Mengapa
Konflik Agraria Struktural
Terus-menerus
Meledak di Sana Sini?
Noer Fauzi Rachman ; Alumnus Doktor University of
California, Berkeley, AS; Direktur Sajogyo Institute, Bogor; Dosen Institut
Pertanian Bogor
MEDIA
INDONESIA, 06 Agustus 2012
KONFLIK
agraria struktural yang di maksud dalam artikel ini merujuk kepada pertentangan
klaim yang berkepanjangan mengenai suatu bidang tanah, sumber daya alam (SDA),
dan wilayah kepunyaan rakyat dengan badan usaha raksasa yang bergerak dalam
bidang infrastruktur, produksi, ekstraksi, dan konservasi; dan pihak-pihak yang
bertentangan tersebut berupaya dan ber tindak baik secara langsung maupun tidak
menghilangkan klaim pihak lain. Konflik agraria yang dimaksud di mulai dengan
pemberian izin/hak oleh pejabat publik, termasuk Menteri Kehutanan, Menteri
ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional),
gubernur, dan bupati, yang memasukkan tanah, SDA, dan wilayah hidup kepunyaan
masyarakat ke proyek/konsesi badanbadan usaha raksasa dalam bidang
infrastruktur, produksi, ekstraksi, maupun konservasi.
Instrumentasi
hukum, penggunaan kekerasan, kriminalisasi tokoh penduduk, manipulasi,
penipuan, dan pemaksaan persetujuan yang dilakukan secara sistematis dan meluas
sering mencirikan upaya penghilangan klaim rakyat atau pengalihan penguasaan
atas tanah, SDA, dan wilayah hidup rakyat setempat ke proyek/konsesi yang
dipunyai badan-badan usaha raksasa termaksud. Itu sekaligus merupakan pemisahan
atau pembatasan akses rakyat terhadap tanah, SDA, dan wilayahnya. Sebaliknya,
perlawanan langsung dari rakyat dan yang difasilitasi organisasi-organisasi
gerakan sosial, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun elite politik
dilakukan untuk menentang peralihan penguasaan, pemisahan, atau pembatasan paksa
akses rakyat tersebut.
Kasus Perkebunan Kelapa Sawit
Produksi
crude palm oil (CPO) Indonesia terus
tumbuh pesat dari tahun ke tahun. Indonesia merupakan penghasil CPO terbesar di
dunia. Menurut pemantauan dari Indonesian Commercial Newsletter (Juli 2011),
produksi CPO meningkat menjadi 21 juta ton pada 2010 dari tahun sebelumnya 19,4
juta ton. Pada 2011, produksi diperkirakan naik 4,7% menjadi sekitar 22 juta
ton.
Sementara itu, total ekspor juga meningkat, pada 2010 tercatat sekitar 15,65
juta ton, kemudian diperkirakan melonjak menjadi 18 juta ton pada 2011. Dari
total produksi tersebut diperkirakan, hanya sekitar 25% (sekitar 5,45 juta ton)
yang dikonsumsi pasar domestik. Produksi CPO sebanyak itu ditopang total luas
konsesi perkebunan kelapa sawit yang terus bertambah, yaitu menjadi 7,9 juta
hektare pada 2011 dari 7,5 juta hektare pada 2010.
Data
Direktorat Jenderal Perkebunan menunjukkan luasan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia 8,1 juta hektare (Ditjen Perkebunan, 2012). Luas perkebunan tersebut,
menurut Sawit Watch (2012), lebih kecil daripada yang sesungguhnya, yang
diperkirakan telah mencapai 11,5 juta hektare. Perkebunan-perkebunan kelapa
sawit sering lebih luas daripada konsesi legalnya. Dari luasan tersebut, berapa
persen partisipasi petani-petani yang bertanam kelapa sawit di tanah sendiri?
Menurut Ditjen D Perkebunan (2012) Kementerian Pertanian, P luasan kebun sawit
milik petani di atas 40%, sedangkan menurut Sawit Watch (2012), jumlahnya
kurang dari 30%. Dengan percepatan luasan 400 ribu hektare per tahun, luasan
kebun sawit di Indonesia digenjot pemerintah, perusahaan-perusahaan swasta, dan
petani-petani sawit sehingga dicanangkan mencapai 20 juta hektare pada 2025. Pertanyaannya
ialah dari mana asalmuasal tanah untuk perluasan kebun kelapa sawit itu?
Sangat
menarik untuk memperhatikan data dari Direktur Pascapanen dan Pembinaan Usaha
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Herdradjat Natawidjaja
(2012), yang menyampaikan data dalam satu rapat koordinasi perkebunan
berkelanjutan di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, pada 25 Januari 2012. Ia
menyebutkan sekitar 59% dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh daerah di
Indonesia terlibat konflik dengan masyarakat terkait dengan lahan. Tim dari
Ditjen Perkebunan sudah mengidentifikasi konflik itu di 22 provinsi dan 143
kabupaten. Total ada sekitar 591 konflik, dengan urutan pertama banyaknya
konflik ditempati Kalimantan Tengah dengan 250 kasus, disusul Suma tra Utara
101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan
Selatan 34 kasus.
Akibat-akibat
Masalah
dalam pengadaan tanah skala luas untuk investasi infrastruktur, perkebunan,
pertambangan, dan kehutanan, atau dalam istilah lebih memihak `perampasan
tanah', sebagaimana dilaporkan Komnas HAM dari tahun ke tahun, selalu menjadi
urutan pertama dari pengaduan rakyat. Dalam kacamata HAM, perampasan tanah,
SDA, dan wilayah hidup itu di maknakan sebagai pelanggaran hak ekonomi, sosial,
dan bu daya masyarakat. Ketika bentrokan antara perusahaan, apa rat keamanan,
dan rakyat setempat terjadi, hal itu dapat berurusan dengan pelanggaran hak
sipil dan politik.
Menyempitnya
ruang hidup rakyat, yang diiringi dengan menurunnya kemandirian rakyat untuk
memenuhi kebutuhan hidup dari usaha pertanian, akan menjadi bagian awal
transformasi para petani dengan beragam cara hidup menjadi orang-orang yang tak
bertanah, yang sebagian akan menjadi tenaga kerja upahan dan sebagian lainnya
menjadi penganggur atau setengah penganggur.
Akibat
lanjutan dari konflik agraria ialah meluasnya konflik itu sendiri, dari sekadar
konflik klaim atas tanah, SDA, dan wilayah menjadi konfl ikkonflik lain. Konflik
agraria yang berkepanjangan menciptakan krisis sosial ekologi, terma suk yang
mendorong penduduk desa ber migrasi ke wilayah-wilayah baru untuk mendapatkan
tanah pertanian baru, atau pergi dan hidup menjadi golongan miskin kota. Hal
itu menjadi sumber masalah baru di kota-kota.
Dalam
situasi konflik agraria yang berkepanjangan, rakyat bertanya mengenai posisi dan
peran pemerintah. Rakyat bisa sampai pada perasaan tidak adanya pemerintah yang
melindungi dan mengayomi. Pada tingkat awal, mereka akan mem protes pemerintah.
Ketika kriminalisasi diberlakukan terhadap mereka, mereka merasa dimusuhi
pemerintah. Pada gilirannya, merosotnya kepercayaan masyarakat setempat
terhadap pemerintah dapat menggerus rasa keindonesiaan para rakyat yang menjadi
korban.
Lebih
jauh, artikulasi konflik agraria dapat membentuk-bentuk konflik lain seperti konflik
antara para petani pemilik asal tanah dan pekerja perkebunan, konflik etnik
antara `penduduk asli' dan pendatang, bahkan hingga konflik antarkampung desa.
Studi Institut Titian Perdamaian (2012) menunjukkan, di balik `konflik konflik
etnik' dan `agama' yang besar-besar dalam periode semasa dan setelah transisi
demokrasi (1998-1999), sebagian besar dilatarbelakangi perebutan
tanah, SDA, dan wilayah hidup.
Quo Vadis Tim Terpadu Penyelesaian Konflik Agraria?
Ketika
konflik-konflik itu berlangsung dalam intensitas yang tinggi, rakyat mencari
akses ke organisasi gerakan sosial, LSM, DPRD, Badan Pertanahan Nasional,
Kementerian Kehutanan, hingga DPR, Komnas HAM, dll. Dalam sejumlah kasus, sebagian
klaim dan keperluan rakyat korban bisa diurus sesuai dengan kewenangan dan
kapasitas setiap lembaga. Namun tidak demikian halnya untuk kasus-kasus yang
karakteristik konfliknya sudah kronis, kompleksitasnya melibatkan lintas sektor,
dan akibat-akibatnya telah meluas.
Konflik
agraria struktural macam itu dilestarikan dengan tidak adanya koreksi atas
putusan-putusan pejabat publik (Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan
Nasional, Menteri ESDM, bupati, dan gubernur) yang memasukkan tanah, SDA, dan
wilayah hidup rakyat ke konsesi badan usaha raksasa untuk produksi, ekstraksi,
maupun konservasi. Kita tahu bahwa berdasarkan kewenangannya, pejabat publik
itu dimotivasi keperluan perolehan rente. Untuk pertumbuhan ekonomi, mereka
melanjutkan dan terus-menerus memproses pemberian izin/ hak kepada badan-badan
usaha/proyek raksasa tersebut. Kita tahu pula bahwa bila suatu koreksi demikian
dilakukan, pejabat-pejabat publik dapat dituntut balik oleh
perusahaan-perusahaan yang konsesinya dikurangi atau apalagi dibatalkan. Risiko
kerugian yang bakal diderita bila kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
tentu dihindari pejabat publik yang bersangkutan.
Konflik-konflik
agraria struktural saat ini sudah bersifat kronis dan berdampak luas. Cara-cara
konvensional sudah tidak bisa diandalkan lagi. Kita saat ini memerlukan
kelembagaan yang memiliki otoritas penuh, lintas sektor kelembagaan pemerintahan,
dan memiliki kapasitas cukup memadai dalam menangani konflik agraria yang telah,
sedang, dan akan terjadi.
Lebih
dari itu, konflik agraria struktural perlu diatasi dengan menyelesaikan akar
masalahnya, yakni ketimpangan agraria yang ditandai dominasi perusahaan-perusahaan
raksasa atas penguasaan tanah dan pengelolaan SDA. Indonesia tidak punya
instrumen hukum dan kebijakan yang membatasi luasan maksimum penguasaan tanah
dan pe ngelolaan SDA oleh holding company
dari perusahaan-perusahaan kapitalis yang bersifat predatoris. Bila akar masalah
itu mau diatasi, komitmen kita pada reforma agraria perlu diperbarui.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada rapat kabinet terbatas yang digelar di Kantor Kejaksaan
Agung RI, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (25/7) lalu menginstruksikan
pembentukan tim terpadu penyelesaian konflik-konflik agraria. Saat ini,
kerangka acuan yang mencakup ruang lingkup kewenangan hingga cara kerja tim
tersebut sedang di rumuskan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4) untuk kemudian diproses dan dijalankan Kantor
Kemenko Polhukam. Quo vadis kelembagaan
baru ini? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar