Pasar
Beras 2018
Sapuan Gafar ; Kepala Biro Harga dan Analisa Pasar Bulog 1976-1981
|
KOMPAS,
03 April
2018
Panen awal sudah usai dan
panen raya padi sedang mulai, bahkan di beberapa tempat seperti di antara
Sragen-Solo dan Demak-Kudus, sebagian petani sudah menanam padi kembali.
Namun, harga beras masih stabil tinggi (Kompas, 10/3, halaman 18). Hal ini
sebenarnya aneh, tapi nyata.
Paling tidak terdapat
empat faktor yang memengaruhi keadaan pasar beras. Pertama tingkat persediaan
masyarakat pada awal panen. Kedua, keadaan panen rendengan musim tanam (MT)
2017/2018 dan prospek gadu MT 2019. Ketiga, kebijakan pemerintah terutama
dampak perubahan penyaluran beras natura ke kupon, dan perubahan kebijakan
harga pembelian pemerintah cq Bulog. Keempat, faktor lain yaitu kemungkinan
kelangkaan persediaan beras medium.
Yang tidak kita sadari,
pada akhir 2017 dan awal 2018, persediaan di masyarakat “kosong” antara lain
akibat kebijakan pemerintah atas pengalihan penyaluran beras dalam bentuk
natura (raskin) ke bentuk kupon. Dulu untuk mengatasi gejolak harga alokasi
penyaluran raskin ditambah 1-3 kali penyaluran per bulan atau sekitar
300.000-900.000 ton, karena pemerintah menyadari bahwa pengendalian harga
melalui operasi pasar (OP) tidak efektif karena Bulog hanya mempunyai 1 macam
kualitas kelas medium. Data empiris menunjukkan jumlah OP 2005-2017 rara-rata
100.000-300.000 ton per tahun.
Stok
kosong
Sebenarnya pemerintah sudah
mengetahui adanya kenaikan harga beras karena kekosongan stok masyarakat,
sehingga sudah dilakukan OP mulai bulan Oktober. Namun, karena kualitas beras
yang dijual tidak sesuai dengan permintaan pasar, maka jumlahnya sampai
Desember hanya sekitar 20 ribu ton. Ini berbeda dengan penambahan alokasi
raskin yang pemerintah secara aktif menambah pasokan, sedangkan apabila
melalui OP para pedagang akan berhati-hati menerimanya karena ada risiko
rugi. Ditambah kebingungan masyarakat karena pernyataan yang kontroversial
tentang terjadinya surplus beras di tengah kenaikan harga.
Dengan demikian wajar
apabila harga bergerak naik yang mencapai puncaknya saat pemerintah
mengumumkan akan mengimpor beras. Berdasar pengalaman yang lalu, untuk
menurunkan harga beras Rp 1.000 diperlukan OP 500 ribu ton. Oleh karena itu
untuk menurunkan harga beras dari Rp 11.000 ke Rp 9.500 diperlukan OP sekitar
1,5 juta ton, padahal realisasi OP Bulog hanya sekitar 200 ribu ton. Oleh
karena sekarang ini instrumen penambahan alokasi raskin sudah tidak ada,
perlu dicari model OP yang efektif untuk membendung kenaikan harga pada masa
mendatang.
Selain itu besarnya
Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang hanya dibiayai Rp 3 triliun atau setara
300 ribu ton beras, jelas sudah tidak memadai lagi. Seharusnya CBP yang ideal
adalah 1,5-2 juta ton yang pada tahun sebelumnya cadangan beras pemerintah
tersebut built in di dalam persediaan untuk raskin, sehingga cukup 300 ribu
ton saja.
Untuk hal-hal yang
menyangkut CBP baik jumlah dan cara penyalurannya perlu segera dirumuskan.
Hal ini karena tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun politik, sehingga
sebaiknya tidak mengambil risiko terhadap stabilitas harga beras.
Prospek
panen padi
Alhamdulillah, dari panen
padi yang sudah berjalan, petani mengatakan baik, tidak ada serangan hama.
Kita harapkan panen sisa MT 2017/2018 yang terjadi pada Maret dan April juga
akan baik. Selanjutnya penyediaan beras 2018 akan ditentukan keberhasilan
oleh panen gadu MT 2019. Salah satu penentunya adalah curah hujan pada musim
kemarau yang akan datang, banyak prediksi akan lebih kering dari tahun lalu
(Kompas, 20/2). Untuk itu yang akan tidak ada masalah penyediaan air adalah
tanaman gadu yang ditanam awal (Februari dan Maret) seperti di Demak, Kudus,
Sragen, Ngawi, Madiun dan sebagainya yang akan panen lagi pada bulan Juni.
Sedangkan untuk daerah
lain terutama pantura Jawa Barat yang akan panen gadu pada bulan Juli
kemungkinan akan menghadapi masalah. Demikian juga daerah yang biasa panen 3
kali mengandalkan irigasi pompa air seperti di Sragen, Ngawi, Madiun dan
Nganjuk, areal yang ditanami padi kemungkinan akan lebih kecil. Dengan
demikian pasokan gabah dan beras di Jawa kita berharap lebih baik dari tahun
yang lalu. Hal ini akan semakin aman bila ditunjang keadaan panen di Sulawesi
Selatan tidak terganggu.
Kebijakan
pemerintah
Dampak kebijakan
pemerintah atas pengalihan raskin dari natura ke kupon yang berjumlah sekitar
1,5 juta ton telah diantisipasi oleh pasar. Indikasinya antara lain tingkat
harga yang masih relatif tinggi pada Maret 2018. Kita perhatikan di daerah
yang sedang panen, pasar gabah diserbu oleh pedagang/penggilingan luar
daerah, tampak dari truk-truk mereka.
Alhamdulillah gabah basah
karena hujan, semuanya diserap dengan harga tinggi terutama oleh penggilingan
besar yang mempunyai sarana pengering. Mereka “trauma” kejadian yang lalu
yang harus membeli gabah di atas Rp 7.000 per kg. Selain itu beberapa petani
mampu dan pedagang, sekarang cenderung menyimpan gabah lebih banyak.
Hal lain sepertinya kita
tidak belajar dari pengalaman tahun sebelumnya, yaitu mengubah kebijakan
harga pada masa panen yang menaikkan harga pasar, sehingga tidak membantu
jumlah pengadaan Bulog. Kebijakan seperti ini juga tidak efektif sama sekali
ketika menghadapi krisis beras 1972 dan 1998. Perlu juga ditambahkan harga
pembelian Bulog itu merupakan barometer pasar, perubahan di tengah jalan akan
mengubah keseimbangan pasar. Untuk itu kebijakan fleksibilitas harga
sebaiknya tidak dipertimbangkan lagi, pengalaman tahun 2017 merupakan bukti
yang nyata.
Kebijakan
tak tepat
Jangan berharap dapat
mengendalikan beras medium dengan OP beras medium. Ibarat menghadapi musuh
yang bersenjata laras panjang, tidak mungkin dikalahkan dengan senjata laras
pendek. Pengalaman 2005-2017 juga demikian, OP dengan beras medium tidak
efektif, sehingga perlu penambahan raskin.
Satu hal lagi, kenaikan
harga pembelian Bulog dengan tidak diikuti perubahan HET adalah suatu
kebijakan yang tidak tepat, karena akan berdampak pada penyempitan margin
pemasaran. Hal lain dari pengalaman selama ini juga memberi pelajaran bahwa
kebutuhan impor sudah dapat diprediksi pada bulan Agustus dan sudah dapat
dipastikan pada bulan September/Oktober. Akhir September merupakan tingkat
persediaan tertinggi di Bulog. Sebaiknya pemerintah tidak mengambil risiko
apabila mempunyai stok cadangan di bawah minimal pada akhir September.
Faktor lain yang perlu
diperhatikan adalah jangan berharap dapat mengendalikan beras medium dengan
OP beras medium, pengalaman sejak 1970 harus dengan beras kualitas lebih
tinggi. Ibarat menghadapi musuh yang bersenjata laras panjang, tidak mungkin
dikalahkan dengan senjata laras pendek. Pengalaman 2005-2017 juga demikian,
OP dengan beras medium tidak efektif, sehingga perlu penambahan raskin.
Kebijakan pemerintah yang
menaikkan harga beli gabah/beras oleh Bulog dengan tidak merevisi HET beras
juga akan berdampak pada kelangkaan persediaan beras medium di pasar.
Ditambah lagi pengalihan penyaluran beras raskin ke kupon juga akan menambah
daftar kelangkaan beras medium. Selain itu ternyata pasar memerlukan beras
“kawak” yang selama ini dipenuhi dari beras raskin untuk indusrtri lempeng,
nasi rawon dan nasi uduk.
Membenahi sistem dan
pengganggaran yang mengatur masalah cadangan pangan/beras dan program stabilisasi
harga pangan/beras perlu segera dilakukan agar tidak terjadi kekisruhan di
tahun politik. Tugas Bulog itu ibarat pemadam kebakaran, api sudah berkobar
tetapi untuk memandamkan harus menunggu izin atau airnya harus mencari dulu.
Semoga hal ini mendapat
perhatian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar