Kamis, 05 April 2018

Prabowo, Politik, dan Kebohongan Impunitas

Prabowo, Politik, dan Kebohongan Impunitas
Max Regus  ;   Doktor Lulusan Graduate School of Humanities
University of Tilburg, Belanda
                                              MEDIA INDONESIA, 04 April 2018



                                                           
PRABOWO Subianto (Prabowo), mantan calon presiden periode 2014-2019, kembali ’mendidihkan’ suhu politik nasional dalam hitungan sebulan terakhir ini. Sebagai simbol kekuatan oposisi, pidato dan serangan politik Prabowo, ditambah dukungan kaum loyalisnya, serentak memantik kontroversi. ’Ramalan’ politik tentang kemungkinan bubarnya Indonesia di 2030 dan penyebutan ’elite goblok’ adalah dua contoh luapan sikap dan penampilan politik Prabowo.

Harian umum Media Indonesia, untuk soal ini, dengan berani dan langsung pada sasaran, menyodorkan ulasan dengan judul ’Prabowo Tiru Donald Trump’ (Media Indonesia, 3 April 2018). Secara ringkas, dengan ’menyamakan’ strategi politik keduanya (Prabowo dan Trump), dalam konteks pemilihan presiden, USA-2016 dan Indonesia-2019, kita bisa menyebutkan bagaimana eksploitasi pesimisme dan ketakutan sosial (politik) dijadikan muatan utama substansi kampanye politik.

Banyak analis politik menempatkan gerakan politik Trump pada apa yang dikenal dengan sebutan ’landkap politik pascakebenaran’ (the post-truth political landscape). Pada penampang dan suasana seperti ini, politik dibahasakan secara brutal sebagai sumber energi serangan tidak terhormat terhadap kebenaran. Eksploitasi masif terhadap dua hal--’ketakutan-ketakutan massal’ di satu pihak--dan ’prasangka-prasangka sosial’ di pihak lain, menggelembungkan kompetisi kekuasaan sebagai ajang pembantaian nilai-nilai kebenaran dan kebajikan dalam politik.

Tubuh politik

Kita berhadapan dengan pertanyaan tentang bagaimana model persaingan perebutan kekuasaan seperti ini bisa bekerja dalam politik? Jawaban untuk pertanyaan ini niscaya dikembalikan lagi pada kerangka pemahaman atas tubuh politik. Fondasi pengertian memengaruhi cara berada kekuasaan seseorang (elite) atau paling tidak mengendalikan arah pengelolaan kompetisi kekuasaan.

Jacques Ranciere (2001), filsuf politik dari Prancis, ketika mengajukan 10 tesis politik, pada tesis pertama (1) mendefinisikan dan mengunggulkan politik sebagai sebuah (rangkaian) ’tindakan rasional’. Di sini, rasionalitas serentak juga mengandaikan kukuhnya benteng ’moral-etik’ pada setiap jengkal perebutan kekuasaan. Tidak boleh ada pengingkaran terhadap aspek ’kepatutan’ pada setiap ucapan dan tindakan, pidato dan kampanye politik.

Ranciere, di garis pandangan ini, berusaha menempatkan politik pada titik pemahaman berbeda dari kekuasaan. Politik tidak sekadar ’medium’ merengkuh kedudukan dan jabatan publik. Politik adalah sebuah proses penalaran yang berusaha mencocokkan apa yang ada pada kenyataan dan bangunan pengetahuan kekuasaan.

Tubuh politik akan ’remuk’ketika hasutan dan khayalan dalam konteks geliat politik Prabowo dikemukakan’ secara membabi buta sebagai alat penekan kebebasan politik. Di titik ini, pratana-pranata demokrasi dijauhkan dari politik.

Kebohongan yang dipersenjatai

Di tarik ke masa kini, kita dapat membaca bagaimana sekujur tubuh politik, pada banyak level dan cakupan, sedang tersekap dalam kerangkeng reproduksi kebohongan. Bahkan, kecenderungan ini sudah melampaui jangkauan teoretis politik ’era pascakebenaran’. Salah satu sebab utama dari suasana ini barangkali senada pada apa yang disebut Daniel J Levitin (2016) untuk judul bukunya kebohongan-kebohongan yang dipesenjatai’ (Weaponized Lies).

Kebohongan dipersenjatai dengan intimidasi, mengaduk-aduk konservatisme religius, dan menggandakan ketidakpatuhan sosial pada semua tingkatan hubungan sosial dan politik. Kebiasaan seperti ini yang menyebabkan kejujuran (thruthfulness), sebagaimana sinyalemen klasik Arendt (1972), sudah sejak lama tidak lagi berada di antara daftar utama sekian banyak nilai dan kebaikan politik. Sementara itu, kebohongan sudah begitu lama menggerogoti segenap transaksi-transaksi politik.

Refleksi Arendt ini dimuat dengan topik lying in politics dalam buku Crises of the Republic. Arendt mengungkapkan isu ini ketika menulis tinjauan kritis untuk apa yang disebut dengan the Pentagon Paper. Yang merekam keterlibatan politik dan militer AS di Vietnam sepanjang 1945 hingga 1967. Kisah tentang dokumen ini tidak begitu penting. Yang utama di sini bagaimana Arendt mengingatkan kita tentang kebohongan yang cenderung dijadikan justifikasi dari banyak kerja politik dan kekuasaan.

Kebohongan impunitas

Keyes (2004) mengemukakan munculnya sebuah era ketika politik dan kekuasaan bergerak dengan penyebaran (pemaksaan) ’metode’ penerimaan fakta bahwa kebohongan-kebohongan dapat (boleh) diceritakan dengan ’impunitas’. Dalam perspektif sosiologi politik, mereka yang suka bekerja di dan (atau) untuk ’metode’ semacam ini tidak akan mendapatkan sanksi (hukum), baik karena privilese politik maupun jaringan kekuasaan (power) yang dimiliki.

Bagi para penyebar kebohongan, tidak ada hukuman, kecuali reaksi publik. Bahkan, pada atmosfer sosial-kultural tertentu, mereka mendapatkan ’kemenangan’ politik akibat dukungan tanpa syarat dari pendukung mereka. Ini terjadi sama seperti munculnya dukungan ’tutup mata’ kaum Kristen evangelis konservatif terhadap Donald Trump pada Pilpres 2016.

Di sini, dalam apa yang sedang menguat pada penampilan politik Prabowo, politik yang cenderung beralaskan ’kebohongan impunitas’ dapat menjadi pola utama persaingan perebutan kekuasaan pada pilpres mendatang. Kita tahu, harganya amat mahal bagi masa depan keindonesiaan kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar