Jumat, 23 Mei 2014

Meniti Jalan Pecundang

Meniti Jalan Pecundang

Sidharta Susila  ;   Bruder FIC
SUARA MERDEKA,  22 Mei 2014

                                                                                         
                                                      
Jalan tak hanya sarana transportasi sebab ia juga kisah peradaban. Di jalan kita menggurat dan digurat hingga beroleh tingkat keberadaban. Tingkat peradaban bisa dibaca dari perilaku orang di jalan. Di banyak negara maju, jalan menjadi sarana memperlancar aktivitas manusia. Pengguna jalan berperilaku baik, meski tak ada polisi di jalanan.

Di negeri beradab, pengguna jalan mengelola diri dengan taat aturan dan kesepakatan bersama. Melalui cara itu tiap pengguna jalan beroleh keadilan dan keselamatan. Ketika aturan dan kesepakatan bersama diabaikan, ada di jalan sering dialami dalam suasana keterpecundangan. Keterpecundangan adalah sebuah kekalahan, bahkan keterpurukan. Salah satu sifat kaum pecundang adalah kecenderungan mencari-cari alasan guna membenarkan diri. Pecundang adalah bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi. Sebenarnya mereka bukanlah orang kurang nalar. Mereka tahu aturan dan kesepakatan bersama. Yang tidak dimiliki pecundang adalah pengelolaan diri untuk mengikuti aturan dan kesepakatan bersama. Mereka justru berkeyakinan, aturan dan kesepakatan bersama hanya menyulitkan hidupnya. Sifat egoisme banyak melahirkan kaum pecundang.

Kehidupan bersama yang dipenuhi kaum pecundang tentu kacau-balau. Yang lebih terasa adalah adu kekuatan penuntasan ambisi pribadi. Tak ada keadilan dan jaminan keselamatan. Tiap orang merasa sebagai pihak yang harus diprioritaskan, sementara yang lain dipandang sebagai pelengkap kehidupannya. Jalan yang dipenuhi kaum pecundang sungguh kacau. Setiap orang berkendara seperti apa yang ia mau. Pecundang yang bersepeda motor sering menyalip, memotong jalan, dan berhenti semaunya. Mereka tak ambil peduli dengan dampak perilakunya terhadap pengguna jalan lain. Kemarahan Gubernur Pecundang yang mengendarai mobil pun tak jauh berbeda. Tak ada istilah mengalah dan memberi kesempatan kepada pengguna jalan lain. Akibatnya, betapa sulitnya kita mendapat kesempatan menyeberang jalan. Sangat kontras dengan perilaku pengemudi mobil di negara beradab.

Tiap kali ada orang berdiri di zebra cross maka pengendara kendaraan bermotor memberi kesempatan menyeberang. Aksi para pecundang yang mengendarai truk lebih memprihatinkan. Bila sedang tidak ada muatan, mereka mengemudikan secara ugal-ugalan. Ketika sedang membawa muatan, mereka mengangkut barang sebanyak mungkin. Mereka tak mau peduli perilakunya akan merusak jalan dan berisiko membahayakan keselamatan pengguna jalan lain. Pecundang di jalan selalu punya alasan guna membenarkan diri. Merasa telah membayar pajak dan pungutan, mereka merasa sah berbuat apa saja Masygulnya, ada juga aparat yang berkarakter pecundang. Mereka tak bekerja sesuai aturan, menarik pungutan, namun tak pernah masuk kas negara. Itulah yang terjadi di banyak jembatan timbang. Itu juga yang membuat Gubernur Ganjar Pranowo marah pada Minggu (27/4/14) malam. Semestinya aparatlah yang menjamin pelaksanaan aturan. Bila semua sesuai aturan maka keadilan dan keamanan di jalan pasti terjamin.

Aparat berkarakter pecundang adalah manusia kejam. Mereka telah digaji dari uang rakyat. Tapi perilakunya mempertaruhkan keselamatan dan mengobrak-abrik tatanan kehidupan rakyat. Sudah begitu, masih memungut uang rakyat secara ilegal pula. Yang kita alami sekarang adalah jalan-jalan rusak berat. Kita seperti tak lagi punya akal, cara dan kemampuan memperbaikinya. Banyak dari kita tahu: jalan akan awet bila beban muatan dibatasi, keselamatan terjamin bila kendaraan melaju dengan terukur. Tapi kita tak pernah bisa melakukan itu. Kita hanya terpaksa harus menerima kenyataan ketidakberaturan. 

Kemarahan Ganjar sejatinya bisa memutus lingkaran setan keterpecundangan kita. Dia ada di pucuk pimpinan, sedangkan perilaku pecundang di jalan telah merasuk sistem pemerintahan dan kehidupan. 
Hanya mereka yang punya wewenang pada sistem kekuasaan yang bisa memutus lingkaran setan keterpecundangan. Bila penguasa tak juga bertindak malah berkarakter pecundang, ’’sempurnalah’’ kita meniti jalan pecundang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar