Minggu, 04 Mei 2014

Membaca Ulang Abdoel Moeis

Membaca Ulang Abdoel Moeis

Darman Moenir  ;   Sastrawan
KOMPAS,  04 Mei 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Membaca Salah Asuhan Abdoel Moeis bisa bermakna membaca sebagian kisah Indonesia pada awal abad lampau. Sebagai bangsa terjajah, manusia Indonesia belum menceduk, kecuali beberapa yang sempat menempuh pendidikan. Sebagai orang terdidik, melalui tokoh-tokoh utama, yaitu Hanafi, Rapiah, dan Corrie; Abdoel Moeis lantas menggambarkan keindonesiaan dalam novel itu.

Abdoel Moeis memapar tokoh Hanafi, si anak tunggal yang tak berayah, dari Koto Anau, Solok. Hanafi disekolahkan ke Betawi (kini, Jakarta) karena sang ibu tidak hendak kepalang tanggung mengasuh anak. Setamat HBS, Hanafi pulang untuk bekerja. Pengasuhan itu memungkinkan Hanafi berpikiran, orang yang tak pandai berbahasa Belanda tak masuk bilangan. Lembaga adat disebut Hanafi ”kuno” dan agama dianggap ”takhyul”. Dengan asuhan itu, Hanafi benci pada bangsanya. Pelajaran, tingkah laku, perasaan Hanafi menuruti cara Barat.

Dalam suasana batin seperti itulah, Hanafi jatuh hati kepada Corrie du Busse. Corrie adalah putri laki-laki Perancis, arsitek, yang di gereja menyunting perempuan bumiputra asal Bonjol. Sosok Corrie benar-benar menggoda Hanafi, tetapi tak mudah. Hanafi ingin memperistri Corrie, tetapi malah dicarikan istri oleh ibunya. Putri mamak bernama Rapiah jadi istri pilihan ibu. Alasan utama menjodohkan Hanafi dengan Rapiah adalah untuk bayar utang. Hanafi mengeluh, ”Badanku sudah tergadai!”

Perkawinan Hanafi dan Rapiah tidak bahagia. Setelah beranak, Hanafi berobat ke Batavia, jumpa Corrie yang melanjutkan pendidikan. Hanafi bahkan berlama-lama di Batavia. Dengan pelbagai konflik, Hanafi menyunting Corrie.

Kepada Corrie, kelak, Hanafi berujar: ”Salahkah aku bila tak dapat menyertai bangsaku dalam adat dan lembaganya?” Latar Minangkabau secara konkret disampaikan Abdoel Moeis dengan menggunakan bahasa Indonesia usang, tetapi sampai sekarang pun memesona.

Hanafi berujar: ”Corrie! Kuketahui benar, bahwa yang menjadi rintangan antara kita berdua ialah perbedaan bangsa! Lupakanlah bahwa aku bangsa Melayu, Corrie.” Melalui tokoh Corrie, secara sarkastis Abdoel Moeis menuliskan: ya, cinta Corrie kepada Hanafi semata-mata hanya berdasar kasihan.

Hanafi dianggap orang luar. Sesudah bersuamikan orang Melayu, dunia jadi sempit bagi Corrie. Konflik Hanafi dan Corrie ditampilkan Abdoel Moeis secara memukau dengan kekuataan bahasa Indonesia sebelum Sumpah Pemuda dimaklumatkan. Dipapar, salah besar ibu mengasuh Hanafi karena sedikit pun ia tidak diberi pelajaran agama. Dari kecil ia sudah mengasingkan diri dari pergaulan bangsanya.

Bila kemudian Corrie berpisah mati dengan Hanafi, dan Hanafi berpisah mati dengan Rapiah, itulah drama salah asuhan. Abdoel Moeis menjalin kisah demi kisah fiktif secara konkret. Kisah demi kisah seolah bisa diraba, dilihat, didengar, dibatinkan, secara menukik-mendalam. Di sanalah kekuatan, kebesaran, dan kehebatan Salah Asuhan.

Menggagas nama Indonesia

Abdoel Moeis lahir pada 3 Juli 1883 di Sungai Pua, Bukiktinggi, Sumatera Barat. Setelah menyelesaikan sekolah Belanda di Bukiktinggi, ia ke Bandung. Ia keluar dari Bank Rakyat karena melihat kasus pungutan liar terhadap orang kampung. Ia mengawali aktivitas di dunia pers di koran Preanger Bode.

Bersama Soewardi Soerjaningrat dan A Widnjadisastra, Abdoel Moeis mendirikan koran Hindia Sarekat. Abdoel Moeis pun mengelola koran Kaoem Moeda, corong perjuangan SI. Itu koran pertama yang mengenalkan rubrik ”Pojok”.

Abdoel Moeis pun terlibat dalam Komite Boemi Poetra bersama Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, Soewardi Soerjaningrat dalam menentang Peringatan 100 Tahun Kemerdekaan Belanda dari Penjajahan Spanyol. Tahun 1915, ia menjadi pimpinan Central Sarekat Islam.

Bersama dengan Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, Abdoel Moeis menduduki posisi tinggi di kepengurusan SI Jawa Barat. Dan, mulai April 1914, ia dipercaya menjadi Wakil Ketua Central Sarekat Islam, mendampingi Tjokroaminoto. Dengan cepat, ia menjelma menjadi sosok intelektual berpengaruh. Pada Kongres Sarekat Islam 1916, ia menganjurkan agar SI bersiap-siap menempuh cara kekerasan menghadapi Belanda jika cara lunak tidak mempan.

Abdoel Moeis selalu membela kepentingan rakyat kecil. Kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan impian terbesar Abdoel Moeis. Nasionalismenya ia tuangkan di pelbagai kesempatan, termasuk dalam pidato-pidato dan tulisan-tulisan di media massa. Ini gagasan Abdoel Moeis: ”Selama bumiputra tanah Hindia belum mempunyai kebangsaan dan tanah air sejati, perasaan cinta kepada tanah air dan bangsa harus dibangunkan dalam kalbu bumiputra. Selama tanah Hindia belum merdeka, maka lebih dahulu ia harus mempunyai sifat tersebut. Segala pergerakan bumiputra haruslah berikhtiar membangunkan perasaan ini karena dengan alasan itu satu bangsa bernafsu memajukan negeri, mengangkat derajat bangsanya.”

Tulis Abdoel Moeis: ”Tujuan perhimpunan kaum pribumi adalah memperbaiki nasib. Lebih jauh, tak dapat tidak, perhimpunan itu bertujuan satu, kemerdekaan Hindia.”

Dalam Perang Dunia I, Indonesia siap sedia mengatasi kemungkinan terburuk. Untuk itu, pada 1917, Abdoel Moeis diutus ke Belanda guna membicarakan masalah pertahanan bagi bangsa Indonesia. Di dunia politik, ia pernah jadi anggota Volksraad bersama Tjokroaminoto. Di forum Volksraad inilah ia dengan gencar mengecam penamaan Hindia Belanda untuk wilayah Nusantara. Abdoel Moeis menggagas nama Indonesia.

Pertentangan di tubuh internal SI cukup parah. Orang-orang SI Semarang yang digalang Semaoen, Darsono, dan Tan Malaka radikal. Mereka juga jadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) pimpinan Sneevliet yang merupakan cikal bakal partai beraliran komunis di Indonesia. Golongan non-komunis, yang dimotori Abdoel Moeis dan Agoes Salim, menentang mereka dengan mengajukan kebijakan disiplin partai: anggota SI dilarang keras menjadi anggota perhimpunan lain.

Pahlawan nasional

Abdoel Moeis tak pernah kehabisan ide untuk melawan Belanda, termasuk mengajak kaum buruh mogok. Pada 11 Januari 1922, ia memimpin pemogokan buruh di Yogyakarta. Ia adalah Ketua Perserikatan Pegawai Pegadaian Boemiputera. Aksi mogok dengan cepat meluas ke luar Yogyakarta. Dalam waktu dua minggu, sekitar 1.000 buruh pegadaian di Keresidenan Cirebon, Kedu, Pekalongan, Semarang, Rembang, Kediri, dan Surabaya mogok kerja.

Pemogokan besar-besaran ini membuat pemerintah kolonial kelabakan dan mengajak Abdoel Moeis berunding. Ia menuntut pembatalan pemecatan buruh, meminta pemerintah membentuk komite penyelidik ketidakpuasan buruh. Permintaan tak digubris sehingga digalang pemogokan dengan jumlah massa lebih besar. Pemogokan pekerja pribumi adalah bentuk perjuangan nasional. Akibatnya, pada 8 Februari 1922, Abdoel Moeis diasingkan ke Garut.

Selain bergerak secara fisik, Abdoel Moeis juga berjuang melalui tulisan. Dikenal setelah artikelnya banyak dimuat harian De Express, ia pun bekerja di Kaoem Moeda, masuk Oetoesan Hindia, organ internal SI, pada 1915 dan tercatat sebagai redaktur majalah Hindia Sarekat. Pengalaman jurnalistik diperolehnya saat ia bekerja di koran berbahasa Belanda, Preanger Bode. Pada 8 September 1917, ia bergabung dengan Neratja, jadi pemimpin redaksi. Tulisan-tulisan Abdoel Moeis jadi pemantik perlawanan kepada pemerintah kolonial. Komitmen perbaikan nasib pribumi melekat pada karya dan novelnya, termasuk Salah Asuhan yang monumental.

Abdoel Moeis ikut mendirikan Technische Hooge School—Institut Teknologi Bandung (ITB), dikukuhkan menjadi pahlawan nasional oleh Presiden Soekarno pada 30 Agustus 1959. Ia bukan saja seorang sastrawan besar, melainkan juga jurnalis ulung, nasionalis andal, dan berjuang tanpa lelah untuk kemerdekaan Indonesia. Ia pemimpin adat di Minangkabau. Abdoel Moeis tutup mata di Bandung pada 17 Juni 1959, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra. Tanggal lahir Abdoel Moeis, 3 Juli, jadi Hari Sastra Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar