Minggu, 01 April 2018

Nyepi, Toleransi Konkret ala Bali

Nyepi, Toleransi Konkret ala Bali
Dede Solehudin  ;   Pengguna Medsos, tinggal di Bali
                                                    DETIKNEWS, 16 Maret 2018



                                                           
Terdapat sebuah perbedaan yang sangat kontras antara perayaan Tahun Baru Masehi dengan Tahun Baru Caka yang terjadi di Bali. Ketika Tahun Baru masehi disambut dengan berbagai acara gegap gempita, hingar bingar, pesta pora dan segala sesuatu yang bersifat menyenangkan, beda halnya dengan pergantian Tahun Caka di Bali. Masyarakat Bali menyambut datangnya Tahun Baru Caka dengan cara yang lebih individual dan bersifat ritual budaya. Ritual budaya yang diselimuti dengan kedamaian, sepi dan ketenangan, hening dan cenderung menghindari keramaian. Ritual budaya ini dikenal dengan nama Nyepi. Kenapa dinamakan Nyepi?

Secara faktual memang ritual ini dilakukan dengan cara menepikan diri dari segala aktivitas keduniawian yang oleh masyarakat Bali dikenal dengan istilah Catur Brata atau empat pantangan. Catur Brata ini meliputi Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelanguan, dan Amati Lelungaan. Memang betul keempat pantangan ini bersifat keduniawian karena pada saat Nyepi, masyarakat Bali tidak menyalakan api atau sesuatu yang bersifat terang dan menerangi. Kawan saya mengatakan bahwa pantangan ini lebih bersifat simbolis untuk tidak boleh marah atau harus bisa mengendalikan amarah.

Pantangan selanjutnya adalah tidak melakukan pekerjaan dan tidak melakukan kesenangan. Selanjutnya adalah pantangan untuk tidak berpergian. Keempat pantangan ini harus dilakukan dalam satu hari penuh Nyepi yang dimulai dari pukul 6 pagi sampai 6 pagi keesokan harinya, selama 24 jam. Saya tidak akan membahas tentang substansi Nyepi dari kacamata ritual masyarakat Bali, namun akan melihatnya dari sisi toleransi sebagai bagian identitas sikap unik bangsa Indonesia.

Nyepi Sebagai Aset

Hari Raya nyepi terjadi sekali dalam setahun berdasarkan perhitungan kalender Bali. Dan, Nyepi hanya ada di Bali. Meski yang melakukan Catur Brata penyepian adalah kawan kita yang beragama Hindu, namun Nyepi bukanlah bentuk ritual ibadah umat Hindu. Atas hal ini bisa dibandingkan dengan ritual keagamaan Hindu yang terjadi di India atau belahan dunia lainnya. Bali yang unik memiliki tradisi unik pula. Keunikan inilah yang menjadi salah satu daya tarik wisata khususnya traveler dari luar negeri.

Mungkin ada ketertarikan yang berbeda antara traveler domestik dengan turis mancanegara. Jika wisatawan domestik melihat Bali sebagai tempat wisata yang dipenuhi dengan pantai dan pemandangan alam yang indah, wisatawan manca negara melihat bahwa Bali memiliki keunikan sebagai pusat budaya dan tradisi yang unik sebagai intangible asset.

Kembali kepada Nyepi. Ketika di belahan bumi lain masih selalu mempermasalahkan toleransi, maka di Bali sudah berjalan sampai sekarang. Toleransi yang ditunjukkan masyarakat Bali baik itu pendatang maupun masyarakat lokal bisa dijadikan sebagai contoh positif. Ketika masyarakat lokal Bali melakukan Catur Brata penyepian selama 24 jam, warga Bali yang notabene pendatang atau bahkan sudah turun temurun lahir dan besar di Bali lainnya ikut terbawa suasana.

Sebagian yang ingin menikmati Bali yang segar dan jauh dari polusi udara dan suara akan tetap tinggal di Bali. Menghabiskan waktu di dalam rumah, ngobrol dengan anggota keluarga atau melakukan aktivitas di dalam rumah yang sifatnya tidak mengganggu masyarakat yang sedang melakukan Catur Brata penyepian. Namun bagi mereka yang tidak suka dengan suasana sepi, gelap, dan hening tentu memilih untuk keluar dari Bali dalam rangka liburan.

Toleransi Timbal Balik

Pengalaman pribadi, ketika masyarakat lokal Bali melakukan Catur Brata penyepian, kami melakukan bersih-bersih rumah, menata rumah begitu rupa hingga terlihat rapi dan sesuai yang kami inginkan. Ngobrol ke sana kemari tanpa takut diganggu bunyi televisi dan suara dering telepon. Saya bisa mengajari anak-anak untuk membuat origami, menggambar pantai dan pegunungan, dan bisa meninabobokkan anak-anak tanpa harus nonton televisi terlebih dahulu. Semua dilakukan tanpa paksaan. Semua berjalan biasa-biasa saja seolah berjalan normal, dan memang normal.

Apalagi Nyepi tahun ini, keputusan Gubernur Bali salah satunya adalah imbauan kepada provider internet agar bisa mematikan jaringannya selama Nyepi. Hmmm….pasti ini akan lebih sepi dan tenang lagi. Pasti semua anggota keluarga tidak akan sibuk memegang gadget lagi. Para gamer online akan istirahat, para medsos aholic akan off untuk sementara waktu, dan kesempatan ini bisa dijadikan momentum berharga bagi orangtua yang setiap hari sibuk di luar rumah dan merasa susah untuk ngobrol dan berdiskusi dengan anggota keluarga. Atau, dengan kata lain ini adalah kesempatan untuk quality time bersama keluarga yang dilakukan di dalam rumah.

Karena salah satu pantangan Nyepi adalah tidak boleh berpergian, maka jalanan akan kosong, tak ada mobil dan kendaraan lain yang lewat. Semua jalan istirahat. Semua kendaraan istirahat. Tapi tentu saja ada pengecualian bagi sesuatu yang bersifat emergency, misal ambulans atau kendaraan yang membawa orang sakit yang sifatnya urgen berkaitan dengan jiwa seseorang. Semua lingkungan diawasi oleh para pecalang atau satuan pengamanan adat. Pecalang akan selalu mengawasi lingkungannya selama 24 jam. Berkeliling ke tiap gang atau jalan kampung untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran yang sifatnya bisa mengganggu jalannya Catur Brata penyepian.

Namun ada satu toleransi balasan dari masyarakat lokal Bali bagi umat Islam atau agama lain untuk melakukan ibadahnya. Misal, kami sebagai umat Islam tetap diperbolehkan untuk pergi ke mesjid untuk menunaikan salat. Kami juga memperlihatkan toleransi balasan, di mesjid kami tidak menggunakan pengeras suara atau menyalakan lampu. Salat lebih khusuk dalam kondisi hening, lebih tenang, dan konsentrasi. Jadi toleransi dalam menjalankan agama, kepercayaan dan tradisi sudah mengakar di masyarakat Bali, baik masyarakat lokal maupun pendatang.

Mematikan Internet

Sesuatu yang menarik akan terjadi pada nyepi tahun ini ketika jaringan internet akan dimatikan selama Nyepi. Diskusi di media sosial begitu riuh, ramai. Satu pihak menolak akan kebijakan tersebut karena beranggapan bahwa pelaksanaan Nyepi tidak ada kaitannya dengan internet. Namun di pihak lain menganggap bahwa dengan adanya internet, kekhusyukan Nyepi akan terganggu. Mereka yang kontra akan kebijakan itu sebagian memiliki argumen bahwa jika jaringan internet dimatikan maka akan ada risiko pada kualitas layanan di fasilitas kesehatan terutama rumah sakit, industri keuangan (bank), perdagangan online dan akomodasi pariwisata.

Internet memang sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi terciptanya informasi yang cepat dan efisien. Internet sangat penting bagi informasi kesehatan rumah sakit, transaksi virtual perbankan, industri pariwisata dan bahkan jual beli berbasis online yang dijalankan secara perorangan. Tentu pro dan kontra ini menjadi pertimbangan sekaligus PR bagi pengambil keputusan di Bali, terutama bagi Pemerintah Provinsi Bali.

Bahkan ada beberapa posting-an yang menganggap kebijakan ini dianggap berlebihan karena bisa merampas hak orang yang tidak menjalankan ritual Nyepi. Tapi ada pula yang beralasan bahwa pengguna medsos tidak bisa posting foto, menulis komentar dan posting video di akun medsosnya. Alasan terakhir ini yang membuat saya tersenyum geli. Betapa tidak, masyarakat indonesia terutama yang mengaku generasi milenial telah dihinggapi medsos addict. Kecanduan medsos ini tentu bukan sesuatu hal yang dianggap baik. Apalagi penggunaan medsos yang kadangkala kurang bijak, misal untuk posting hoaks atau gambar dan video yang kurang patut.

Secara pribadi, saya tidak begitu mempedulikan apakah jaringan internet itu dimatikan atau tidak. Toh, tiap hari pun ketika sudah sampai di rumah smartphone jarang dipegang bahkan jaringan internetnya sering kami matikan. Rumah adalah tempatnya berinteraksi dengan keluarga; kesampingkan medsos, dan utamakan pertemuan berkualitas dengan keluarga.

Nyepi layaknya sebuah bentuk konkret dari toleransi yang bersinggungan dengan kepercayaan dan tradisi. Segala lapisan masyarakat Bali secara tidak langsung telah diajarkan cara terbaik untuk mewujudkan harmoni kehidupan. Toleransi tumbuh subur saat Nyepi. Tenggang rasa semakin mengakar yang akhir dari semuanya adalah terciptanya Pulau Bali yang aman dan nyaman bagi semua warganya tanpa terkecuali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar