan Mbak Mega menghadapi kembali SBY yang lelah mengatur urusan internal partainya yang porakporanda. Perhatian Mbak Mega jelas full, sedangkan SBY sambil lalu.
Fauzi bukan perkara penting bagi Partai Demokrat dan tak diharapkan untuk bisa membikin cerah kehidupan partai penguasa itu. Jadi apa poinnya harus menaruh perhatian full ke Fauzi? Kita akan melihat hasil pertarungan Mbak Mega yang fresh, dengan perhatian full, “mengadu” jagonya—“Dik” Jokowi yang juga “fresh” melawan Fauzi yang foto-fotonya memancarkan rasa “lelah”–– dengan botohnya, SBY, yang juga “lelah”. ●
Dari pengalaman yang sudah lewat, dukungmendukung macam ini mungkin sebaiknya dievaluasi dan ditata kembali. Menata diri ke dalam dan bertaruh atas “kuda” milik kita sendiri mungkin lebih bermakna buat pembinaan internal partai, memperkukuh identitas, meneguhkan sikap andal, dan bermartabat. Sudah saatnya partai ini tak lagi terpukau atau mengagumi “kuda” bagus tapi liar dan bukan “kuda” kita sendiri. Jangan sampai hendaknya ada orang berkomentar, partai ini masih kurang percaya diri untuk menggunakan semaksimal mungkin human resourcesyang dimiliki.
Lebih menyebalkan— dan menjadi pukulan keras—kalau komentarnya menganggap kita rendah diri. Sebetulnya mereka yang tak loyal pada khitah perjuangan partai sebagaimana kita harapkan itu mungkin tak menjadi soal benar asal sebagai gubernur mereka tetap berpegang pada ideologi bahwa kekuasaan di tangannya digunakan semata buat mengamalkan pesan konstitusi, melindungi dan memberi rakyat kesempatan menikmati kehidupan yang layak.
Syukur di dalamnya memang tampak jelas semangat reformasi tulen dan memberi ruang pelayanan publik yang membuat warga masyarakat yakin bahwa ada pemerintah yang menaruh rasa peduli pada mereka semua. Ini sikap populis yang merupakan aspirasi PDIP sehingga, dengan sendirinya, orang yang didukung dalam suatu posisi hendaknya juga memperlihatkan kuatnya orientasi populis ini. Rupanya harapan itu terlalu tinggi. Atau sengaja diabaikan oleh tokoh yang didukung. Karena bukankah pengkhianatan itu tak memiliki akibat politik dan hukum apa pun?
Maka, lain kali, yang akan dijagokan sebagai gubernur, wali kota, bupati, bahkan juga menteri dan jajaran pejabat lainnya hanya orang PDIP tulen. Pendeknya, “kuda-kuda” kita sendiri yang kita persiapkan untuk memasuki medan pacuan yang penuh tantangan itu. Di dalam partai, “kuda” macam itu tak kurang jumlahnya. Tapi, yang kurang secara agak mencolok mungkin loyalitasnya mengingat begitu banyak orang baru yang datang dari antah-berantah dan belum teruji jiwa dan sikap politiknya. Tapi kalau bicara tentang Rustriningsih dan Joko Widodo (Jokowi), kita cepat setuju.
Loyalitas mereka kepada Mbak Mega besar. Loyalitas pada partai besar. Dan di atas segalanya, mereka ini orang nasionalis tulen. Kinerja maupun sikap politik dan orientasi nasional mereka pun mentereng. Sekali lagi, media mencatat ini dengan baik, tanpa memihak. Kini Jokowi dijagokan Mbak Mega. Jiwanya yang sudah nasionalis itu dibawa ke arena lebih luas, di Jakarta, dibikin lebih “nasional” dibandingkan Solo. Gubernur yang sudah lewat dulu didukung Mbak Mega juga.
Sekarang didukung Partai Demokrat. Jadi kini yang berhadapan di papan catur politik untuk gubernur DKI itu PDIP dengan Partai Demokrat. Ringkasnya,Partai Demokrasi vs Partai Demokrat. Partai Demokrasi (Indonesia Perjuangan) jelas orientasinya: menuju kehidupan demokratis, mengusahakan naiknya rakyat dalam kehidupan politik, dan menjadikan rakyat sebagai “raja”di negeri ini.
Tentu saja perjalanan menuju ke titik perjuangan ini banyak halangan dan masih jauh. Tapi kiblat itu jelas, terang-benderang bagaikan kapas yang tak tersentuh noda. Partai Demokrat? Maksudnya partainya orang-orang yang hidupnya sangat demokratis? Berarti sangat elite karena yang bisa disebut demokrat tulen di negeri ini jumlahnya terbatas. Jika kita bicara mengenai platform politiknya, PDIP lebih jelas sosok ideologis maupun sasaran capaian sosialnya. PDIP lebih dulu lahir. Partai Demokrat, yang ibaratnya baru lahir “kemarin sore” kikuk dan kehabisan outlook untuk bicara demokrasi pada tataran grassroot yang sudah didominasi sejak lama oleh PDIP.
Kedua partai ini sekarang berhadapan sebagai lawan. Yang satu menjagokan Jokowi, yang lainnya menjagokan Fauzi. Jokowi fresh dalam outlook politik maupun sosial— bahkan sedang giat-giatnya—, Fauzi tampak sudah lelah. Foto-foto di banyak sudut kota yang dijadikan andalannya menampakkan foto orang kelelahan. Foto Jokowi nyengir, sehat, bregas, menjanjikan masa depan. Bahasa fotonya saja sudah begitu jelas. Tak ada partai yang sungguh bersih. Tapi warga negara Indonesia ini tahu, saat ini partai yang mendukung Fauzi itu sedang bergelimang dengan kasus korupsi.
Mulai dari kasus Century yang sangat besar itu disusul kasus baru yang jauh lebih besar. Di sana orang-orang pentingnya terlibat. Dan mereka aktif memberi komentar tentang jagonya. Fauzi harusnya menyetop agar mereka tak usah muncul dan berkomentar.Kemunculan mereka menimbulkan rasa antipati publik. Dukungan dari tokoh yang menimbulkan antipati macam itu melemahkan dan merupakan pelukan mematikan. Sementara Jokowi didukung partai yang dosa sosial politiknya jauh lebih kecil.
Orang yang bersimpati kepada partai pendukungnya lebih besar dan yang berharap serta rela menaruh nasib masa depannya kepada Jokowi juga lebih besar. Dalam interpretasi kebudayaan atas “adu jago” di Bali, secara mendalam sekali Geertz menguraikan makna pertarungan dan pertaruhan itu. Kata Geertz, ini sebuah deep play, permainan mendalam. Bagi dia, bukan jago melawan jago yang tampak, melainkan para pemilik jago itu yang sebenarnya sedang berlaga di atas panggung perjudian sabung ayam hingga menukik ke jiwa mereka.
Dalam pertarungan Jokowi vs Fauzi, kita sebenarnya sedang melihat pertarungan Mbak Mega vs SBY. Hubungan politik keduanya masih ditandai luka lama yang bila tersentuh bisa meneteskan darah baru. Rasa penasaran politik dalam hubungan mereka mungkin baru akan hilang dalam waktu lama. Kini Mbak Mega memperoleh kesempatan menaruh Jokowi bagai menaruh dirinya sendiri. Ini deep play yang sedang dimainkan Mbak Mega menghadapi kembali SBY yang lelah mengatur urusan internal partainya yang porakporanda. Perhatian Mbak Mega jelas full, sedangkan SBY sambil lalu.
Fauzi bukan perkara penting bagi Partai Demokrat dan tak diharapkan untuk bisa membikin cerah kehidupan partai penguasa itu. Jadi apa poinnya harus menaruh perhatian full ke Fauzi? Kita akan melihat hasil pertarungan Mbak Mega yang fresh, dengan perhatian full, “mengadu” jagonya—“Dik” Jokowi yang juga “fresh” melawan Fauzi yang foto-fotonya memancarkan rasa “lelah”–– dengan botohnya, SBY, yang juga “lelah”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar