Kekayaan,
Bela Rasa, dan Keselamatan
(Refleksi
Jumat Agung)
Tom Saptaatmaja ; Teolog
|
KORAN
SINDO, 31 Maret 2018
Setiap orang pasti ingin
kaya. Kekayaan pun diburu dengan beragam cara. Ada yang memelihara
tuyul, ada juga yang korupsi. Hampir tak ada satu bidang kehidupan
pun di negeri kita yang steril dari korupsi. Toh kalau dipenjara,
apalagi kurang dari lima tahun, akan tetap untung. Jadi, selama koruptor
dihukum ringan, korupsi akan tetap marak di negeri ini.
Ada pula yang kaya setelah membaca buku. Menurut pakar kekayaan Robert T Kiyosaki, yang bukunya laris: “Uang hanyalah sebuah ide. Bila Anda bilang bahwa cari uang itu sulit, Anda adalah orang miskin. Sebaliknya, bila Anda percaya bahwa di bumi ini berlimpah uang, Anda akan kaya”. Sekarang, apa pendapat Yesus tentang kekayaan? Menurut Albert Nolan OP (dalam buku Jesus Before Christianity, The Gospel of Liberation, Darton Longman and Todd, London, 1980), nafsu akan kekayaan, sungguh sangat bertentangan dengan usaha mencari Allah. Menurut Yesus, Allah dan kekayaan akan harta dunia (mammon) merupakan dua entitas yang saling bertentangan. Tidak bisa orang mengabdi Allah sekaligus uang (Matius 6:24 dst; Bdk Markus 4:19 dst.). Orang kaya sejauh tetap terlekat dengan kekayaannya akan tidak bisa masuk dalam Kerajaan Allah. Mustahil orang kaya masuk dalam Kerajaan Allah ibarat seekor unta masuk ke dalam lubang jarum (Markus 10:25 dst.). Mengapa Yesus menyampaikan kata-kata keras di atas? Yesus tidak ingin kekayaan membuat orang berpaling dari Allah sehingga orang malah tergoda menggadaikan jiwanya pada iblis seperti kisah klasik Faust buah karya Goethe. Terlebih harus diakui kekayaan bisa mengubah orang, apalagi jika kekayaan itu berlebihan. Shakti Gawain dalam jurnal Personal Excellence edisi September 2001 menulis: If we have too many things we don’t truly need or want, our live become overly complicated. Makin tidak bisa tidur, ketika nafsu memiliki (to have, Erich Fromm) kian menguasai. Sudah punya ini, masih ingin yang itu. Karena itu, menurut Yesus, orang-orang kaya harus mau meninggalkan keterlekatannya dengan milik dan hartanya agar bisa masuk Kerajaan Allah. Untuk itu, mereka harus mau berbagi dengan sesamanya yang miskin. Di sini, Yesus tidak sekadar mengharapkan derma, bantuan karitatif atau sekadar uang receh. Yesus ingin struktur tidak adil yang telah membuat orang miskin bertambah miskin, sedangkan si kaya bertambah kaya, harus dirobohkan. Teladan Romero Terkait pernyataan Yesus itu, menarik apa yang terjadi pada Uskup Agung Oscar Romero yang tewas ditembak saat mempersembahkan misa pada 24 Maret 1980. Sebagai Uskup Agung, ia hidup dalam konteks situasi kemiskinan dan ketidakadilan yang dialami rakyat El Salvador serta tindakan represif rezim militer yang dikomandani oleh Jenderal Maximiliano Hernandez Martinez. Kemiskinan dan ketidakadilan yang dialami rakyat negara yang paling padat penduduknya di Amerika Latin itu disebabkan oleh monopoli kepemilikan lahan oleh segelintir konglomerat kopi. Sementara mayoritas penduduk hanya menjadi buruh perkebunan kopi. Kemiskinan dan ketidakadilan diperparah lagi oleh tindakan rezim otoriter dan militeristik. Pada awalnya, Romero yang lahir pada 1917 dikenal dekat dengan kaum kaya dan militer. Romero hanya berkutat di altar dan mimbar. Ia melayani umat dengan pelayanan sakramental dan ibadat-ibadat seputar altar. Ia mengembangkan pelayanan karitatif seperti Santa Claus: Ia meminta uang dari orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin. Ia tidak masuk realitas kemiskinan dan penderitaan mayoritas rakyat El Salvador. Ia malah menentang teologi pembebasan yang dikembangkan Ignacio Ellacuria dan Jon Sobrino yang dituduhnya sebagai Kristologi baru yang berdimensi Marxis atau komunis. Tetapi, sikap itu berubah total, setelah Romero diangkat sebagai Uskup Agung San Salvador. Ia mendukung gerakan-gerakan perlawanan yang sudah dibangun para imam sebelumnya. Romero sadar bahwa gereja harus memihak kaum papa ketika kesenjangan kaya miskin sudah begitu tak terjembatani lagi. Romero ingat bagaimana dahulu Yesus berani menentang orang-orang kuat di Yerusalem, yang merupakan persekongkolan antara para agamawan Yahudi dan para negarawan Romawi. Yesus berani memihak yang miskin hingga akhirnya mati disalibkan. Untuk itu, Romero berani berpesan pada tentara agar jangan membunuh rakyat lagi. Dia juga meminta Jimmy Carter, Presiden Amerika Serikat ketika itu, agar tidak mendukung rezim represif di negaranya. Dan, konsekuensinya, pada akhirnya ia ditembak pasukan bersenjata ketika sedang memimpin misa di kapel susteran. Dia mati, sebagaimana Yesus dahulu juga mati. Penutup Karena itu, jika kita tidak ingin meromantisasi wafat Yesus hanya sebatas dalam ritual atau peribadatan di gereja, mari kita bongkar segala struktur tak adil yang ada di sekitar kita. Kalau kita bisa menangis melihat adegan drama atau tablo jalan salib Yesus di gereja, kita harus juga menangis bersama mereka yang lemah, miskin, dan teraniaya. Mudah-mudahan Jumat Agung saat kita mengenang wafat Yesus menjadi momen penyadaran untuk berani membunuh ego dan terhindar dari ketamakan serta keterlekatan harta dunia. Salib Yesus adalah ungkapan bela rasa dan belas kasih agar kita yang berdosa (miskin secara rohani) bisa diangkat, selamat dan tidak dikuasai kematian. Kisah salib dan kematian Yesus bertumpu pada fakta historis, bukan kisah fiktif, karena terjadi masa pemerintahan Gubernur Pontius Pilatus di Palestina dan di era Kaisar Romawi bernama Tiberius pada tanggal 14 bulan Nissan, menjelang Paskah Yahudi sekitar tahun 33 Masehi, sebagaimana ditulis sejarawan sekuler Yahudi Flavius Josefus. Kisah penyaliban disusul kebangkitan itulah yang dicatat Flavius menjadi pendorong bagi banyak orang percaya kepada Yesus. Bagi banyak orang ketika itu, keselamatan berkat salib itu lebih berharga daripada semua harta di dunia dan apa pun. Tidak heran, menjadi Kristen saat itu sangat berisiko, karena bisa dimusuhi negara dan dihukum mati kalau ketahuan, namun pengikut Yesus tidak peduli. Nyali mereka luar biasa. Satu mati, muncul seribu pengikut baru sebagaimana bisa dibaca dalam buku “Acta Martyrum”. Bagi para martir, termasuk Romero, keselamatan berkat salib adalah kekayaan sejati. Sebuah kehormatan pula jika bisa menapaki jalan salib Yesus dan mati demi Dia, agar yang lain selamat. Memang pengorbanan Yesus sungguh luar biasa sehingga yang semula egois, akhirnya jadi altruis. Yang semula hanya mikir diri sendiri, termasuk mikir bagaimana bisa kaya dan suci sendiri, pada akhirnya berubah menjadi peduli dan berbelarasa dengan sesama, khususnya yang miskin dan menderita (Matius 25:40). Jadi, kalau Romero dan mereka bisa, kenapa kita tidak? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar