Film
Indonesia dan Sentimen Jawa
Udji Kayang Aditya Supriyanto ; Peminat Kajian Perkotaan;
Penulis buku Rerasan Urban (2016)
|
DETIKNEWS,
16 Maret
2018
Film
komedi garapan Youtuber kondang Bayu Skak sudah tayang dan menjawakan
bioskop. Film itu berjudul Yowis Ben (2018), dibintangi Bayu Skak sendiri
bersama Cut Meyriska, Joshua Suherman, Tutus Thomson, dan Brandon Salim.
Sejak
awal, Yowis Ben bermasalah dan kontroversial. Ide cerita Yowis Ben dituding
meniru film komedi terkenal dari Thailand, SuckSeed (2011). Yowis Ben dan
SuckSeed memang sama-sama mengisah pemuda wagu yang berambisi jadi anak band
keren demi memikat pujaan hati. Namun, yang paling dipermasalahkan publik
dari film Bayu Skak adalah penggunaan bahasa Jawa di Yowis Ben.
Berbagai
kritik, meski lebih tepat dibilang nyinyir, bermunculan. Kita mesti
menyiapkan tisu untuk menghadapi nyinyiran warganet terhadap Yowis Ben.
Keputusan membuat film berbahasa Jawa dianggap etnosentris dan tak
nasionalis.
"Saran
gw ya jangan jawa lah nggak bhinekatunggalika banget lo. Ini indonesia, bukan
jawa doang sori," itu komentar salah satu warganet sembari langsung
mencolek akun Bayu Skak, @moektito.
Kita menengok
komentar lain, "dih siapa sih lo youtuber jawa nggak mikir ya kalo bikin
film. Indonesia itu luas bukan jawa doang. Iya sih orang jawa banyak, ya
makanya di eksport wkwk. Gw bukan nggak support lo tapi buat saran buat lo
yang general dong kalo bikin film."
Kita
tertegun menemui pernyataan "makanya di eksport". Pernyataan itu
mungkin representasi stereotip orang Jawa. Stereotip itu kemungkinan
mengendap di pusat, alias Jabodetabek, mengingat warganet terkait memakai
sapaan "lo" dan "gw". Kita bertemu penegasan stereotip
lewat komentar-komentar warganet lain.
"Film
untuk para TKW," kata salah satu warganet. Stereotip orang Jawa bukan
hanya tenaga kerja yang dikirim ke negara lain, tapi juga pembantu rumah
tangga di kota-kota. "Film jawa yang nonton cuma pembantu haha,"
dan yang lain bilang, "bakal sepi nih rumah pembokat nonton semua
wkwkwk."
Film
berbahasa Jawa dianggap etnosentris, padahal warganet sendiri yang justru
merendahkan Jawa. Warganet nyinyir, "jawa semua nggak level
filmnya." Bahasa Jawa dibilang bahasa kampung, "jaman sekarang
masih pakek bahasa kampung." Bahkan, nyinyir sampai ke sentimen politis,
"jawa katrok kecebong." Kita tahu, term "kecebong" kerap
digunakan kalangan anti-Jokowi untuk menyebut pendukung orang nomor satu di
Indonesia itu.
Memandang
rendah film hanya karena berbahasa Jawa jelas menunjukkan ada sentimen
kedaerahan yang menodai keberagaman. Bukan Yowis Ben yang etnosentris, tapi
justru para warganet berikut segala peremehannya.
Kita
berprasangka baik saja, barangkali warganet bukan sedang membenci Jawa.
Mereka mungkin membenci Bayu Skak tapi kebablasan saat nyinyir, lantaran
membawa identitas kejawaan Bayu. Mereka mungkin lupa, sudah ada film bagus
berbahasa Jawa sebelum Yowis Ben. Film itu berjudul Siti (2014), disutradarai
oleh Eddie Cahyono dan dibintangi Sekar Sari, Bintang Timur, Haydar Saliz,
Ibnu Widodo, dan Titi Dibyo.
Siti
menyabet sekian penghargaan penegas kualitasnya, semisal di Singapore
International Film Festival 2014, "Asian New Talent Award" Shanghai
International Film Festival 2015, 17th Taiwan International Film Festival
2015, 23rd Filmfest Hamburg 2015, dan tentu saja Festival Film Indonesia
2015.
Pada
Festival Film Indonesia 2015, Siti memenangkan lima kategori: film terbaik,
penulis skenario asli terbaik, penata musik terbaik, sutradara terbaik, dan
sinematografi terbaik. Dengan demikian, kita boleh menyimpulkan Siti
mengalahkan film-film lain se-Indonesia sepanjang tahun itu. Siti film
berbahasa Jawa yang sukses di tingkat nasional, bahkan internasional.
Siti
jelas berbicara masyarakat bawah, tentang perempuan yang terpaksa menjadi
pendamping laki-laki genit di karaoke remang-remang. Namun, tiada sentimen
"Jawa itu rendah" yang tertanam di benak penonton saat
melihat-menilai Siti. Apa lantaran film itu bukan garapan Youtuber dengan
bejibun follower dan terutama hater? Entahlah.
Dua
tahun kemudian, kita kembali bertemu film bagus berbahasa Jawa. Setahun
setelah rilis, film itu akhirnya ditayangkan bioskop. Kita mengingat film
Ziarah (2016) garapan B.W. Purba Negara, penyabet Piala Citra untuk penulis
skenario asli terbaik. Film berkisah perjalanan Mbah Sri mencari makam
suaminya yang hilang pada masa Agresi Militer Belanda II tahun 1949. Mbah Sri
sadar usianya di ujung senja dan ingin kelak dimakamkan di sebelah makam
suaminya. Perjalanan nekat ia lakukan. Ziarah ke masa silam ditunaikan.
Ziarah
merasa wajib menggunakan bahasa Jawa agar cerita tak terlepas dari konteks:
latar dan peristiwa. Ziarah pun membuktikan kebahasaan bukan penghalang untuk
mendekati penonton, dari mana pun mereka berasal.
Segala
nyinyir warganet pada Yowis Ben jelas tak layak dibenarkan. Suatu film tak
bisa dibilang buruk hanya karena berbahasa Jawa. Terkait kemungkinan
eksklusif film berbahasa Jawa, kita bisa mengingat film Turah (2017). Penutur
bahasa ngapak kiranya tak lebih banyak dari penutur bahasa Jawa pada umumnya.
Kendati begitu, Turah justru jadi salah satu film sukses di tahun 2017 meski
hampir seluruhnya berbahasa ngapak.
Tentu
saja, Yowis Ben berada di level kualitas yang berbeda dengan Siti, Ziarah,
maupun Turah. Tapi, bukan berarti Yowis Ben pantang dikritik. Film itu pantas
dikritik habis dengan kritik serius, alih-alih nyinyir berlandas sentimen
etnosentris. Tapi, yo wis ben, warganet kita memang begitu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar