Menengok
Kembali
Album
Keluarga Harmonis Indonesia
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai Periset dan Tim Media
Kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi
dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
16 Maret
2018
Akun-akun
pribadi para tokoh politik seringkali adalah sebuah album keluarga. Album itu
tidak hanya sekadar berisi potret, namun juga menyampaikan pesan. Seorang
pemimpin, jika ia laki-laki, adalah seseorang yang baik dalam memperlakukan
istri. Terkadang, narasi yang dibangun harus tampak berlebihan, sehingga kita
tak bisa membedakan apakah ia seorang pemimpin kota atau seorang motivator
berumah tangga. Sebut saja cara Ridwan Kamil memoles persona pribadi dalam
relasinya dengan pasangan.
Akun
keluarga Yudhoyono, terpotret dalam jumlah personel lebih luas. Keluarga
Yudhoyono meliputi SBY, yang punya daya tarik kuat sebagai mantan Presiden RI
dua periode, Bu Ani, anak-anak mereka beserta pasangan, dan tak ketinggalan
cucu-cucu. Pesan dalam album keluarga ini adalah sebuah keluarga besar yang
penuh visi: orangtua yang mewariskan kepemimpinan dan peluang kepada anak,
dan istri-istri yang menguatkan kiprah suami.
Soeharto
dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya menceritakan
keterikatan emosionalnya dengan sebuah rumah di Jalan Cendana No.8 kawasan
Menteng. Di samping segala kontroversi anak-anaknya, Soeharto juga sosok
laki-laki yang tidak dapat dipisahkan dari pasangannya. Membicarakan Soeharto
tanpa membawa serta nama Raden Ayu Siti Hartinah (Tien Soeharto) rasanya
kurang elok.
Banyak
riwayat menyebut, beberapa kebijakan kontroversial Soeharto adalah juga buah
pikir Ibu Tien. Soeharto bahkan harus memerintah dengan doktrin Ibuisme
Negara. Melalui kerja-kerja Dharma Wanita dan Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga (PKK), perempuan dikembalikan dalam kerja-kerja domestik sebagai
pendamping suami yang menyandang status sosial dalam masyarakat. Proyek
pencerabutan kekuatan politik dan ekonomi perempuan dari ruang publik
tersebut juga dibungkus dengan selubung yang terkesan indah, yakni
keharmonisan keluarga.
Kisah
cinta paling monumental pemimpin bangsa yang paling popular masih dipegang
oleh Presiden Habibie. Film Habibie dan Ainun masuk dalam kategori film
laris, memuat cerita perjalanan seorang paling genius asal Indonesia yang
berhasil menjadi presiden, dengan faktor pendukung pentingnya tentu saja
adalah kehadiran pendamping hampir sempurna, yakni Ainun.
Sampai
hari ini, potret presiden yang berjalan berdampingan dengan ibu negara masih
cukup kuat untuk membuat masyarakat, utamanya kaum ibu histeris. Sosok
Presiden Jokowi sedari awal memasuki panggung politik dengan jargon Revolusi
Mental menyatakan bahwa membangun perubahan mental harus dimulai dari diri
sendiri dan lingkungan terdekat dan terkecil, yakni keluarga. Episode Jokowi
mampir pulang ke Solo di tengah-tengah perjalanan dinas pun dikenal publik
luas dengan baik, yakni: Jokowi kangen keluarga.
Salah
satu dilema yang pernah dialami masyarakat adalah ketika Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) akhirnya menggugat istrinya, Veronica Tan. Masyarakat bingung
karena menghadapi kenyataan bahwa ternyata pemimpin yang selama ini mereka
kenal cekatan, ternyata juga memiliki masalah keluarga yang pelik, sama
seperti masyarakat biasa. Masyarakat kaget karena mereka biasa terhipnotis
dengan album keluarga harmonis. Album keluarga yang sering berjarak dari
realita keseharian.
Dalam
kehidupan sehari-hari, potret keluarga memang tidak melulu utuh dan harmonis
seperti mitos yang disajikan oleh narasi para pemimpin itu. Dalam kehidupan
sekolah, seringkali beberapa anak berkepribadian murung sebab kedua orangtua
sedang bermasalah. Dalam kehidupan bertetangga, sering kita dengar kisah pilu
dan nelangsa rumah tangga yang hancur bubrah, entah sebab faktor ekonomi,
perselingkuhan, dan latar belakang lain.
Potret
keluarga penduduk kampung adalah narasi yang jauh dari warna-warni. Pagi
sekali, para ibu sudah menanak nasi dan membuat sajian sayur atau lauk yang
menunya tidak berbeda untuk dimakan sejak sarapan pagi, makan siang, dan
makan malam. Dalam Ekspresi Seni Orang Miskin karya Prof Tjetjep Rohendi
Rohidi, fungsi lauk pauk dalam makan lengkap, agaknya lebih sebagai penyedap
rasa atau penambah kegairahan makan daripada sebagai sumber protein.
Selepas
makan pagi itu, para orangtua mulai bekerja dan para anak mulai bersekolah.
Beberapa anak muda melewati keterasingan dengan mabuk-mabukan atau berjudi
karena putus sekolah, menganggur, atau tidak mau bekerja. Keadaan semacam itu
biasanya akan menjadi pembangkit masalah sosial, baik dalam keluarga maupun
bermasyarakat.
Dalam
novel Ulid Tak Ingin ke Malaysia, Mahfud Ikhwan menulis sebuah paragraf:
Setelah kedatangan Tarmidi dari empat tahun kepergiannya, Ulid harus melepas
kembali bapaknya. Usai lima bulan perjumpaan kembali yang penuh warna, nyaris
indah, puasa yang sempurna, Hari Raya Idul Fitri yang sempurna, Hari Raya
Kurban yang lebih sempurna lagi, juga sebuah rumah baru yang mesti tidak
sangat bagus tapi amat lega, keluarga itu harus kembali dipisahkan. Oleh
sebuah pilihan, oleh sebuah harapan, oleh sebuah cita-cita. Oleh dua negara.
Keluarga
Ulid adalah gambaran keluarga yang melintasi kota-kota urban untuk pergi ke
negara pusat kerja upahan domestik (buruh migran domestik). Anak-anak yang
lahir dari keluarga buruh migran seringkali kehilangan interaksi dengan salah
satu anggota atau kedua orangtua sejak mereka balita atau remaja sehingga
nuansa psikologis mereka tentu saja berbeda dari cerita-cerita keluarga yang
dulu digambarkan dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia terbitan Balai
P&K.
Tipikal
keluarga ini bekerja pada rumah tangga kaum pekerja kaya di Malaysia, Hong
Kong, Taiwan, Singapura dengan masa kontrak tertentu. Upah mereka dibayarkan
lebih dulu kepada agen tenaga kerja, lalu remitansi baru dapat mereka
kirimkan kepada keluarga di kampung setelah pelunasan.
Keluarga-keluarga
miskin ini tidak lagi dapat memenuhi harapan tentang keluarga (family) yang
juga sekaligus rumah tangga (household) yang memiliki jalinan keakraban satu
sama lain sebab berkumpulnya bapak, ibu dan anak-anak dalam satu rumah
sepanjang tahun. Sebetulnya, potret idealis keluarga "utuh" semacam
itu telah luntur sejak awal abad ke-19, seiring dengan perubahan corak
produksi di Indonesia yang kemudian menggiring laki-laki maupun perempuan
sebagai agensi kapitalisme global, semata demi pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Bagaimana
pun bentuk keluarga dalam masyarakat hari ini, Indonesia diberkati dengan
budaya pulang yang sering disebut mudik. Seorang anak muda pekerja industri
di perkotaan, biasanya mengambil cuti panjang khusus jika ada acara
pernikahan atau hajat keluarga di kampung halaman.
Sesulit
apa pun dinamika kebutuhan ekonomi, akhirnya pada rasa juga mereka bertaut.
Ya, meskipun tidak sesempurna album Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie yang
melewatkan waktu dengan piknik keluarga ke negara-negara Eropa, paling tidak
keluarga-keluarga masyarakat yang paling mewakili Indonesia saat ini masih
bisa melewatkan waktu bersama menonton televisi di malam hari, sebelum esok
yang melelahkan kembali menghampiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar