JKN
dan Komitmen UHC
Hasbullah Thabrany ; Tenaga Ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional
|
KOMPAS,
03 April
2018
Tahun 2018 ditetapkan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai tahun Universal Health Coverage atau
UHC. Pada hakikatnya, UHC merupakan komitmen semua pemimpin negara di dunia
dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan butir 3.8. Program UHC menjamin semua
penduduk mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya.
Indonesia sesungguhya
sudah berkomitmen terhadap UHC sejak 1999 ketika UUD 1945 diamendemen dengan
Pasal 28H(1): ”setiap orang berhak atas layanan kesehatan”. Komitmen itu
ditindaklanjuti dengan rumusan operasional dalam UU No 40/2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, yang di dalamnya mengatur program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Rancangan JKN merupakan rancangan terbaik yang sesuai dengan
konsep UHC yang dikeluarkan WHO di tahun 2005. Tampaknya, seperti juga pada
deklarasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), Indonesia punya
inisiatif lebih dulu, tapi kemudian tertinggal jauh karena kurangnya komitmen
politik.
Tahun ini WHO kembali
menggaungkan slogan ”Health for All” (Kesehatan untuk Semua). Tahun 1973,
dalam Deklarasi Alma Ata, Health for All in the Year 2000, Indonesia juga
menjadi pemeran penting dengan konsep inpres dokter dan puskesmas, tetapi
kemudian Thailand tampil lebih bagus. Tema yang diambil WHO tahun ini adalah
”Universal Health Coverage: Everyone, Everywhere”. Program JKN sudah
dirancang memenuhi tema tersebut 14 tahun lalu; tapi implementasinya masih
jauh dari harapan.
Untuk lebih operasional,
WHO memperkenalkan Kubus UHC yang terdiri atas tiga sisi. Sisi depan adalah
cakupan penduduk. Tidak ada gunanya peserta JKN 100% penduduk jika layanan
kesehatan tak bisa diakses oleh semua. Sisi samping adalah seluruh layanan
sesuai kebutuhan medis. Tidak ada gunanya jika layanan yang dijamin hanya di
puskesmas. Sisi ketiga, sisi vertikal, adalah proteksi finansial yang diukur
dengan proporsi biaya kesehatan yang dibayar sendiri oleh rumah tangga (out
of pocket, OOP). Target OOP adalah kurang dari 20% dari total belanja
kesehatan. Dana yang mencukupi adalah kunci keberhasilan UHC. Akan tetapi, di
Indonesia, kecukupan dana belum jadi komitmen.
Dalam program UHC pertama
dunia yang dilakukan Inggris tahun 1948, perdebatan kecukupan dana juga
mengemuka. Debat tidak ada kapasitas fiskal juga terjadi. Bapak National
Health Service (NHS) Inggris, William Beverage, mengatakan, ”Jika kita mampu
mengumpulkan uang untuk membunuh orang Jerman, mengapa kita tidak mampu
mengumpulkan uang untuk menyehatkan rakyat sendiri?” Pernyataan fenomenal
tersebut menghasilkan sistem NHS yang menjamin semua penduduk Inggris
kualitas bagus sampai sekarang.
Di tahun 2001, Perdana
Menteri Thaksin di Thailand memperhatikan banyak masalah pengumpulan dana dan
pembayaran subsidi jaminan kesehatan. Ketika itu, Thailand menerapkan tiga
model subsidi iuran: 100% bagi yang miskin, dua pertiga iuran bagi yang di atas
miskin, sepertiga iuran bagi yang tidak miskin. Thaksin bertanya kepada
Institusi Kebijakan Kesehatan (IHPP), ”Berapa dana yang mampu dikumpulkan dan
berapa yang dibutuhkan?”
Setelah dihitung oleh
IHPP, yang ketika itu sebesar 1.202 baht per orang per tahun atau Rp 44.174
per orang per bulan, Thaksin pun berkata, ”Jika cuma sebesar itu, tidak usah
kamu kumpulkan iuran. Negara sanggup bayar.”
Kini, tahun 2018,
Pemerintah Thailand membayar iuran untuk semua pekerja mandiri dan anggota
keluarga pekerja swasta sebesar 3.197 baht per tahun atau Rp 117.490 per
orang per bulan. Bandingkan dengan iuran PBI yang pemerintah bayar kepada
BPJS yang hanya Rp 23.000 per orang per bulan.
Pikiran
pendek
Sejauh mana pemerintah
berkomitmen mencapai UHC yang memproteksi pemiskinan penduduknya? Ukuran
terpenting UHC bukan persentase penduduk terdaftar, melainkan OOP yang kurang
dari 20%. Tampaknya Indonesia terjebak pikiran pendek, ”tidak ada fiskal”,
”defisit JKN karena fraud rumah sakit”, dan sebagainya. Dalam draf perpres
yang sedang diproses terdapat pasal yang ”lebih melindungi BPJS, bukan
penduduk”. Karena defisit JKN terus-menerus (BPJS jadi fakir), semua
mengeluh, maka penentu kebijakan kehilangan ”pikir sehat”.
Untuk memahami komitmen
UHC, data Bank Dunia 2018 dapat memberikan gambaran obyektif. Komitmen
pemerintah dapat diukur dengan persentase dana kesehatan yang bersumber
publik (baik BPJS, pemerintah, maupun pemda). Di tahun 1995, kontribusi dana
publik Indonesia untuk kesehatan hanya 0,7% PDB. China, Malaysia, Thailand,
dan Vietnam sudah menghabiskan 1,7%- 1,8% PDB. Di tahun 2014, dana publik
untuk kesehatan Indonesia naik 54% menjadi 1,1%. Sementara China, Malaysia,
Thailand, Vietnam sudah menghabiskan berturut-turut 3,1%, 2,3%, 3,2%, dan
3,8% PDB.
Ukuran yang paling penting
adalah proporsi belanja kesehatan yang jadi beban rumah tangga (OOP), di mana
pada 1995 Indonesia menempati urutan kedua (47%) setelah Vietnam (63%).
China, Malaysia, dan Thailand membebani rakyatnya dengan 46%, 33%, dan 43% OOP. Kemajuan pesat
dicapai Thailand karena UHC yang bagus, dengan OOP hanya 12% di tahun 2014.
Proporsi OOP di China, Malaysia, dan Vietnam di tahun 2014 menurun jadi 32%,
35%, dan 37%. Indonesia bertahan pada 47% OOP. Maka, jelas, dalam 20 tahun
terakhir komitmen pemerintah memenuhi amanat UUD 1945 masih jauh dari
memadai.
Apakah sejak JKN terjadi
penurunan OOP? Dengan melihat belanja kesehatan yang dikeluarkan BPJS tahun
2017 yang hanya sekitar Rp 35.000 per orang per bulan, dapat dipastikan OOP
masih akan tetap tinggi. Bahkan, bisa jadi lebih tinggi. Data National Health
Account memperkirakan beban OOP rakyat Indonesia 2015 berada di kisaran Rp
190 triliun.
Kini rakyat menunggu
”nyali” pemerintah melindungi rakyat dari pemiskinan akibat tingginya biaya berobat.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar