Penutupan
Dolly
Tom Saptaatmaja ;
Alumnus
Seminari St. Vincent de Paul
|
TEMPO.CO,
03 Mei 2014
Dolly,
lokalisasi yang konon terbesar di Asia Tenggara, hendak ditutup. Tenggat penutupan
ditetapkan oleh Dinas Sosial Surabaya pada 19 Juni mendatang. Anggaran untuk
pesangon 1.080 lebih pekerja seks dan para muncikari sudah diusulkan sebesar
Rp 5,45 miliar, dengan rincian per pekerja seks mendapat Rp 5 juta untuk
modal kerja. Bahkan para dai dan tokoh agama dilibatkan dalam penutupan ini.
Para
pekerja seks Dolly melakukan persetubuhan dengan para pria tamunya,
kebanyakan didorong alasan ekonomi. Perputaran bisnis prostitusi di Dolly
bisa miliaran rupiah dalam semalam. Selama ini keberadaan Dolly ditoleransi.
Menurut C. Chauvin dalam L'Eglise et
les Prostituees, toleransi terhadap pelacuran umumnya bertumpu pada
alasan fiskal dan moral, yakni mengumpulkan pajak dari bordil dan pelacur,
seraya melindungi integritas keluarga yang ditegakkan oleh hukum dan agama
(Truong 20-2).
Rencana
penutupan Dolly menimbulkan pro-kontra. Dalam demo May Day, ribuan buruh
menolak penutupan itu bersama warga Dolly. Pendekatan moral atau agama dari
wali kota dianggap bukan solusi oleh kalangan aktivis HIV/AIDS. Sebab, selama
terlokalisasi, pemantauan penyebaran HIV/AIDS bisa lebih mudah. Maka, menutup
Dolly bukan berarti akan mengakhiri prostitusi. Harus ada upaya terintegrasi
agar pekerja seks tidak membuka praktek di rumah kos, panti pijat, hotel,
atau di jalanan.
Memang
tak mudah memberantas prostitusi. Salah satu faktornya karena mengakarnya
praktek ini dalam sejarah kita. Semula prostitusi terkait dengan praktek
ritual agama-agama kuno. Ini terjadi misalnya di Babilonia, India, dan
Nusantara lama. Di Babilonia kuno, para imam bisa melakukan ritual
persetubuhan sakral dengan perempuan sebagai perayaan kesuburan. Kemudian
para perempuan itu bukan hanya melakukan persetubuhan dengan para imam, tapi
juga dengan pengunjung serta uangnya bisa dimanfaatkan untuk kehidupan
sehari-hari di kuil (Temple
Prostitution and Community Reforms: The Devadasi Case oleh Srinivasan, New
Delhi, 2007).
Di
Indonesia, menurut Terence H. Hull dan Gavin W. Jones, prostitusi sudah
mengakar sejak zaman Kerajaan Mataram. Tradisi penyerahan perempuan sebagai
upeti diteruskan dengan perdagangan wanita dan menemukan bentuknya dalam
prostitusi. Ketika Belanda masuk lewat Pantai Utara Jawa, sekitar awal abad
ke-17 Masehi, muncul aktivitas pelayanan seksual untuk serdadu, pedagang, dan
utusan VOC di sekitar pelabuhan. Misalnya Surabaya, pada 1864, sudah
mempunyai 18 bordil dan pelacurnya berjumlah 228 orang.
Namun,
membincang Dolly, mohon jangan pernah menyudutkan perempuan yang menjadi
pekerja seks. Dorothea Rosa Herliany mengingatkan: "Masuklah lebih dalam ke lubuk hati orang-orang yang kalah dan
dikalahkan. Masuklah tanpa hasrat menudingkan telunjukmu tepat ke matanya
yang menggenangkan luka" (Dolly,
Hitam Putih Prostitusi, Sketsa Foto dan Puisi oleh Trisnadi dan Dorothea Rosa
Herliany, Gagas Media, Jakarta, 2004).
Akhirnya bisa saja Dolly tutup, sebagaimana Kramat Tunggak. Cuma,
sejarah membuktikan bahwa prostitusi tetap eksis di mana pun. Thomas Aquinas,
pemikir besar itu, mengingatkan: "Enyahkan
tempat sampah dan Anda akan mengotori istana. Enyahkan pelacur dari muka bumi
dan Anda akan memenuhi bumi dengan sodomi". Kebenaran kalimat ini tampak pada maraknya
kejahatan seks terhadap anak.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar