Selasa, 03 April 2018

Penentu Koalisi

Penentu Koalisi
Firman Noor  ;   Kepala Pusat Penelitian Politik-LIPI
                                                   KORAN SINDO, 02 April 2018



                                                           
Pada umumnya koalisi partai politik hadir disebabkan oleh tidak ada kemenangan mutlak dari sebuah kontestasi politik yang diselenggarakan. Koalisi menjadi urgen karena ada kebutuhan untuk melengkapi prasyarat penyelenggaraan pemerintahan (eksekutif) dan memperkokoh posisi penyelenggara pemerintah itu sendiri. Sebenarnya tingkatan urgensi koalisi jelas lebih tinggi pada pemerintahan parlementer. Hal ini karena syarat kemutlakan penguasaan suara mayoritas pihak pemerintah di parlemen.

Adapun dalam sistem presidensial hal itu tidak terlalu disyaratkan mengingat mandat langsung yang diberikan oleh rakyat sudah memadai. Hubungan yang terpisah dalam konsep separation of power  yang sejajar juga menyebabkan presiden tidak harus merasa terikat dengan komposisi kekuatan parlemen. Parlemen tidak dapat membubarkan pemerintahannya, terkecuali ada kejadian yang mengindikasikan pelanggaran serius terhadap konstitusi dan tindakan kriminal.

Kendati demikian, pada sebagian negara penganut sistem presidensial, regulasi pemilu yang mengharuskan terpenuhinya syarat-syarat pencalonan atau kandidasi seorang presiden dapat menjadi "alat paksa" untuk membentuk koalisi sejak dini. Selain itu, ada keyakinan bahwa efektivitas pemerintahan dan upaya menghindari deadlock  seolah mensyaratkan ada dukungan koalisi besar atau turah  baik di pemerintahan maupun parlemen. Meski begitu, kajian di beberapa negara tidak terlalu membenarkan pandangan tersebut (Cheibub, 2002; 2007).

Beberapa Motif Internal Partai

Terlepas dari konteks mengapa koalisi itu terjadi, terdapat beberapa motif berkoalisi dari masing-masing partai yang dapat dibagi menjadi beberapa hal. Pertama  adalah motif ideologis. Partai yang bergabung di dalam koalisi ideologis ini termotivasi untuk mewujudkan nilai-nilai dari ideologi yang dianutnya dan koalisi yang terbangun didasari terutama oleh kepentingan itu.

Koalisi ini umumnya terjadi di negara-negara di mana ideologi masih memainkan peran menentukan dalam memberikan identitas, karakter, dan program-program politik. Tidak mengherankan jika pembelahan politik yang ada didasari oleh kepentingan ideologi, begitu pula dengan berbagai koalisi yang terbangun di dalamnya.

Kedua, kesamaan agenda. Motif kedua ini dapat dikatakan merupakan turunan atau aplikasi atas ideologi yang secara substansi bersifat lebih adaptif, kontekstual, dan kompromistis. Dalam konteks motif agenda ini, sebuah koalisi dapat terdiri atas partai-partai dengan latar belakang ideologi yang beragam.

Selain terinspirasi oleh ideologi, agenda politik yang menyatukan itu dapat muncul karena kegelisahan yang sama, yang pada akhirnya ditujukan baik untuk mempertahankan kebaikan; atau sebagai reaksi atas beragam kemunduran di sebuah periode pemerintahan tertentu. Kandidat presiden yang kemudian diusung oleh koalisi ini adalah hasil kesepakatan di antara partai-partai tersebut yang biasanya ditentukan belakangan.

Ketiga, kesamaan pandangan atas figur presiden yang dianggap ideal. Motif berikutnya adalah ada kesamaan kriteria mengenai sosok ideal presiden. Kesamaan ini bisa saja tidak ditentukan oleh kesamaan ideologis atau agenda-agenda politik di antara partai-partai sebuah koalisi, melainkan sebuah keyakinan besar bahwa sosok tersebut memang pantas untuk memimpin bangsa dan pemerintahan serta menyatukan seluruh rakyat di dalamnya.

Hal yang membedakannya dengan motif "pragmatis" adalah dukungan pada figur dilandaskan pada kriteria yang dibangun secara kelembagaan dan selektif. Selain itu, komitmen dukungannya itu tidak juga terlalu mempertimbangkan apakah figur tersebut berpotensi besar meraih kemenangan atau tidak.

Keempat , oportunis-praktis. Motif terakhir adalah alasan-alasan di luar tiga motif tersebut di atas. Partai-partai yang mengedepankan ini merasa tidak terikat secara ideologis, agenda, atau kualitas kandidat presiden. Orientasi mereka semata mendapatkan kemenangan dan penguasaan jabatan (office seeking) serta potensi turut memengaruhi jalannya pemerintahan. Mereka cenderung mendukung kelompok yang berpotensi memberikan lebih banyak keuntungan politik.

Dalam bentuk "terbaiknya", partai-partai dengan motif ini dapat menjembatani kelompok-kelompok potensial yang selama ini berseberangan demi lebih menjamin kemenangan politik. Tidak mengherankan kombinasi yang tidak umum sejauh itu menguntungkan akan sangat mungkin dikedepankan oleh partai-partai dengan motif ini.

Percampuran Motif: Kasus Indonesia

Dalam konteks Indonesia koalisi akhirnya lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang kemudian populer disebut sebagai "pragmatisme". Meski pragmatisme sendiri sejatinya adalah sebuah "idealisme", dalam konteks Indonesia istilah itu sudah memiliki makna negatif yakni pengedepanan kepentingan pribadi atau kelompok dengan beragam cara. Bagi penulis, pragmatisme ini dalam konteks koalisi lebih dekat dengan istilah praktis-oportunis.

Beberapa partai muncul dengan sikap ini lebih disebabkan oleh kalkulasi kemenangan yang lebih pasti dibanding kandidat lain. Mereka tidak terlalu ambil pusing dengan ihwal di luar itu. Setelah keputusan itu ditetapkan, barulah partai-partai itu akan mengeluarkan beragam argumen, termasuk yang terlihat paling idealis sekalipun, di balik keputusan tersebut.

Meski demikian, motif praktis-oportunis itu sendiri bukanlah faktor satu-satunya atau yang utama dalam menentukan koalisi. Bagi pendukung sebuah koalisi kecocokan agenda-agenda politik maupun simpati atau kedekatan chemistry  yang dalam dengan figur kandidat presiden juga memainkan peran penting dalam membangun koalisi.

Pada koalisi pemerintah misalnya kesamaan sudut pandangan terhadap pengelolaan negara dan nasib bangsa di kemudian hari dapat memotivasi terbangunnya dukungan secara kolektif. Di sisi lain, sebagian partai mungkin tidak terlalu berat pada hal tersebut, namun justru pada sosok atau karakter presiden saat ini yang dianggap sudah tepat menjadi pemimpin pemerintahan.

Sementara bagi kalangan oposisi, kadar praktis-oportunisnya jelas lebih rendah mengingat belum ada jaminan koalisi yang terbentuk akan meraih kemenangan, bahkan bisa jadi punya potensi kalah yang besar. Dalam konteks Indonesia, dilihat dari potensi komposisi partai pendukung koalisi oposisi, motif ideologi bukanlah landasan yang mengikatnya.

Landasan pengikat ada pada idealisme atau agenda-agenda politik yang sama atau berdekatan. Upaya untuk mendapatkan pemerintahan alternatif yang lebih ideal misalnya menjadi titik temu di antara partai-partai untuk membangun koalisi. Selain itu, kesepahaman untuk mendukung figur alternatif yang dipandang lebih ideal di banding kandidat lain juga dapat menjadi landasan bergabung dalam sebuah koalisi.

Dalam konteks Indonesia dapat disimpulkan bahwa koalisi yang terbangun jelaslah tidak didasari oleh satu faktor utama. Terlepas dari beragam faktor itu, tampak jelas bahwa koalisi yang terbangun lebih pada percampuran antara dukungan atas figur, agenda, dan "pragmatisme" dengan kadar yang berbeda-beda di masing-masing koalisi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar