Kemandirian
Masyarakat Bernalar
Iwan Pranoto ; Pengajar Matematika di ITB
|
KOMPAS,
03 April
2018
Revolusi Industri
sekaligus secara umum kemajuan sains dan teknologi hari ini tak dapat
dilepaskan dari buah keberhasilan gerakan pelibatan masyarakat dalam proses
bernalar, yang dikenal sebagai Age of Reason atau Pencerahan.
Ini keberanian manusia
meremukkan pasung mental yang diciptakan sendiri: bahwa dirinya masih ingusan
sehingga tak layak berpikir mandiri (Kant, 1784).
Kemandirian
bernalar
Yang sebelumnya kegiatan
belajar dan bernalar dikuasai kalangan agamawan dan ningrat, kemudian
Pencerahan menyadarkan manusia bahwa dirinya, bahkan yang dari kalangan
pinggiran, berhak dan perlu mengetengahkan buah olahan benaknya sendiri. Ini
alasannya Zaman Pencerahan bermoto: ”Berani menggunakan pemahaman hasil
pemikiran sendiri”.
Anggapan dirinya ingusan
tadi, menurut Kant, bukan karena masyarakat kurang pandai, melainkan karena
mereka belum memiliki keberanian dan sudah nyaman mematuhi manusia lain yang
dianggap lebih tinggi. Kecuali itu, masyarakat awam juga sudah nyaman
”nerimo” jika urusan dirinya dipikirkan pihak lain. Maka, menurut Kant lagi,
agar masyarakat luas berani menggunakan pemahaman hasil bernalar sendiri
perlu digaungkan kebebasan. Ringkasnya, kebebasan bernalar mandiri merupakan
cara menggelorakan Pencerahan.
Dalam hal penebaran
kebebasan, sistem pendidikan memiliki peran paling strategis di masyarakat.
Namun, untuk itu, sistem pendidikan perlu mentransformasi dirinya sendiri
dahulu. Sistem pendidikan yang sudah berabad-abad terbiasa turut menebarkan
kepatuhan sekaligus mengamini perasaan ketakberdayaan perlu berganti haluan
nilai. Yang sebelumnya mengedepankan nilai mematuhi pikiran pihak yang
ditinggikan berganti menjadi berani mengutamakan pernalaran sendiri.
Di luar sistem pendidikan
formal terdapat dua inovasi mendasar yang turut menghela Pencerahan sekaligus
mengubah kehidupan. Inovasi bersifat teknis ini secara langsung menumbuhkan
makna perebutan hak belajar dan bernalar tadi dalam wujud nyata, yaitu mesin
cetak dan ensiklopedia.
Sampai sebelum abad ke-15,
buku harus disalin dengan ditulis tangan satu per satu. Akibatnya, buku
menjadi mahal dan langka. Akhirnya, pengetahuan hanya dikuasai kelompok
beruntung. Alat cetak yang ada juga tidak praktis karena cetakannya harus
diukir dari papan kayu halaman per halaman.
Dengan berpikir bahwa
usaha penerbitan buku berpotensi menghasilkan uang banyak, pebisnis dan
pandai besi Jerman, Johannes Gutenberg, merancang alat cetak yang terdiri
atas cetakan alfabet per alfabet dan terbuat dari logam. Ini membuat
percetakan lebih sederhana serta tahan lama sehingga dapat digunakan untuk
menghasilkan cetakan yang bagus, relatif murah, dan bahkan indah.
Sebenarnya, di Korea pada
tahun 1400-an sudah dibuat alat cetak sejenis, tetapi karena bahasa tulis di
Korea (dan juga rumpun bahasa Sino-Tibet) memerlukan 10.000-an karakter, ide
ini mandek. Sementara Gutenberg beruntung karena bahasa tulis di Eropa
memerlukan kurang dari 70 aksara (termasuk huruf kecil dan besar, serta tanda
baca).
Produksi berskala besar
pertama Gutenberg berupa 200 kitab suci pada tahun 1455. Produk pertama ini
laku keras, bahkan habis dipesan sebelum diluncurkan. Dapat dibayangkan
guncangannya, kitab suci yang sebelumnya ditulis tangan satu per satu dan
akibatnya hanya dapat dibaca kalangan agamawan, terobosan Gutenberg
memungkinkan masyarakat turut memahami serta nantinya menafsirkan sendiri.
Terobosan ini menyulut keberanian masyarakat untuk berpendapat menggunakan
benaknya sendiri.
Sebelum ada mesin cetak
Gutenberg, di seluruh Eropa hanya ada 30.000 buku, tetapi pada tahun 1500
sudah ada 9 juta buku (Kaku, 2011). Ini Revolusi Informasi yang sesungguhnya.
Pada akhir abad ke-19,
dengan tenaga mesin uap, industri penerbitan buku berskala industri semakin
berkembang. Kemajuan penerbitan buku ini mempercepat penyebaran pengetahuan
dan merombak dunia melalui revolusi radikal di sains, politik, agama, dan
seni. Pesan pentingnya, kemajuan ini menyadarkan manusia bahwa ada
pengembangan pengetahuan di luar keyakinan.
Setaraf dengan makna
penting inovasi Gutenberg dalam peradaban manusia, filsuf Denis Diderot
bersama matematikawan Jean le Rond
d’Alembert menggagas ensiklopedia, yang diartikan sebagai kamus sistematis
dalam sains, seni, dan kriya. Kumpulan pengetahuan mutakhir yang ditulis oleh
125 cendekiawan terkemuka Eropa dan diterbitkan tahun 1772 itu menjelmakan
semangat Pencerahan dengan mengajak masyarakat mempertanyakan kepastian serta
kebenaran mutlak dari masa sebelumnya berlandaskan nalar dan sains.
Ensiklopedia diimpikan agar dapat menyemarakkan kasmaran belajar dan
keberanian bernalar di masyarakat.
Dengan menyebarnya
percetakan dan ensiklopedia itu, keran pengetahuan terbuka dan masyarakat
asyik mencecap gelontoran informasi kemajuan sains dan pengetahuan
lainnya.
Pemahaman bahwa
pengetahuan sebagai milik publik serta bernalar sebagai hak tiap manusia
terus berlanjut dan melintas rentetan gelombang zaman. Bahkan, pemahaman itu
semakin terawat baik di era digital ini.
Era
digital
Sekarang, penulis,
percetakan, dengan pembaca sudah nyaris berada pada satu titik di ruang dan
waktu. Teknologi digital memungkinkan penulis langsung berhubungan dengan
calon pembaca dan mencetak tulisan di rumah pembaca, yang boleh jadi ada di
pulau terpencil di tengah laut, nyaris dalam waktu sekejap. Semangat
perebutan hak belajar oleh masyarakat beriringan dengan kemajuan teknologi
digital.
Demikian pula dengan
ensiklopedia. Walau ensiklopedia tradisional dalam wujud puluhan jilid buku
tebal sudah jadi kenangan masa lalu, teknologi digital memungkinkan
masyarakat hari ini mengakses pengetahuan dengan mudah dan murah. Bahkan
”ensiklopedia” terlengkap dan termutakhir (baca: Wikipedia) sekarang terselip di dalam saku. Pencarian
informasi dapat dilakukan dengan telepon seluler (ponsel) di mana saja dan
hanya butuh waktu sekian detik. Juga, sekarang masyarakat awam dapat
berkontribusi turut mengisi, melengkapi, dan memvalidasi isi ensiklopedia.
Sayangnya, kemajuan di
bidang pendidikan hari ini belum selaju percetakan dan ensiklopedia. Praktik
pendidikan di dunia hari ini hampir masih sama seperti Zaman Pencerahan atau
sebelumnya. Kemajuan pesat sains dan teknologi ternyata belum membuahkan
kesepakatan bahwa kemerdekaan bernalar mandiri adalah sasaran utama sistem
pendidikan. Kecakapan bernalar juga belum dibelajarkan di kelas secara
sistematis.
Karena itu, institusi
pendidikan perlu menggaungkan terus pembelajaran kecakapan bernalar. Masyarakat
yang mandiri bernalar merupakan prasyarat pemijahan bibit toleransi sejati
dalam bernegara, bermasyarakat, dan berkeyakinan di generasi mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar