Alien
Arswendo Atmowiloto ;
Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 03 Mei 2014
Alien,
tokoh asing, dalam dunia sinetron atau film, sering digambarkan sebagai
mahkluk dari planet lain, terutama untuk keperluan mewadahi karakter, sifat,
peri laku yang tidak biasa, atau aneh. Mr Bean, misalnya, kelakuan dan
sikapnya yang ganjil bisa diterima dalam cerita karena dia berasal dari
planet lain. Tokoh alien ini juga muncul dalam seri “Kau Berasal dari
Bintang”, yang tayang di RCTI, sejak 28 April lalu. Tokoh yang usianya 400
tahun itu terlibat cinta. Pasti serbaharu—karena tak masuk akal. Namun
masalah yang muncul lebih besar dari itu. Drama seri ini dianggap jiplakan
dari lakon yang sama yang diproduksi SBS, stasiuan siar di Korea Selatan.
Judul di sana banyak, antara lain, You who come from the stars, atau juga My
love from the stars, atau sejenis itu. Di negeri aslinya, sudah tayang sejak
18 Desember lalu.
Melakukan
plagiatisme bagi RCTI sungguh memalukan, juga menyedihkan, Karena
sesungguhnya hal itu bisa dihindari, baik dengan membeli lisensi atas cerita,
atau juga kerja sama produksi. Memalukan karena sebagai stasiun siar yang
bermartabat, RCTI dan rumah produksinya, menjadi perbicangan dunia televisi
dalam “skandal” menyebalkan. Masalahnya juga, ini bukan hal pertama. Ada 127
cerita, atau juga judul dari mancanegara yang dijiplak, diperkosa, yang
daftarnya bisa dilihat, baik yang berasal dari Korea Selatan, Taiwan, Jepang,
juga India. Seolah negeri ini memang negeri perampok yang tak mengenal
bagaimana memperlakukan karya seni.
Padahal,
seperti saya singgung di atas, kemungkinan kerja sama sangat terbuka luas.
Dalam hal ini pengakuan hak cipta siapa, hak siar siapa, dan bagaimana
penyelesaian adminnya. Kegeraman SBS juga terlihat dengan keinginan menggugat
RCTI , dan sekaligus mencari rumah produksi lain yang bisa diajak kerja sama.
Dugaan saya, selama ini RCTI menyiapkan judul ini, dan bergegas menayangkan
sebelum urusan admin selesai. Jadinya ruwet, disalahkan, dan kelewat rakus
bernafsu.
Sebagai
penulis cerita, saya mengalami perlakuan yang sama, ketika ACI, Aku Cinta
Indonesia, tv seri diangkap ke layar lebar. Saya bahkan mempertanyakan peran
lembaga/dinas di kementerian atas karya saya tersebut, namun juga tak ada
jawaban. Hanya saya tidak melanjutkan ke gugatan atau menuntut seperti yang
dilakukan SBS.
Hal lain
dengan budaya plagiat—yang resmi sekalipun, membuat kreativitas para sineas,
kru, pendukung produksi, turun ke titik nol. Para kru, termasuk kamerawan
hingga editor, tinggal menjiplak apa yang dilihat di video. Lengkap dengan
sudut pengambilan. Juga bagian kostum, menjiplak persis, dengan tambahan
pernik. Pemainnya? Artisnya? Lebih buruk lagi: tersenyum dan marah pun sama
durasinya. Benar-benar sebagai boneka yang “sebaiknya meniru persis”. Tak
perlu berpikir, tak perlu menggali karakter. Sebuah jalan pintas yang mudah,
murah—walau dalam jangka panjang tak menghasilkan buah pengalaman—selain seni
meniru.
Walau
sebenarnya dalam soal tiru meniru pun bisa menghasilkan proses kreatif yang
bagus dan diakui. Judul Lady Machbeth, untuk lakon Machbeth yang asli diakui
sebagai karya yang bukan sekadar meniru. Tujuh jagoan atau Seven Magnificent
atas Seven Samurai, adalah contoh lain. Dengan kata lain, kalau memang ingin
kreatif, selalu ada jalan dan usaha. Juga kalau mau sekadar menjiplak.
Dua pendekatan berbeda, menghasilkan proses dan juga akhir yang
berbeda. Sinetron seri dari Korea itu juga ditayangkan di negeri lain, dengan
adaptasi dengan penyesuaian, dengan ditiru mentah-mentah, atau bahkan tak
berizin. Kita sebenarnya bebas memilih, menentukan, sikap mana yang diambil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar